Aku
pernah lupa bagaimana cara membuka hati kepada seorang laki-laki sebelum
pertama kali mengenalmu. Kala itu, aku terlalu sibuk merajut benang-benang
kesedihan yang sebenarnya aku pun tidak tahu seperti apa wujud nyata dari
sulaman yang kurajut selain kata luka. Kala itu, aku sedang begitu asyik dengan
duniaku, sampai-sampai aku lupa! Aku masih memiliki hati.
Bukankah
jika aku mau, aku bisa saja mengisinya dengan satu nama? Namun, palung luka
yang dibuat oleh para laki-laki tersayangku kala itu terlalu dalam kuselami
sehingga aku terjerembab masuk ke dalamnya dalam waktu yang lama.
Aku
berhasil menepi dari lukaku, namun tak ada niat tuk mengarunginya lagi. Aku
menutup rapat-rapat pintu ketika ada saja mereka yang ingin mencoba membukanya.
Sampai
malam itu, dimana malam gelap seumpama mengeluarkan kunang-kunang dan
menjadikannya bercahaya. Sampai malam itu, dimana setiap jendela yang biasanya
tertutup kerai rapat, kubuka lebar-lebar seraya berpikir, bahwa laki-laki baik
itu ternyata masih ada.
Aku
pernah bertanya, apakah ini cinta?
Awalnya
aku tidak yakin. Tapi mata teduhmu yang kulirik diam-diam membuatku
berkaca-kaca, aku tak ingin kehilangan laki-laki sebaik dirimu karena perasaan
takutku. Sekali lagi, kau tak pernah memaksaku untuk berani. Tapi aku pun tak
tega untuk terus memelihara rasa takut apalagi sampai kuberikan padamu. Padahal
bukan kamu yang sukses menorehkan luka itu.
Malam
ini pula kutemukan jenis romantisme yang lain;
Dulu
sekali, ketika aku merasa heran dengan setiap perempuan yang dipuji
laki-lakinya lalu bersorak “awww, so sweet!” atas puja dan puji tersebut, atau
dengan diberikan ciuman atau pelukan hangat.
Tapi
bagiku, romantisme itu tak melulu tentang cinta. Selama ini aku merasa duduk menulis di depan laptop ditemani teh panas adalah estetika romantis yang paling kusenangi. Atau
menatapi perginya senja ketika matahari mulai berarak ke ufuk, sering pula
kusebut romantis. Dan mencium bau khas hujan, itu pun kusebut dengan kata
romantis.
Mengapa
perempuan yang lain tidak merasakannya? Sampai akhirnya mereka terbiasa dengan
romantisme yang hanya dalam bentuk pujian, ciuman, atau pelukan lalu membuat
mereka semakin jatuh ke dalam pengakuan-pengakuan laki-laki yang menyatakan
dirinya paling hebat, pergi bisa sesukanya. Bagiku, itu karena perempuan selalu
menaruh kebahagian mereka di atas tangan laki-laki. Sehingga laki-laki itu
sendiri bisa saja membolak-balikan tangannya dengan mudah.
Itu
dulu.
Laki-laki
ini mengajarkanku romantisme yang lain. Berdiskusi kecil. Menikmati setiap
aktivitas yang dilakukan orang-orang di sepanjang jalan. Mengomentari hal-hal
sepele lalu mengait-ngaitkannya dengan kehidupan kami.
Aku
suka sikapnya yang tidak pernah memaksa untuk menumbuhkan perasaan. Katanya, “Setiap perasaan itu tidak bisa dipaksa. Dan
proses menuju arah yang lebih baik itu tumbuh sendirinya. Tidak mungkin karena
seseorang memaksanya untuk tumbuh dan berubah. Kita terkadang hanya melihat
hasilnya, tanpa kita tahu sulitnya sebuah proses.”
Dan
aku berani menyimpulkan laki-laki ini mengajarkanku satu hal. Bukankah ketika
kita hendak masuk, kita tidak serta merta membukanya. Tapi harus mengetuknya
terlebih dahulu?