Dengan tergesa, aku buru-buru meninggalkan gedung kuliahku. Rasanya sungguh lega karena siang tadi aku baru saja melaksanakan ujian mata kuliah terakhir di semester ini.
Dengan muka berseri-seri, aku hampir saja
berlari memburu waktu. Kulihat kembali jam di tangan, menunjukan waktu ashar
yang hampir datang. Terlihat di jalan, beberapa mahasiswa yang baru saja keluar
dari ruang kelas (pun) tertawa bahagia sambil bercanda bersama temannya.
Bukan saja mengingat libur panjang yang telah menunggu
yang membuatku bahagia. Terlepas dari buku-buku selama tiga minggu. Juga
terlepas dari tugas-tugas terstruktur dengan laporan praktikum yang membuatku
tak pernah tidur di awal waktu. Atau beberapa kuis yang membuat jenuh dan
stress sampai-sampai butuh hiburan dengan melihat wajah-wajah tampan khas pria
Korea di serial drama?
Ah, bukan. Ada alasan lain.
Janji makan bersama selepas azan ashar dengan
tetanggaku di kamar depan yang membuatku senang dan harus sedikit mempercepat
langkahku kembali di asrama. Hal yang mungkin kecil dan sepele, tapi harus
menjadi prioritas mengingat kami sampai rela menghemat uang makan untuk sarapan
dan juga makan siang.
Setelah menunaikan empat rakaat salat ashar,
aku bergegas pergi bersama tetangga-tetangga baikku. Bukan hanya tetangga untuk
sekedar meminta dan diminta air minumnya. Namun tetangga-tetangga di depan
kamarku sudah seperti keluarga. Mereka sudah terbiasa mendengar cerita-ceritaku,
belajar bersama sebelum ujian dimulai, sampai mungkin menggoda ketika ada salah
seorang diantara kami yang sedang dekat dengan laki-laki. Aku tersenyum
mengingat bagaimana saran mereka not
works at all ketika tanganku berkeringat dingin setiap kali berada di dekat
seseorang.
Hal inilah yang membuatku menunda kepulangan ke
rumah. Kami akan berpisah selama kurang lebih tiga minggu. Bogor, Bekasi, Jakarta,
Lumajang, Pangandaran, dan Semarang akan memisahkan kami. Kami akan sama-sama
pulang. Ke tempat yang sama-sama kami sebut sebagai rumah.
Aku juga sengaja menunda kepulanganku ke rumah
karena aku ingin menulis fenomena pulang kampung ini. Aku harus mengamati
langsung. Dan aku selalu senang mengamati betapa sibuknya teman-temanku
mengangkat koper-koper yang penuh berisi baju dan oleh-oleh khas Kota Bogor.
Aku jadi ingat beberapa temanku yang bahkan membelikan keluarganya oleh-oleh
bibit dan biji sayur-sayuran serta bunga-bungaan produksi langsung perguruan
tinggi kami. Atau makanan khas dan kerajinan tangan edukasi semisal boneka
horta.
Aku menikmati kepuasan dan keunikan sendiri.
Aku bisa menangkap air muka mereka yang
berseri-seri, meski harus menarik koper jauh sekali dari kampusku. Sampai
punggung badan mereka menghilang setelah berpamitan. Senyumku selalu masih ada
disana.
Hal yang beberapa tahun lalu kurasakan sama.
Ketika Pangandaran kutinggalkan demi menemui perempuan pagiku di Kota Bogor
ini. Ketika rindu sudah terlalu membuncah dan pertemuan adalah sebaik-baik obat
bagi mereka yang merindu. Kadung bahagianya, aku menikmati perjalanan sambil
menangis terisak karena terharu. Aku yakin, pasti teman-temanku juga merasakan
hal yang sama.
Memang, kita akan semakin merindukan rumah
ketika kita tak ada di dalamnya. Kita akan sangat merindukan rumah, ketika
tempat lain tak merumahkan kita seperti sebelumnya. Terlepas dari apapun hal
yang membahagiakan atau membuat kita kesal. Terlepas dari betapa bawelnya Ibu
kita. Terlepas dari betapa galaknya Bapak kita. Terlepas dari betapa nakalnya
adik-adik kita. Atau terlepas dari betapa sulitnya hidup kita. Tetap. Kepada
rumah lah, kita akan segera pulang. Melepas lelah, menghibur diri atas sepi
yang menggerogoti hati, mengobati rindu, membungkam gundah dan gelisah, dan menemukan
kehangatan yang tak pernah kita temukan di tempat lain.
Satu hari setelah kami resmi dinyatakan libur.
Rindu mendorongku untuk berbicara. Menghubungi
Ibu, mengabarkan hari ini aku akan pulang ke rumah.
Ya, hari ini aku memutuskan untuk pulang. Meski
tak selama dan sejauh teman-temanku yang
perantauan, tetap saja aku rindu. Dan hal itu harus segera terobatkan.
Tak ingin menghabiskan waktu dan kemudian
menyesal, setelah selesai menyelesaikan tulisan ini aku sungguh akan segera
pulang. Menghabiskan waktu yang tersisa. Karena mungkin saja, entah itu esok,
lusa, satu minggu, dua minggu, sebulan, satu tahun, atau beberapa tahun lagi,
rumahku akan berpindah kepadamu.
Dan aku tak pernah kuasa berkata tidak. Karena
kepadamu lah, aku pulang. Kepada rumahku yang sesungguhnya.
0 komentar:
Posting Komentar