Saya mengerti dan paham sekali bahwa setiap pilihan pasti menghadirkan suatu resiko
dan konsekuensi bagi yang menjalankannya. Begitupun ketika saya memilih untuk
berkuliah di IPB. Alih-alih dikenal sebagai kampus rakyat, sebenarnya IPB
justru menjadi salah satu kampus yang besaran UKT-nya paling besar di
Indonesia. Mungkin karena bertitel “institut” yang memang kejuruan ilmunya
lebih spesifik, memerlukan kegiatan praktikum dengan porsi yang lebih besar,
dan tentu memerlukan biaya yang lebih banyak. Sebenarnya saya kurang tahu
persis, karena sampai saat ini saya kurang paham perhitungan seseorang bisa
dikenai UKT sebegitu besarnya.
Seperti
teman-teman saya yang dikenai UKT kelas tiga sampai kelas lima yang setiap
periode pembayaran UKT tidak pernah bisa tenang, nangis curhat kesana kesini
mengingat belum ada uang untuk bayar UKT, menunggu pengumuman beasiswa untuk
meringankan pembayaran, sampai pengajuan penurunan UKT setiap semesternya. Dan
saya pun pernah punya pengalaman terburuk tentang UKT dimana saya terancam cuti
kuliah. Namun alhamdulilllah, pertolongan Allaah benar-benar datang tepat satu
hari sebelum batas periode pembayaran UKT ditutup.
Sebagai
mahasiswi yang biaya kuliah dan uang sakunya benar-benar tidak didanai dari
dana beasiswa, bagi saya periode pembayaran UKT menjadi momen yang menyedihkan
namun mengharu biru. Pengalaman terburuk itu datang semester empat kemarin,
dimana saya yang mendapatkan UKT Rp 6.000.000 sampai hari ketiga periode
pembayaran hanya mempunyai uang Rp 3.000.000 saja.
Saya
menangis tersedu-sedu malam itu. Saya sudah mulai mengajukan penurunan UKT
dengan mengirimkan transkrip nilai juga berkas berkas lainnya dari semester 2.
Dan baru kemarin saya tanya ke advokasi fakultas bahwa pengumuman diterima atau
ditolaknya pengajuan itu belum ada jawaban. Saya juga sudah menanyakan kepada
Kakak Puji, kakak dari teman sekamar saya yang sekarang sedang program doctoral
di Amerika yang dulu membantu saya mengirimkan berkas berkas tersebut karena
beliau bekerja di rektorat sebelum ke Amerika, namun belum ada jawaban. Sedih
sekali rasanya. Untuk perempuan dengan banyak mimpi seperti saya, hal ini lebih
menyedihkan dibanding patah hati. Dan Ibu saya tahu betul dengan pribadi saya
yang seperti itu.
Paginya,
saya berdiskusi dengan Ibu. Dan keadaannya tetap sama. Uang yang sudah
dikumpulkan untuk pembayaran UKT memang terpakai oleh adik saya karena sakit,
dan saya tidak mungkin menghalang-halanginya untuk tidak dipakai. Sampai
akhirnya saya tahu, jika memang semua usaha sudah ditempuh namun belum
berhasil, jalan satu-satunya yaitu cuti kuliah.
Entah
sudah berapa kali saya menangis ketika itu. Tidak ingat bahwa pertolongan
Allaah begitu dekat dan tidak mungkin memberikan ujian di luar batas kemampuan
hamba-hambaNya. Sampai akhirnya, saya betul-betul meminta petunjuk dan
diberilah saya jawaban bahwa ada satu pintu usaha yang belum saya ketuk. Dan
tekad untuk terus berjuang demi sekolah saya yang menghadirkan rasa keberanian
itu.
Saya
kontak teman saya yang merupakan anggota tim kebijakan kampus. Saya bercerita
sejujur-jujurnya tentang masalah-masalah yang sedang saya hadapi. Dari
Cibinong, saya berangkat sendiri ke Dramaga untuk mengurus semua masalah
administrasi itu. Sampai akhirnya, saya harus menghadap menteri kesejahteraan
mahasiswa BEM KM IPB saat itu. Dan batas pembayaran UKT bersisa dua hari lagi.
Disaat
saya ingin menyerah, Allaah tunjukan pertolongan itu. Dan Kak Seto selaku
menteri kesmah BEM KM IPB sangat
membantu saya. Saya sampai diantarkan ke biro keuangan di rektorat sana dengan
tim-timnya. Mereka tentu sudah sangat familiar dan terbiasa dengan sikap dan
perlakuan dari pegawai biro keuangan. Kalau saya sendirian, pasti saya sudah
mengkerut di pojokan. Dan alhamdulillah, saya mendapatkan solusi dari masalah
saya. Pencicilan UKT.
Saya
membayar UKT tepat di hari terakhir batas pembayaran tersebut. Sebelum
tiba-tiba, sekitar pukul 16.00 saya mendapat Whatsapp dari TU departemen bahwa
ada surat yang ditujukan kepada saya dari rektorat. Deg! Surat apa itu? Saya
deg-deg an sekali, apakah pihak dari biro keuangan menolak pencicilan UKT saya
sebesar 50% di awal pembayaran? Pikiran-pikiran itu terus menghantui saya. Maka
untuk menghilangkan keresahan dan ketakutan itu, saya meminta Pak Zulfa untuk
membuka surat tersebut, memfotonya, dan mengirimkannya kepada saya. Dan..
Entah
bagaimana lagi saya menjelaskan. Saya sujud syukur sambil menangis terharu.
Sangat terharu. Surat tersebut adalah surat jawaban dari usaha-usaha dan
doa-doa saya dari semester dua lalu. Ya, surat penurunan UKT yang di ACC oleh
wakil rektor bidang akademik. Yang membuat saya surprise, saya mungkin
mendapatkan UKT di kisaran Rp 4.000.000, namun Allah tahu yang terbaik, bahwa
saya langsung diberi UKT di kelas dua sebesar Rp 2.400.000. MashaAllah…( ya,
memang.. di IPB penentuan kelas dua dan kelas tiga sangat jauh sekali. Maka
banyak dari mahasiswa yang tidak masuk di kelas dua namun juga tidak sanggup
membayar UKT di kelas tiga.)
Alhamdulillah,
alhamdulillah.. saya sangat bersyukur. Dan kejutan-kejutan lainnya ada di hari
berikutnya, dimana terdapat dua pengumuman beasiswa yang saya memanggil saya.
Alhamdulillah, satu beasiswa lolos dan satu lagi mendapatkan panggilan
wawancara. Saya betul-betul speechless. Seketika itu, di pelupuk mata saya,
saya melihat bayangan diri saya menangis-nangis sewaktu SMA ketika bersikeras
masuk IPB, melihat bayangan diri saya yang mengangkat tas berat ke asrama dan
langsung ditinggal, melihat bayangan diri saya yang sibuk mendaftar puluhan
beasiswa kemudian ditolak, melihat bayangan diri saya yang secara halus diusir
dari rektorat sewaktu mengajukan penurunan UKT, melihat bayangan saya yang
melintasi jalan-jalan di galadiator sendiri sehabis pulang dari rektorat,
melihat bayangan diri saya yang berkali-kali kecewa melihat web resmi beasiswa
dan nama saya tidak pernah ada disana, melihat bayangan diri saya yang meski
berat namun tetap tersenyum sambil berkata “alhamdulillah ‘alaa kulli hal,
Allah mungkin masih menganggap mampu. Mungkin belum rezekinya.”
Saya
sungguh-sungguh belajar dari setiap kejadian itu. Bahwa Tuhan kita jauh lebih
besar dari masalah kita. Bahwa Allaah begitu dekat dengan hambaNya yang sabar,
ikhlas, dan tawakal kepadaNya. Dia melihat usaha hamba-hambaNya yang mau
berusaha dan mendengar doa hamba-hambaNya yang mau berdoa. Bahwa tidak ada
suatu doa yang melangit tanpa jawaban dariNya.
Bahwa
mulai hari itu saya begitu percaya, ayat yang selalu saya baca di waktu pagi
dan petang pada al-matsurat, ayat yang saya baca menjelang tidur, dibacakan di
setiap solat, benarlah adanya. Ayat Al-Qur’an pada akhir surat Al-Baqarah itu. Laa yukallifullahu nafsan illa wus’ahaa.
Dia tidak pernah memberikan ujian di luar batas kemampuan hambaNya. Dan Allah,
begitu sempurna mengetahui batas kemampuan pada diri saya. Dan, kita semua.
Yang sedang berjuang semangat, yang sedang diberi ujian juga semangat. Untuk
apapun itu :)
The more you have the faith
within you, the most God ways have for you too. Because, He wouldn’t charge the
soul within its capacity :)
0 komentar:
Posting Komentar