“Aku
berterima kasih, kamu mau mengantarku pergi jalan-jalan keliling kota Bogor.”
Ujar seorang perempuan berkerudung coklat muda yang duduk tepat disamping
tempat dudukku.
Aku
tersenyum. Dia keliatan ceria sekali. Rasanya dia memang benar-benar butuh
merefresh pikirannya setelah berkuliah sepanjang minggu ini. Begitu juga aku. Senyumnya
merekah, beda sekali dengan keadaan dirinya sekitar 5 bulan yang lalu. Dia
menangis tergugu di hadapanku, mukanya pucat sekali karena kurang makan dan
kurang tidur. Tentu saja karena semalaman menangis. Sekarang yang kulihat dia tersenyum
manis, kurasa luka-luka hatinya yang begitu parah itu hampir sembuh. Kali ini,
semoga saja aku benar.
“Kamu
terlihat bahagia sekali. Bagaimana nilai UTS-mu?” aku bertanya antusias
kepadanya.
Dia
tersenyum cerah, “Alhamdulillah..”
Trans
Pakuan yang aku tumpangi bersamanya mulai berjalan. Aku senang sekali menemukan
dirinya yang hampir sudah seperti dulu, selalu menyenangkan berdiskusi dengan
orang seperti dirinya. Aku rasa dia memiliki daya dimana orang akan antusias
dan senang sekali berbicara dengannya. Dia seperti menguasai bermacam-macam
topik pembicaraan, dan sesekali kami berdiskusi tentang tugas akhir karena kini,
kami sama-sama duduk di semester 6.
Tak
terasa hampir separuh perjalanan kami, aku pun tertidur. Praktikum yang
melelahkan mungkin telah menghabiskan banyak sekali energi, belum lagi aku
harus membetulkan revisi proposal penelitianku. Namun, belum sampai 10 menit aku
tertidur, aku dikagetkan oleh suara isak tangis perempuan. Aku kaget setengah
mati mengetahui orang yang menangis itu adalah perempuan di sampingku,
perempuan berjilbab coklat muda itu.
Aku
sentuh bahunya, sembari bertanya “Are you okay?”
Dia
tidak menjawab. Aku semakin khawatir. Mungkinkah dia sakit? Atau ada
masalahkah? Aku lihat jalanan di sampingku, macet dan crowded sekali.
Pantas saja, sudah masuk jalanan paling utama di
Kota
Bogor. Aku tanya sekali lagi, apakah dia sakit? Melihat begitu padatnya
jalanan, aku semakin yakin untuk turun saja jika memang dia sakit.
“Kamu
sakit?” aku menunggu jawabannya dengan harap-harap cemas.
Di
luar dugaanku, dia justru mengalihkan badannya ke arahku. Perlahan dia menghapus
air matanya. Aku memeluknya erat-erat. Diantara peluknya, dia berkata lirih,
bahwa dia tidak sakit. Sembari meminta maaf telah membuatku khawatir.
“Aku
minta maaf. Aku sudah membuatmu khawatir. Kukira memang sudah selesai. Setelah
kejadian 5 bulan kemarin, aku mati-matian menyembuhkan luka lebam diseluruh
penjuru hatiku. Tapi kali ini, aku sungguh tidak kuat menangis. Aku kira, luka
itu telah menemukan kuncinya. Tiba-tiba saja, kuncinya terbuka dan seperti
memukulku kembali untuk mundur dan menyerah.” Ucapnya serius.
Oh
ya Allaah, ternyata dugaanku salah. Aku tahu, perempuan ini sedang berjuang
habis-habisan menyembuhkan lukanya. Perempuan ini sedang berusaha keras untuk
bisa berdamai dan memaafkan dirinya sendiri. Aku paham sekali bahwa ada yang
belum selesai dengan urusan hatinya.
Aku
mencoba memulai percakapan kembali dengan hati-hati, “Kamu tau apa yang harus
kamu lakukan bukan?”
Dia
mengangguk, sambil tersenyum tipis dia berkata kepadaku, “Aku hanya perlu didengarkan
dan mengalirkan perasaan. Selebihnya insyaAllah aku akan berusaha berdamai
dengan diriku sendiri. Aku memulai untuk memaafkan diriku sendiri. Memaafkan
diriku sendiri bukan berarti aku harus mengembalikan semua salah kepadaku,
terlebih yang paling penting aku berhak hidup tenang bukan? Mengingat setiap
kebaikannya, agar aku tak perlu berat untuk memohon ampun untuknya. Aku juga
berdoa supaya ketika bertemu kelak, dia akan menunjukan sikap yang lebih
menyenangkan. Meskipun (mungkin) pada kenyataannya nanti, dia akan melakukan
sebaliknya; tapi setidaknya aku merasa menang, karena aku tidak membalas
keburukan dengan keburukan.”
“Dan
masya Allaah tabarakallah, bukankah di Al-Qur’an dikatakan fa’fu’anhum
wastagfirlahum, maafkan mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka
kepada Allaah. Kamu benar banget, Nab. Memaafkan dan memohonkan maaf membuat hidup
kita terasa lebih ringan, aku pernah melakukannya dulu. Dan kamu juga benar,
aku harus selesai dengan diriku sendiri karena banyak orang menungguku di luar
sana.”
Mendengar
jawaban itu, aku tersenyum dan bernafas lega. Semoga Allaah, selalu
menetapkannya dalam kebaikan. Diskusi kami akhirnya terhenti setelah kami turun
dari Trans Pakuan.
Tapi
entah mengapa, perempuan itu selalu mengikutiku sepanjang hari. Entah itu,
ketika aku makan, ia ada disana. Ketika aku sholat, dia ada. Saat perjalanan
pulang, ia ada. Saat di perjalanan, ia ada. Ketika aku di rumah, ia ada. Bahkan
ketika aku membuka laptop dan menulis cerita ini, dia pun ada. Aku baru
menyadari, bahwa dari tadi akulah yang berbicara kepada diriku sendiri.
Bagaimana,
kini hatimu telah lebih lapang bukan? Semoga kamu bisa cepat selesai dengan
urusanmu sendiri pula.
0 komentar:
Posting Komentar