Sampai hari ini, saya sudah memasuki minggu ke-4 perkuliahan di
semester 3. Dan hari minggu di minggu ke-3, saya pun jatuh sakit. Tak jauh dari
sakit yang biasa menyerang mahasiswa. Terlalu letih, demam, dan gastronitis
karena mungkin terlalu sering telat makan.
Berbeda seperti kehidupan saya di TPB atau Tingkat Persiapan
Bersama (tahun pertama dimana mahasiswa mahasiswi IPB mempelajari dan mengulang
pelajaran SMA) yang begitu menjenuhkan karena kegiatannya tak lebih dari
kuliah dan praktikum. Di semester 3 ini saya mulai menemukan dinamika kehidupan
kampus yang berbeda sama sekali dengan masa masa TPB dulu.
Beberapa kali saya begadang mengerjakan artikel, juga mengebut
laporan agar bisa selesai malam itu karena saya tipikal orang yang tidak bisa
belajar dan mengerjakan tugas setelah berletih-letih kuliah sampai menjelang
senja. Kadang saya mengeluh lelah, kesal, tugas seakan tidak pernah berhenti
juga praktikum yang sudah seperti jadwal harian yang tak terpisahkan.
Belum lagi dosen-dosen yang mengajar saya sekarang banyak sekali
lulusan Jepang bergelar Doktor dan Professor, bagaimana disiplinnya, bagaimana
mahalnya waktu mereka. Pernah suatu waktu, ketika saya terlambat datang ke
kampus dan waktu yang tersisa tinggal 5 menit, saya lari sekencang-kencangnya
memburu lantai 5 dengan gedung kuliah berbentuk heksagonal yang membingungkan.
Sekali lagi harus saya katakan, dosen praktikum saya pernah menuntut ilmu di
Jepang dan tak ada kata "toleransi" untuk sebuah keterlambatan. Temen
terdekat saya pun, tak luput dari sasaran kedisiplinannya karena tiba-tiba
sepatu sandalnya hilang atau di buang oleh beliau.
Meski saya harus berlelah-lelah, namun alhamdulillah pada akhirnya
saya menikmati dan mulai terbiasa dengan kehidupan saya yang sedikit lebih
padat ini. Meski sekarang saya sering sekali mengoleskan minyak angin atau krim
ke kedua betis saya karena terasa pegal, namun pada akhirnya saya tetap
berbahagia dengan apa yang saya putuskan dan bahkan saa jadikan sebagai
"life goals" sejak saya berumur 17 tahun.
Beruntung dan kebetulan, karena setiap hari Senin sore, departemen
kuliah saya sengaja memasukkan mata kuliah Pengembangan Jati Diri Sarjana
Perikanan dan Kelautan sebagai mata kuliah penutup di hari Senin yang
melelahkan. Mata kuliah yang khusus membahas motivasi, sukses, goals, dan juga
cinta yang membawa kami ke kampus hijau ini.
Namun, saya sungguh menangis sore ini. Kelelahan, kesepian, juga
beban mengisi penuh tubuh, hati, dan pikiran.
Ya Allah, seharusnya saya malu ketika saya lupa bersyukur.
Seharusnya saya malu ketika mengetahui tak semua orang berkesempatan untuk
kuliah. Benar, setiap hamba pasti mempunyai bentuk cobaan yang berbeda. Namun,
jika diteliti lebih cermat lagi, ini bukanlah suatu cobaan. Melainkan nikmat
yang perlu disyukuri. Duduk manis mendengarkan dosen mengajar, berkesempatan
diajar oleh guru besar, menerima ilmu berharga dari mana saja, belajar di
ruangan nyaman dengan fasilitas sangat baik, bebas berorganisasi, bebas memulai
bisnis kecil-kecilan, bebas berargument positif. Seharusnya itu membuat saya
lebih bersyukur :')
Mungkin memang benar, setiap niat harus selalu disertakan dengan
komitmen. Karena tanpa komitmen niat hanyalah sebatas niat. Sama sama seperti
orang yang berniat baik namun tak ada aksinya. Sama seperti keinginan yang hanya
diimpikan saja. Ah, saya seperti ini mungkin karena saya mulai mengendurkan
komitmen.
Bukankah komitmen yang akan terus menjaga niat tepat pada
tempatnya?
Darmaga, 28 September 2016
(Pojok Al-Hurriyah, menjelang senja dengan tangis)