Barangkali,
saya menjadi bagian kecil dari jutaan manusia di muka bumi ini yang begitu
detail memperhatikan perubahan yang terjadi di sekitar kehidupan yang dekat
dengan saya.
Termasuk
memperhatikan sebuah fitrah manusia dari Tuhan yang sekarang kerap kali
dikerdilkan dengan sebutan “baper” atau bawa-bawa perasaan. Ya, fitrah yang
bernama perasaan.
Mengapa
perasaan begitu dikerdilkan?
Padahal
menurut Tristia Riskawati, perasaan adalah serangkaian tanda yang sungguh
kompleks, abstrak, tebal, kaya, powerful, dan menggerakkan– dibanding
pemikiran. Maknanya berlapis-lapis.
Perasaan– datangnya
langsung dari Ilahi. Direct.
Perasaan adalah
anugerah. Saking tebal dan kaya-nya sebuah perasaan, butuh upaya manusia untuk
menyederhanakan abstraksi ini.
Hasil penyederhanaan
inilah yang dinamakan pemikiran. Pemikiran merapikan dahsyatnya perasaan
yang hinggap.
Lapis-lapis perasaan,
dapat dikupas oleh pikiran manusia yang canggih nan berbatas. Dalam tiap lapis,
terdapat makna yang menyengat.
Termasuk perasaan,
ehem… ingin menikah muda.
Tolong jangan
ditertawakan. Karena perasaan ini telah melewati sekelumit pemikiran yang
sulit, yang kompleks, dan berkembang.
Mengapa bisa
dikatakan berkembang?
Seorang teman berkata
kepada saya, “Ada hal-hal yang membuat saya ingin menikah muda. Banyak sekali
alasannya. Saya tahu tidak mudah menjalaninya, harus kuliah dan berbakti kepada
suami sekaligus. Tapi pendewasaan diri dan perasaanlah yang membawa saya ingin
menjalani semua ini. Tentu dengan ikhlas dan siap berkomitmen.”
Saya tergelitik untuk
bertanya lebih lanjut,
“Apakah sebelumnya
kamu mempunyai pemikiran seperti itu?”
Saya semakin
mendekatkan diri ke arahnya. Penasaran.
“Tentu tidak. SMA
saya masih berpikir bersenang-senang, pacaran misalnya. Tapi semua itu berubah
saat saya masuk kuliah. Perasaan ingin dilindungi, ingin dimuliakan, ingin
dekat dengan Tuhan.”
Maka disimpukan,
perasaan berkembang dari yang dulunya ingin “main-main” saja seiring dengan
pendewasaan diri berkembang menjadi lebih jauh pemikirannya.
Saya sangat tertarik
membahas masalah perasaan ini karena perasaan kerap kali disalahkan.
Padahal bukan
perasaannya yang salah tapi bagaimana kita menyikapinya.
Marah, kesal, sedih,
suka, naksir seseorang, terharu dan beragam perasaan lain sebagai seperangkat
kode langsung dari Ilahi. Memecahkan kode dengan cara yang salah (atau dibumbui dengan hawa nafsu)
pasti akan menghasilkan sesuatu yang buruk pula.
Misalnya, saya
cemburu bukan main dengan mereka yang mendapat beasiswa sedang saya tidak.
Salah saya kemudian membenci mereka dan memberi alasan, “Ah, mereka kan enak
bisa langsung ngurus ini itu tanpa ditanya-tanyain. Punya orang tua yang meski
sederhana tapi mensupport abis-abisan. Mengutamakan kebahagian anaknya diatas
kepentingan yang lain.”
Akhirnya saya harus
mengkonveksi perasaan cemburu saya menjadi energi negatif.
Namun, di lain sisi,
rasa cemburu itu sangat berpotensi besar untuk memantik semangat dalam diri
supaya tidak menjadi pribadi yang pantang menyerah. Rasa cemburu itu sangat
berpotensi besar untuk membuat langkah kita lebih jauh, lebih matang, dan lebih
terarah supaya bisa mendapatkan beasiswa itu.
Atau, ketika sedang
menyukai seseorang. Jujur, ketika sedang menyukai lawan jenis, peran dan
dominasi perasaan lebih kuat dibanding logika kita. Kita akan terbawa kepada
fase melankolika yang mencengkram atau kadang pula menjadi hiperbola dan
menggelikan untuk diingat. Ketika hal yang biasa mungkin menjadi penyebab galau
setengah mati, semisal dia yang disukaimu harus ada acara kampus selama
seminggu dan tidak bisa membalas pesan-pesanmu, mungkin kamu akan merasakan
hari-hari yang penuh cemas dan gelisah.
Akibat dari iklim
masyarakat pun, kita kerap kali salah menerjemahkan rasa itu dengan tepat,
sehingga akan membawa diri kita kepada pemikiran yang salah. Diatas sudah saya
jelaskan, bahwa pemikiran merupakan penyederhaan dari sebuah abstraksi bernama perasaan.
Sepanjang 18 tahun
saya hidup, selalu saya temukan pembelajaran yang Allah titipkan ketika sedang
jatuh hati.
Entah pengalaman
pribadi ketika saya sedang jatuh hati atau ikut memberi nasihat kepada kawan
karena saya sadar saya juga pernah merasakan.
Begitu pun dengan
“menikah muda”, baper karena ingin memiliki namun masih ada dalam perasaan yang
gamang akan perasaannya sendiri. Bukan hal yang mudah, karena ketika kita sudah
memutuskan untuk menikah, kita tak hanya siap menjadi istri. Amanah yang harus
diemban menjadi istri sholehah, menantu yang santun, ibu yang teladan, dan
masih banyak lagi.
Jadi, jangan
mengolok-olok dengan mengatakan kepada teman kita “Ih, kamu baper ya.” Atau bahkan
kamu mentertawakan keinginan mulianya tersebut. Karena apa yang dirasakannya
merupakan hasil dari pemikiran yang sulit, kompleks, namun lebih mulia
dibandingkan dengan jalan pintas yang ingin memiliki tapi tidak dengan cara
yang baik dan mulia.
Sungguh, aku belajar banyak dari tulisan yang kutulis kali ini. Sebelum ini, aku pun sering kali kurang mengerti dan menghormati perasaan orang-orang dengan berkata, "Ih, kamu baper." "atau "Tolong, jangan dibuat baper.". Kini aku tahu bahwa perasaan itu sama sekali tidak bisa aku salahkan. Perasaanlah yang menuntun kita untuk melakukan sebuah pemikiran. Semoga semakin bertambahnya ilmu yang kudapat, semakin pandai pula aku menghargai perasaan orang lain juga pandai menafsirkan pemikiran yang tepat untuk menyederhanakan semua perasaan-perasaanku yang kadang tidak selalu baik.
Jadi, bukan baper lagi kan namanya? Tapi
insyaAllah biper, alias terbimbing perasaan :)
(Special thanks to Kak Tristia, for giving me a precious thing to learn and an idea to write on
this afternoon)