Ada satu
hal yang baru aku sadari, yaitu tentang kebenaran sebuah ungkapan. Dulu,
orang-orang ramai berkata bahwa ibu kota lebih kejam dari ibu tiri. Sekarang
ada yang berkata, bahwa ibu jari netizen lebih kejam dari apapun di dunia
ini. Tanpa sadar, aku sangat setuju dengan perkataan itu. Media
sosial masa kini telah menjelma menjadi arena sindir, bully, atau bahkan
pengingat diri yang tanpa sengaja menyakiti orang lain. Bagiku,
subjeknya juga macam macam. Dari yang tak tahu etika bermain media sosial,
namun ada juga mereka yang berpendidikan namun tetap saja berlaku demikian. Body
shaming sepertinya sudah menjadi hal yang wajar. Mengomentari fisik seperti badannya
gendut, alisnya tipis, hidungnya pesek sudah menjadi hal yang lumrah. Makan di
warteg diintimidasi karena miskin dan bangkrut. Sedikit pipi tirus menjadi
alasan untuk dikomentari stress dan depresi. Ibu-ibu sibuk berkarya, bekerja,
dan berkontribusi di luar rumah cukuplah menjadi serangan bahwa mereka-mereka telah
menyalahi kodratnya sebagai perempuan yang seharusnya mengurus suami dan anak
di rumah.
Cukuplah
kita semua memaafkan sifat-sifat mereka yang tidak mengetahuinya. Namun,
sebagai orang-orang yang paham bahwa hal tersebut membahayakan, sadarkah kita
bahwa bisa saja kita yang melakukan hal tersebut? Tegakah kita bila sama-sama menyakiti
hati saudaranya meski tidak sengaja? Berawal dari bercanda, memberikan
saran dengan cara, waktu dan tempat yang tidak tepat, lalu mengingatkan diri
sendiri namun menyisakan luka di hati saudara kita. Contoh kecil, bisa
saja kita memposting keinginan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya, meninggalkan
pekerjaan kita meski pekerjaan tersebut sudah bertahun-tahun kita jalani, lalu
memposting tentang bermacam-macam hadist dan ayat Al-Qur’an yang mendukung
keinginan kita tersebut. It’s okay you do that. Tapi, terpikirkah
kita bisa saja hal-hal tersebut menyakiti sesama ibu pekerja? Aku memang masih
single dan belum mempunyai keluarga kecil sendiri, tapi aku tahu betul
bagaimana perasaan ibuku yang wanita karir setiap kali melihat kalimat-kalimat
itu di laman facebooknya.
Mereka
banyak sekali yang mengunggah penyesalannya, kekhawatirannya, lengkap dengan
dalil juga firman-firman ayat Al-Quran yang memperkuat keinginan mereka. Perlu
digaris bawahi disini, bahwa itu tidaklah salah, itu adalah benar. Tapi bisakah
kita belajar menjadi pribadi yang sedikit lebih bijaksana lagi? Bagaimana
kita bertutur kata di media sosial jelas sangat berbeda ketika kita bertutur
kata di dunia nyata. Berbicara di dunia nyata akan lebih mudah diluruskan
ketika salah paham. Namun, berbeda halnya ketika kita berbicara dan beretika
yang tak sesuai ketika di linimasa. Akan sulit sekali meluruskannya. Bukan
hanya masalah ibu pekerja atau ibu rumah tangga, hal-hal seperti membagikan
romansa pernikahan di linimasa juga kerap menjadi nafas tertahan bagi
orang-orang yang belum menikah, unggahan-unggahan manis foto-foto kehamilan
menjadi sesuatu yang menyakitkan bagi pasangan yang sejak lama mendamba seorang
anak. Sekali lagi, itu tanpa berniat menyakiti mereka. Tapi alangkah
lebih elok lagi, apabila kita mengetahui apa yang kita inginkan telah Allaah
kabulkan, lebih baik kita banyak bersyukur dan memilih diam. Bukan. Bukan
karena aku iri. Tapi mungkin lebih kepada menjaga perasaan saudara-saudara
kita. Bukankah kemarin-kemarin kita pernah ada pada posisi seperti mereka?
Ibuku
sendiri bangun sebelum jam setengah 5 pagi, memilih meninggalkan kamarnya dan
mengurangi jatah tidurnya padahal sehari sebelumnya ibuku memasak untuk
catering, mencuci, menyetrika baju, membersihkan rumah, hanya untuk menyiapkan
sarapan dan camilan sehat untuk adik-adikku. Lalu bagaimana dengan mengandung 9
bulan, 3 kali melahirkan menyambung jiwa dan raga demi aku dan adik-adikku,
belum lagi membesarkan dan menyusui demi menyambung kehidupanku dan kedua
adik-adikku, membiayai full kehidupan dan pendidikan ketiga anaknya, begadang
sepanjang malam ketika anak-anaknya sakit, mengerahkan semua kekuatannya,
merapal semua doa-doa untuk kesuksesan, kesehatan, dan kebahagiaan
anak-anaknya. Tidakkah itu semua cukup membuktikan bahwa sebenarnya ibu
pekerja seperti ibuku juga tetap hebat seperti ibu-ibu rumah tangga?
Ada
berjuta alasan, mengapa perempuan memilih menjadi wanita pekerja begitupun
dengan konsekuensinya. Entah itu karena suaminya sakit, suaminya
meninggal, atau menjadi single parent. Lalu, aku ingin bertanya?
Bagaimana dengan dosen-dosen perempuanku yang berpendidikan tinggi sampai S3
bahkan menjadi profesor atau amrita? Mereka semua adalah seorang ibu.
Berangkat pukul 06.00 pagi menuju kampusku, lengkap dengan sarapan yang sudah
tersedia juga pekerjaan rumah tangga yang sudah rapih dan selesai. Pantaskah
mereka mendapat sindiran atau setidaknya dilukai hatinya meski postingan itu
berawal untuk mengingatkan kita saja? Bukankah mereka-mereka semua yang
mendidik dan mengajarkan anak-anak kita kelak menjadi orang-orang yang berbudi
pekerti juga berwawasan luas?
Jadi
siapa yang lebih hebat? Siapa yang paling merasa menjadi seorang ibu
sesungguhnya? Siapa yang lebih mulia?
Ibu
rumah tangga, ibu dosen, ibu guru, ibu dokter, ibu penulis, ibu karyawan, ibu penjual
online, ibu tukang sampah, ibu pemulung, ibu direktur, ibu penyapu jalan, ibu
penjaga soto, semuanya mulia. Tidak ada rumus sekalipun yang mampu
membandingkan mana lebih tinggi dan lebih rendah atas pilihan kita dibandingkan
dengan pilihan orang lain. Karena sekali lagi, setiap
perempuan memiliki berjuta alasan mengapa dirinya memilih untuk bekerja. Jadi,
bisakah kita saling menghargai? Bisakah kita saling menghormati pilihan
masing-masing?
Tolong
ya ibu-ibu yang sudah berumur, ibu-ibu muda, juga shalihah (yang insyaAllaah
akan segera berkeluarga) jangan lukai keikhlasan ibu-ibu pekerja dengan
postingan-postingan yang tanpa sadar menyakiti hati perempuan lainnya, meski
kita sering memberi alasan bahwa itu hanya untuk pengingat kita seorang :’)
Karena
meskipun mereka-mereka semua adalah ibu ibu pekerja, tapi mereka tetaplah
seorang ibu.
0 komentar:
Posting Komentar