“Gantungkan
cita-citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit… Jika engkau jatuh,
engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.”
Aku
tinggal di sebuah desa bernama Mangunjaya. Desa paling utara sebuah Kabupaten
termuda di Indonesia .
Kabupaten yang langsung tersohor karena keindahan pantai-pantainya, juga
Kabupaten yang tersohor berkat salah satu putri terbaiknya, berhasil menduduki
posisi sebagai Menteri Perikanan di Kabinet Kerja milik Pak Presiden Joko
Widodo meski hanya lulusan SMP. Ya, Ibu Menteri Perikanan Susi Pudjiastuti yang
berasal dari Kabupaten bernama Pangandaran.
Sebagai
anak daerah, yang bahkan nama desanya tak diketahui oleh kebanyakan orang, aku
tidak pernah takut untuk bermimpi. Mimpi-mimpiku kugantungkan setinggi langit.
Begitulah yang diajarkan oleh Bapak Presiden Soekarno, Bapak Presiden yang
pertama memimpin Indonesia .
Karena aku tahu, meski nanti aku jatuh, aku akan jatuh diantara
bintang-bintang.
Perjalanan
hidupku yang dari awal tidak mudah, semakin memantapkan langkahku untuk
menyibak jalan terjal kehidupan melalui pendidikan. Meskipun aku lahir sebagai
perempuan, bukankah aku juga wajib cerdas? Mengapa? Karena aku berpikiran,
anak-anakku kelak berhak lahir, tumbuh, dan berkembang dari rahim seorang
perempuan cerdas.
Pernah
lahir dan besar di kota
yang bersinggungan dengan Ibukota Jakarta, membuatku banyak sekali pengalaman
hidup. Suka, duka, sedih, bahagia, aku tlah melewatkannya. Dan memulai hidup
baru di Pangandaran, jujur kukatakan…. bukanlah suatu jalan yang (awalnya)
mudah bagiku.
Masalah
itu, bukan hanya sekedar tentang teman-teman yang berbeda dengan teman-temanku
di kota , lebih
dari itu… Kampungku di Pangandaran merupakan desa yang masih menganggap
pendidikan itu nomor dua.
Awalnya,
aku memang stress berat. Pindah ke tempat dimana aku bahkan tidak menemukan
mall atau bioskop sama sekali. Infrastruktur dan fasilitas yang begitu minim
dan (tentu) saja tak sebaik disana, bahkan warnet pun jauh. Aku harus pergi ke kota kecamatan untuk
menemukan warnet. Bayangkan dengan di kota dimana segala tempat penyedia jasa berlimpah ruah.
Belum
lagi, sebagai anak baru, aku harus menjalani masa-masa pembully-an dari teman
sekelasku. Menurut mereka aku terlalu mencari perhatian guru. Intinya,
tahun itu adalah tahun terberat yang kujalani. Dari kota kubawa duka, disana-pun masih
mendapatkan duka.
Namun, aku
berusaha bangkit dari keterpurukan. Aku mencoba survive dengan kehidupanku yang sekarang. Mencoba menjadi pribadi
yang lebih adaptive and grateful. Aku
mencoba menikmati semuanya. Aku sudah tidak melakukan compare sana sini, antara desa dan kota . Aku menikmati hidupku
sebagai gadis desa yang riang, lincah, dan terbuka. Aku mengambil hikmahnya
saja: sekarang paru-paruku lebih sehat karena mendapat oksigen yang berlimpah
dan lebih bersih dari kota tempat tinggalku
sebelumnya, kebersamaan dengan teman-teman yang ((sebetulnya baik)) patut diacungi jempol ((kalian tahu, orang-orang kota yang begitu sibuk dan individualis))
Sampai
akhirnya, aku naik ke kelas 11 SMA, aku sedikit was-was dan selalu
memperhatikan perkembangan kakak kelasku yang ingin melanjutkan kuliah. Aku
was-was karena setiap tahunnya, bahkan tak ada seorang-pun dari sekolahku yang
mampu menembus PTN negeri, sekelas UI, ITB, UGM, IPB, UB, dan lain-lain.
Aku
kembali membanding-bandingkan antara sekolahku disini dan di kota
sana , pikiran-pikiran itu terus melayang di
benakku, “andai saja aku masih sekolah di kota ,
peluangku masuk PTN pasti lebih besar, disana pun banyak bimbel-bimbel.” Aku
terus memikirkan itu. Pikiran-pikiran buruk itu terus saja hinggap, disini tak
ada bimbel sama sekali, bayangkan saja, untuk mencapai bimbel, aku harus
mencapai ke luar kota
dengan jarak tempuh kurang lebih 40 KM. Hal yang tidak mungkin aku lakukan
hanya untuk mengejar sebuah “bimbingan belajar”.
Tahun
ketiga yang notabenenya adalah tahun terakhirku di sekolah menengah atas, sekaligus
tahun yang sangat menentukan, kemana langkah selanjutnya aku akan melangkah,
aku merasakan perasaan yang sulit ku-ungkapkan.
Aku jadi
lebih sering menutup diri dari lingkungan luar. Satu tahun yang sibuk
kuhabiskan untuk berorganisasi, tidak bersisa sama sekali ketika aku memulai
semester 6 di SMA. Semester terberat yang aku jalani. Semester tanpa orang tua.
Semester dengan tekanan batin luar biasa. Sejak saat itu, aku lebih sering
mengurung diriku sendiri. Kesan sebagai gadis yang ceria, lincah, dan
ekstrovert perlahan menguap dari diriku. Aku begitu ingin masuk kampus impian itu. Ya, kalau aku bermain-main, aku pasti semakin sulit mendapatkannya.
Aku
belajar habis-habisan. Aku mengejar universitas impian. Bagiku mewujudkan
impian menjadi yang pertama untuk tembus PTN bukan suatu ketidakmungkinan. Ya,
selama 15 tahun berdiri, aku ingin sekali menjadi perintis masuk PTN sekelas
UI, IPB, ITB, UGM dan lain-lain untuk yang pertama kalinya dari sekolahku.
Karena
mungkin terlalu memforsir tenaga serta pikiran untuk itu, aku lebih sering
sakit, aku sering sekali pergi ke dokter bahkan dokter menyarankanku untuk
rawat inap untuk beberapa kali. Disaat seperti itu, mental dan kesehatanku
benar-benar down. Aku hampir menyerah, aku merasa stress luar biasa menghadapi
try out serta ujian ujian yang sudah ada di depan mata.
Benar saja
dugaanku. Setelah UN, aku down berat. Aku merasa soal UN benar-benar membabat
habis mentalku. Tak bersisa. Aku betul-betul hancur mengetahui kalau aku tak
bisa tenang menghadapi UN. Belum lagi mendengar teman-temanku di kota bisa mengerjakan soal
dengan baik karena mereka ikut bimbel, banyak berdiskusi dengan teman, atau
bahkan les private. Aku betul-betul terpuruk. Aku sedih luar biasa. Aku merasa
universitas impianku semakin jauh. Institut Pertanian Bogorku semakin sulit
kugapai. Aku menyalahkan semuanya. Aku melupakan kerja kerasku selama satu
tahun terakhir. Aku merasa semua itu sia-sia saja. Ya, aku menangisi dukaku.
Aku merasa diriku seperti butiran debu yang siap dibawa oleh angin kemana saja. Pasrah.
Aku menangisi dukaku. Lalu, aku memutuskan untuk segera pulang ke rumah kedua
orangtuaku di Bogor .
Tujuannya jelas: membawa pergi luka-luka sehabis UN dan (segera)
menyembuhkannya.
Hari-hari
berjalan begitu cepat. Tak terasa beberapa hari lagi pengumuman SNMPTN. Aku
masih belum bisa bangkit dari kesedihanku pasca UN kemarin. Perasaan takut dan
pesimis tidak dapat nilai bagus. Jika ingat itu, aku selalu ingin menangis.
Lalu, aku kembali membandingkan nilai-nilai UN ku sewaktu SD dan SMP, menembus
angka rata-rata 9, murni dan sama sekali tanpa kunci jawaban. Aku sangat takut,
nilai UN SMA ku jauh dari ekspektasi yang diharapkan. Bayang-bayang UN
betul-betul menghantuiku sampai sampai aku melupakan bahwa sesungguhnya aku pun
harus belajar untuk persiapan SBMPTN. Kenapa? Karena sekolahku belum mempunyai
link kemanapun untuk unversitas sekelas IPB, UI, ITB , UGM, UB dan lain-lain,
jadi mengandalkan SNMPTN saja adalah kenekatanku yang betul-betul aku sesalkan
sampai sekarang.
Aku
melupakan itu. Sampai akhirnya pengumuman SNMPTN dibuka, dan aku TIDAK LOLOS
SNMPTN di universitas impianku, Institut Pertanian Bogor. Aku betul-betul
hancur saat itu. Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana perasaanku saat itu. Aku
merasakan lukaku seperti disiram air garam. Pedih. Pedih sekali. Belum lagi
sembuh lukaku, kini harus merasakan pahitnya “DITOLAK” universitas impian.
Padahal sebelumnya, ketika masuk SMP aku tak harus bersusah payah, dengan nilai
yang kupunya, aku bisa masuk SMP Negeri manapun di kotaku, begitupun ketika
masuk SMA, aku bahkan sudah dapat sekolah satu minggu sebelum pelaksanaan Ujian
Nasional SMP. Kali ini? Aku betul-betul ditolak. Ya. DITOLAK.
Rasanya
nilai-nilai yang kusiapkan selama SMA tak ada artinya. Nilai rapotku yang
rata-rata 9 tak ada artinya. Kedukaanku semakin bertambah, ketika teman-temanku
semasa SMP dan SMA dulu yang menjadi sainganku memperebutkan juara kelas atau
juara umum berhasil masuk jurusan favorit seperti Kedokteran UI atau Akuntansi
UI. Pokoknya banyak yang masuk IPB, Unpad, UI, UGM. Dan yang membuatku sedih,
aku tak menjadi bagian diantara mereka.
Aku bahkan
sempat menyerah. Aku sudah tak ingin ikut SBMPTN, Sebenarnya… beberapa alasan,
kenapa aku down berat pasca pengumuman SNMPTN; 1) aku sudah kepalang bingung
mau belajar dari mana untuk SBMPTN. 2) aku sudah kepalang sedih ngeliat
sahabat-sahabatku pas di Depok masuk UI, IPB, Unpad, dan lain-lain (aku
insyaAllah, nggak iri. Tapi ya itu.. sedih dan sakitnya ditolak tuh rasanya
disana sini) 3) aku sudah negative thinking duluan, aku nggak akan bisa
mewujudkan impianku karena aku sekolah di kampung 4) dan aku belum punya pegangan
kuliah sama sekali layaknya teman-temanku yang sudah punya.
Jadi, aku
merasa bingung, harus mengambil jalan apa dulu untuk memulai.Disaat itulah,
Ibuku yang selalu ada dan mendoakan memberikan support untuk terus maju. Aku
dipaksa maju untuk ikut SBMPTN dan Ujian-Ujian mandiri PTN lainnya. Menurut
ibuku, ujian-ujian ini adalah ajang pembuktian. Benarkah nilai yang aku dapat
di rapot sesuai dengan kompetensiku sebenarnya? Benarkah aku layak masuk PTN
dengan tidak hanya mengandalkan nilai rapot? Berkompetenkah aku mengerjakan
soal-soal SBMPTN yang lebih dalam materinya dibandingkan soal UN? Kalau memang
aku berhasil, aku akan menjadi pejuang sesungguhnya. Jikapun tidak, its better than give up before the war.
Aku menimbang-nimbang nasihat Ibu. Dan aku setuju. Dengan sisa-sisa kepercayaan
diri yang sebetulnya tak ada sama sekali, aku melangkah dan tetap memilih IPB
sebagai pilihan pertama dan keduaku.
Masalah
pun datang kembali, hal ini lebih gawat karena aku sama sekali tidak tahu
materi untuk SBMPTN itu apa. Hahaha. Ibuku menyarankan untuk ikut bimbel
sebulan saja. Aku setuju. Aku akhirnya datang ke salah satu bimbel terkenal,
tapi masalahnya adalah biaya bimbel yang memakan biaya sampai 2,5 juta hanya
untuk satu bulan intensif les. Aku tidak mungkin mengambil itu, karena aku tahu
ibuku takkan sanggup jika biayanya semahal itu. Aku memutar otak dan mencari
solusi, kalau aku harus belajar sendiri rasanya tidak mungkin, aku sama sekali
tidak tau apa materinya, belajar dari buku (pun) sulit.
Akhirnya
aku teringat akun twitterku yang mem-follow akun bimbel online Zenius Multimedia Learning,
sebenarnya aku tidak terlalu interest, aku memang agak meragukan untuk sesuatu
yang berbau “online” seperti itu. Takut mengecewakan. Takut tak sesuai
ekspektasiku. Padahal setiap pengumuman SBMPTN tahun lalu dan juga SNMPTN tahun
ini, zenius selalu meloloskan siswa siswanya ke PTN ternama sekelas UI, IPB,
ITB, UGM, UB, Unpad, dan lain-lain. Ya, seharusnya memang sudah meyakinkanku.
Tapi saat itu, aku bisa dikatakan belum tercerahkan. He he he…
Sampai
akhirnya aku butuh sekali bimbingan untuk menghadapi SBMPTN yang kurang lebih
tinggal 20 hari lagi, kuputuskan untuk membuka salah satu video zenius di
Youtube dan aku luar biasa terkejut! Tutornya badai dan berkompeten sekali,
waktu itu aku melihat video tentang logaritma dan salah satu tutornya (Bang Sabda) menjelaskan dengan tepat, cepat dan terkonsep. Soal logaritma yang
tadinya kusut, membingungkan, dan tak berhasrat kulirik sama sekali, begitu mudah dan sederhana di tangannya. Tanpa ba bi bu, aku
langsung mencari distributor terdekat dan membeli voucher premium member zenius untuk 3 bulan ke depan. Aku merasa sedikit cahaya dan rasa percaya itu datang.
Ya, untuk menghadapi SBMPTN dan test-test mandiri lainnya yang akan kujalani.
Aku memenuhi hatiku dengan keyakinan. YOU CAN DO IT, NAB!
Aku mulai
belajar untuk SBMPTN, aku belajar sampai 10 jam perhari. Aku menikmati
saat-saat itu. Kenapa? Karena aku menemukan hal yang baru. Mindsetku
benar-benar terubah sempurna. Zenius Platform mengajarkanku untuk menyelesaikan
soal bukan berdasar kepada ingatan atau rumus-rumus cepat yang mudah
terlupakan. Tapi langsung ke dasar. Ya, zenius memiliki kekuatan magic untuk
membuat pola pikirku serta kemampuan menyelesaikan soal-soal dari akar-akarnya
untuk waktu jangka panjang! Bahkan ketika aku tidak belajar dalam waktu yang lama :D
Mendekati
SBMPTN aku semakin semangat belajar, aku juga banyak membaca blog seperti Persiapan Fisik Sebelum Ujian dan
Pedoman Mengerjakan Soal TPA Analitik SBMPTN untuk menambah keyakinanku serta mempersiapkan hal hal non teknis sebelum
ujian. Hal ini sangat worth untukku, apalagi masalah waktu. Setidaknya aku memiliki
persiapan yang lebih baik dibanding teman-temanku yang justru kehabisan waktu
ketika mengerjakan soal. TERIMA KASIH KAK WILONA!. Berkat penjelasan dari Kak Wilo pula, TPA yang biasa ku latih membuatku merasa terbiasa
mengerjakan soal serupa karena aku memang sudah tau dasar-dasar dan postulatnya
dari awal! Aku senang sekali, bahkan untuk mengerjakan test test mandiri pun
aku sudah terbiasa. Ketika mulai merasa lelah dalam belajar dan ketika aku mengeluh dengan ini semua, aku selalu ingat perjuangan kedua orang tuaku, aku ingin membahagiakan mereka. Disaat itu aku selalu membaca kisah perjuangan tutor-tutor hebat zenius seperti Cerita Kisah Tutor Zenius Menempuh SBMPTN, semangatku langsung terdongkrak dan membuatku semangat untuk berjuang lagi.
Setelah
test SBMPTN dan ujian-ujian lainnya, aku merasa lega. Aku semakin
memenuhi hatiku dengan keyakinan. Apapun hasilnya aku sudah berusaha. Tapi aku
merasa yakin sekali bahwa aku bisa. Ya, aku bisa!
Dan
tibalah, tanggal 9 Juli 2015! Tanggal dimana segala perjuanganku akan terbayar.
Dengan sukses atau dengan gagal. Yang jelas, sebelum tanggal itu datang, aku
sudah memenuhi hatiku dengan motto: Aku siap gagal tapi aku juga siap kalah. Hours min two pengumuman,
aku udah nangis-nangis gitu. Hahahaha… aku udah kaya mbah dukun yang nggak
berhenti komat-kamit baca doa. Dan
tibalah jam 17.00! Aku sempat stress berat karena web utama SBMPTN error. Lalu aku
membuka mirror link milik UI dan IPB, hasilnya tetap sama: error. Akhirnya
kuputuskan untuk memakai mirror link milik ITB, dengan membaca bismillah,
kuambil diam diam kartu peserta SBMPTN-ku, lalu kumasukan no peserta serta
tanggal lahirku,
Aku
tertegun. Haru!!!! Subhanalllah, wal hamdulillah!!!!! Ada ucapan “SELAMAT”, ada namaku. Ada tulisan Universitas
Impian. Institut Pertanian Bogor .
Dan, prodi Perikanan. Pilihan pertamaaa!!!
Aku memekik
sambil bertakbir, sambil gemetaran aku berlari ke arah Ayah yang masih ada di
meja kerja dan sibuk mengotak-atik web SBMPTN, “Allahu akbaaaarrrr!!!!! AYAH,
BILA LOLOS IPB!!!!!!” Aku memeluknya dari belakang, ayahku tertegun.
Kuperlihatkan hp-ku dan mata ayahku terlihat berkaca-kaca. Aku menangis. Aku
meminta izin untuk menelpon Ibuku. Di seberang sana , Ibuku berteriak sambil mengucapkan
hamdallah. “Alhamdulillah, Bila lolos SBMPTN IPB”! curiku sayup-sayup. Aku
memasang personal message dan display
pictureyang menerangkan bahwa aku sudah diterima di IPB. Tujuannya untuk
membuat mereka tidak khawatir dan aku yakin, jauh disana mereka juga memekik
bahagia layaknya kedua orang tuaku. Bunyi ding-ding-ding dari hp-ku terdengar
semakin panjang!
Alhamdulillah!
***
Sampai
saat ini, aku begitu mengingat kejadian paling menggembirakan dalam hidupku
itu! Rasanya aku masih melayang-layang di udara karena senang luar biasa.
Rasanya seperti mimpi. Mimpi menjadi perintis yang awalnya aku pikir itu tidak
akan mudah. Ya, memang tidak mudah. Tapi aku mampu membuktikan bahwa banyak
sekali jalan menuju Roma.
Banyak
sekali jalan untuk menggapai semua mimpi-mimpi kita asal kita mau berusaha.
Intinya, menurutku hanya satu. Pantang menyerah! Karena kalau kita sudah
menyerah terlebih dahulu, kita akan kalah. Itulah yang membedakan antara
pejuang dan pengecut. Pejuang akan selalu berkata “There’s possible though difficult” sedangkan pengecut akan berkata
“It’s difficult and impossible”. Aku memilih untuk menjadi pejuang. Karena aku
yakin banyak jalan untuk mencapai kesuksesan.
Seperti
cita-citaku, mengembangkan daerah Pangandaran seperti Ibu Susi. Itulah mengapa
aku dengan yakin mengambil Perikanan. Aku memang ingin sukses namun aku juga
ingin membuat Pangandaran lebih maju dan berkembang. Aku paham betul, aku masuk
universitas tidak mudah. Aku harus merelakan waktu, pikiran serta hatiku untuk
itu. Maka untuk itu aku tidak ingin menyerah, aku ingin sungguh-sungguh dalam
menuntut ilmu di kampus yang tentu saja akan aku aplikasikan di kehidupan
sehari-hari.
Aku yakin,
aku pasti bisa! Karena zenius telah mengubah mindset dan pikiranku, bahwa
belajar bukanlah untuk orang-orang yang takut. Bukan pula untuk mencari nilai
tinggi. Tapi belajar adalah proses jangka panjang yang dilalui seorang
pemenang, mereka yang tetap mencoba meski kemungkinan kecil di depan. Mereka
yang rela mencoba berkali-kali meski telah gagal sebelumnya. Mereka bangkit,
pergi, berjuang, dan akhirnya mereka menang!
Terima
kasih zenius, telah membuka pikiranku tentang memaknai arti belajar yang
sesungguhnya. Terimakasih telah membantu mewujudkan mimpi.
Dan,
setelah 15 tahun sekolahku berdiri, terima kasih, telah membantuku membuka
jalan menuju Roma. Menyibak jalan penuh tantangan dengan cara luar biasa!
TERIMA
KASIH, Zenius Multimedia Learning!!!!!
(Tulisan
ini disertakan dalam Lomba Menulis Blog dengan Tema “Perjuangan Masuk Kampus
Bersama Zenius” yang diselenggarakan Zenius Multimedia Learning)
2 komentar:
Aku tinggal di sebuah bernama Mangunjaya.
*mohon dikoreksi tulisannya :)
*enak yg ganjel ga dibacanya ? :D
Sedap sekali cerita kamu nab, very inspiring. FYI, saya adalah orangtua seorang anak yang beberapa tahun kedepan akan berjuang masuk PTN. Semoga energi postifmu bisa menyebar ke anak saya.
Posting Komentar