Cerpen
yang kubuat sewaktu duduk di kelas 8, sewaktu sedang menggebu-gebunya
bercita-cita menjadi seorang penulis :-D meski sudah lama tapi semoga bisa
menjadi refleksi untuk kita untuk tetap birul walidain. Selamat membaca! :-)
“Kemana
kau akan pergi, nak?” Tanya Bu Minah kepada Tya, putri sulungnya.
“Ibu
tak perlu tahu Tya akan pergi kemana, ini hidup Tya !” Jawab Tya dengan nada
ketus.
“Tapi,
ibu mengkhawatirkan keadaan kamu, nak, ayo pulanglah bersama ibu, ibu sangat
mencintaimu, Tya ! Jawab Bu Minah dengan pancaran kasih sayang dimatanya.
“Tidaaaaaak,
aku tidak akan kembali ke rumah yang isinya hampir seperti neraka bagiku” Kata
Tya sambil melarikan diri menjauhi Bu Minah dan Putri, adik Tya.
Memang
begitulah sikap Tya, yang selalu mengeluh akan keadaan ekonomi keluarganya
selama ini. Tya seakan tidak mengerti bahwa keluarganya sedang terhimpit
masalah ekonomi yang sangat serius. Padahal waktu itu Tya merupakan anak yang
ekonominya bisa dikatakan lebih dari cukup, namun, setelah Bapak Diman, Bapak
Tya, memiliki banyak hutang ke bank dan para rentenir di sekitar rumah Tya,
hidupnya berubah, jangankan membeli baju atau aksesoris yang menjadi trend anak
remaja masa kini, untuk kebutuhan sehari-hari saja, keluarganya harus bersusah
payah mencari uang. ”Tya malu, bu, sama teman-teman Tya yang setiap hari
diantar dan dijemput pakai mobil mewah, sedangkan Tya, Tya hanya naik sepeda
yang sudah butut seperti ini” Keluh Tya pada Ibunya. ”Bersabarlah, nak, ibu
sedang berupaya untuk melunasi hutang bapakmu, lihatlah apakah kamu tega
melihat bapakmu yang setiap hari bekerja banting tulang untuk menghidupimu,
belajarlah bersabar, Tya, insya Allah, Allah akan selalu dekat dengan
orang-orang yang bersabar” Jawab Bu Minah dengan sabar disertai dengan senyum. “Cukup, bu, cukuuup, sampai kapan kita harus
bersabar, bu? Mana bantuan dari Allah itu, semuanya omong kosong !” Jawab Tya
marah. Begitulah setiap hari yang selalu diucapkan Tya pada ibunya, dia malu
akan kondisi ekonomi keluarga, maklumlah Tya bersekolah di SMA Tunas Bunga yang
menjadi sekolah favorit di Jakarta, Tya bisa masuk SMA Tunas Bunga karena
mendapatkan beasiswa dari sekolah SMPnya dahulu. Tya memang seorang anak yang
cerdas, dia selalu mendapatkan gelar “bintang kelas” setiap tahun, baik di SD,
SMP, maupun SMA Tunas Bunga sendiri. Tapi
sayang, dia memiliki sifat yang kurang baik, yaitu, tidah pernah
bersyukur atas pemberian Tuhan selama ini.
Sudah
3 hari setelah kepergian Tya dari rumah, Bu Minah, Putri, dan juga Pak Diman,
tidak pernah berhenti untuk mencari Tya, tetapi sampai saat ini Tya belum juga
ditemukan. Sementara itu, Tya kebingungan akan pergi kemana, selama 3 hari ini
Tya hanya tidur dan makan di rumah sahabatnya, Anggie. Anggie merupakan teman
sekelas Tya, dia anak orang kaya tetapi memiliki sifat yang sangat ramah, baik,
dan dermawan, bukan hanya terhadap sahabatnya, Tya, tetapi hampir ke semua
orang.
“Apa
kamu ga pingin pulang, Ty? Tanya Anggie suatu ketika.
“Tidak,
Nggie, memangnya kenapa, kamu tidak suka aku tinggal di rumahmu? Jawab Tya
keras.
“Bukannya
seperti itu, apa kamu tidak kasian terhadap kedua orang tuamu, pasti mereka
khawatir akan keadaanmu, Tya ! Jawab Anggie lembut.
“Aku tidak perduli, mereka yang membuat
hidupku susah seperti ini” Jawab Tya lebih keras.
“Kamu
tidak boleh berbicara seperti itu, Tya, meskipun seperti itu, mereka tetap
orang tuamu !” Jawab Anggie dengan amarah yang ditahan.
“Apa
urusanmu? Aku lebih tahu siapa mereka, jika kamu memang tidak suka aku tinggal
di rumahmu, baiklah, aku akan pergi dari sini ! Ucap Tya serasa berjalan
meninggalkan Anggie.
Anggie
hanya beristigfar dalam hati, dia tidak mengerti mengapa sahabatnya seperti
itu. Anggie sangat prihatin akan keadaan Tya, Anggie sangat sayang terhadap
Tya, tetapi dia tidak tahu harus berbuat apa.
Sementara
Tya, dia pergi meninggalkan rumah Anggie, Tya tidak tahu harus melangkahkan
kemana kakinya berjalan. Dia tidak mempunyai sanak saudara di Jakarta, Tya
tidak tahu harus tinggal dimana, untuk kembali ke rumah Anggie? Itu tidak
mungkin, karena Anggie mungkin sudah benci terhadap dirinya, jika ke rumah?
Lebih tidak mungkin, pikirnya dalam hati. Sampai suatu ketika Tya merasa sangat
lapar dan dia mencium aroma sate yang sangat menggoda lidahnya, kemudian dia
terus berjalan menuju kedai sate tersebut, sesampainya di kedai sate tersebut
dia hanya melihat para pembeli yang sedang menikmati satenya, sampai dia
tersadar ada seseorang yg memanggilnya.
“Hei,
nona apa yang sedang kau lakukan disini? Tanya pemilik kedai tersebut.
“Saya
merasa perut saya sangat lapar, tetapi saya tidak punya uang untuk membeli sate
itu ! Jawab Tya memelas.
“Baiklah
nona, silahkan makan di kedai milikku !” Jawab pemilik kedai tersebut sambil
tersenyum.
“Benarkah
tuan? Terima kasih banyak tuan, terima kasih !” Tya tidak percaya.
“Benar
nona, silahkan duduk di meja pesanan itu, pelayan akan mengantarkan sate
untukmu!” Ucap pemilik kedai sambil menunjuk salah satu meja.
Tya
memakan sate itu dengan lahapnya, dia memang belum makan dari siang hari sejak
pergi dari rumah Anggie. Bersama si pemilik kedai tersebut Tya memakan satenya,
tanpa terasa air matanya menitik pelan.
“Apa
yang terjadi pada dirimu nona?” Tanya pemilik kedai itu bingung.
“Saya
tidak apa-apa, tuan, saya hanya teringat akan kedua orang tua saya.” Ucap Tya
yang semakin deras tangisnya.
“Ada
apa dengan orang tuamu, nona, sampai kau menangis?” Si pemilik kedai makin
penasaran.
“Saya
sangat heran terhadap orang tua saya, tuan, orang yang baru saya kenal seperti
tuan saja, sangat baik terhadap saya,
tetapi mengapa orang tua saya seakan tidak perduli, menyia-nyiakan, bahkan
merampas kebahagiaan anaknya.” Tangis Tya semakin menjadi-jadi.
Ketika
mendengar ucapan Tya, si pemilik kedai hanya bisa tersenyum sambil berkata :
“Hei,
nona, apa yang kau katakan tadi sangatlah salah, saya hanya memberi sepiring
sate yang tidak ada artinya dengan kebaikan kedua orang tua nona selama ini,
selama ini orang tua nona membesarkan,
mendidik, mendoakanmu bahkan menghidupkan nona sampai menjadi seorang
gadis yang cantik dan cerdas seperti nona, tetapi mengapa kau balas dengan perlakuan seperti ini
nona? Kau pergi dari rumah, padahal orang tuamu sangat cemas akan keadaan
dirimu, apakah kau menyadari itu nona?” Tanya si pemilik kedai lembut.
Tya
terenyuh akan perkataan si pemilik kedai tadi, dia berpikir yang dilakukan
dirinya selama ini adalah kesalahan yang begitu besar. Dia berpikir apa yang
dibicarakan oleh si pemilik kedai sangatlah benar. Tya beristigfar di dalam
hati seraya berdoa kepada Allah untuk memaafkannya dan melindungi dirinya,
kedua orang tuanya, dan adiknya, Putri.
Malam
itu juga, Tya kembali ke rumahnya, Bu Minah langsung memeluk Tya, ketika Tya
baru sampai di depan pintu, begitu pun dengan Pak Diman dan Putri. Tya pun
menangis dan meminta maaf kepada kedua orang tuanya dan berjanji tidak akan
melakukan hal yang dapat menyusahkan dirinya sendiri dan orang lain.
Depok, 16 Maret 2011
0 komentar:
Posting Komentar