Waktu
dhuha ini, aku sengaja menyempatkan waktu untuk menulis. Setelah melapangkan
hati dengan sholat dhuha serta sholat hajat, aku ingin memberikan kenyamanan
untuk diriku sendiri dengan menulis. Tiga hari menjelang pengumuman SNMPTN,
bagiku adalah malam-malam panjang. Alasan lain, karena baru-baru ini aku sering
begadang menekuri kata-kata dari Henry Miller yang kayaknya (pas) banget sama
aku.
Henry
Miller says; “there are only three things to be done with a woman. You can love
her, suffer for her, or turn her into literature.”
Kalau
ditodong pertanyaan; susah move on atau susah membuka hati?
Aku
akan menjawab: susah membuka hati. Kenapa?
Aku
termasuk orang yang (alhamdulillah) gampang gampang aja kok buat move one.
Menurutku, menyayangi tidak selalu membuat kita bahagia, ada pahit, ada getir,
tapi aku tetap percaya kalau semua itu terjadi karena memang
harus terjadi.
Dari
kecil, aku dibiasakan tidak terlalu ngoyo, aku pantang banget mengejar abis abisan
jika memang itu sudah harus dilepaskan. Bagiku: aku akan mempertahankan yang
memang baik untukku. Tapi kalau memang engga, ya udah. Akan aku lepas. Berarti
bukan hak aku. Bukan rezeki aku. Bukan jodoh aku. Bukan takdir aku.
Tapi,
penyembuhan ini perlu waktu yang lama untuk membuka hati lagi. Sebagai orang
yang mempunyai kecenderungan sifat golongan darah B, berhati hati ketika sudah
dikecewakan memang wajib. Masalahnya, aku ditakdirkan pernah dekat lalu bubar
dengan orang-orang yang baik. Sedihnya pasti beda. Ini sedih banget dan susah
banget buat nerima lagi, ketika laki-laki itu memang sudah ada tapi kriterianya “under him”.
Kurniawan
Gunadi dalam bukunya Hujan Matahari, mengajariku satu hal “aku akan sangat
berhati-hati untuk pulang ke rumah yang dipenuhi banyak kenangan. Dan
kehilangan selalu mengajariku banyak hal, terutama menghargai.”
Membuka
hati tidak sekedar mencari sosok pengganti. Kalau mau, kenapa aku tidak memilih
saja sekian dari cowok yang mau sama aku dan masalah selesai. Bukankah begitu?
Nyatanya
masalah hati tidak pernah bisa se-klise itu. Dalam buku Mas Gun, banyak sekali
yang dia ceritakan, tentang bagaimana cara laki laki menyakiti hati wanita
dengan sikap baiknya. Dan, itu benar. Laki-laki yang dekat denganku memang
lebih banyak yang bersikap baik, pergi lalu tanpa kepastian. Bukankah wanita adalah makhluk kepastian?
Sejak
saat itu, aku berpikir: (mungkin) hanya Mas Gun saja yang peka. Dia seperti
tukang ramal yang mengetahui seluk beluk hati perempuan yang selama ini selalu
perempuan tutup-tutupi. Seperti suara hati.
Laki-laki
itu banyak yang datang seperti salah satu kutipan dalam buku Hujan Matahari,
seperti ini:
Apakah harus jatuh cinta terlebih
dahulu?
Ternyata bukan. Aku menyukai
caramu mendatangiku.
Kau tahu, aku terkesan pada
penghormatanmu kepadaku.
Ah, ternyata aku hanya butuh
didatangi terlebih dahulu dengan kebaikan
Cinta itu akan tumbuh dan
berkembang kemudian
Terima kasih telah datang
Aku
merasa laki-laki mendatangiku dengan cara yang disebutkan diatas. Itulah alasan
mengapa aku sulit membuka hati untuk laki-laki. Sungguh aku sangat berhati-hati
sekarang. Karena selain baik, satu hal yang pasti. Aku butuh sebuah kepastian.
Baik saja tak cukup. Bahkan terkadang, kebaikannya yang akan menjadi sembilu
yang mengiris hati ketika dia pergi.
Dan
bagaimana cara terbaikku melupakan sudah disebutkan diatas. Cara terbaikku
adalah dengan menceritakan lewat sebuah cerita. Karena aku juga bukan termasuk
orang yang suka curhat sana-sini, aku cenderung menutup cerita pribadi kecuali
dengan orang yang benar-benar bisa aku percaya.
Ya,
cara terbaik untuk melupakan (supaya tidak cinta dan tidak kangen) hanya dengan
menuliskannya melalui sebuah cerita. Meski terkadang, aku tersedu sendiri
membaca tulisan-tulisan tapi setidaknya rindu bertemu bisa ditahan dengan
membaca tulisan itu sendiri.
Ya,
semua itu adalah pilihan. Dan pilihan mempunyai konsekuensi yang harus diambil.
Biarlah, aku memilih bersama dia yang baik, penuh kepastian, dan bisa membuka
pintu hatiku (kembali) dengan caranya meski dalam waktu yang gak sebentar.
Dan
bukankah, dengan memilih kita belajar untuk menjadi bijaksana? Bukankah
dengan berjuang melawan keinginan itu sekarang ini, kita juga belajar untuk menjadi
sabar?
0 komentar:
Posting Komentar