Ponpes Modern Ummul Quro Al-Islami, Bogor (Pesantren Dimana Awalnya Saya Akan Menuntut Ilmu) Sebelum Mendapat Full Scholarship dari SMA RSBI di Depok |
Agaknya kisahku memang
berbanding terbalik dengan kisah Alif Fikri, tokoh rekaan utama dalam novel
“Negeri 5 Menara” karya A. Fuadi. Ya,
jika dia harus melanjutkan pendidikannya ke pesantren sedangkan keinginan
terbesarnya masuk sekolah formal non agama, lain halnya dengan aku. Aku harus
masuk SMA sedangkan hatiku menjerit-jerit ingin masuk ke sekolah agama itu.
Jujur saja, sejak jilbab ini
menempel di kepalaku sekitar satu tahun yang lalu, perlahan-lahan pola pikir
dan sikapku juga mulai berubah. Mulai dari bagaimana aku harus bersikap,
berbicara, berhubungan dengan sesama, pandanganku tentang cinta berdasarkan
islam, dan ya, tentu saja cita-citaku di masa yang akan datang.
Sebenarnya hanya butuh waktu singkat
memutuskan ini semua. Awal ketertarikanku terhadap dunia pesantren diawali oleh
sebuah perkenalanku di dunia maya. Ketika itu aku belum berjilbab, dan karena
itu pula aku semakin tertarik terhadap ajaran islam yang lebih mendalam, kaffah, dan istiqomah. Tiba-tiba muncul sebuah kotak chatting di layar laptopku, dari “Greeny de Amora”, nama yang tak
aku kenal,
Dengan percaya diri aku langsung
menjawab memakai bahasa arab jelekku “Afwan, terima kasih… salam ukhuwah
islamiyah ya…”
Namun, tanpa kuduga, orang itu
langsung membalas chatku dengan bahasa arab yang fasih luar biasa, aku melongo,
dan tanpa berpikir panjang aku langsung mengklik link namanya. Dan, masya
Allah! Ternyata dia mahasiswi Universitas Al-Azhar! Dan dia lulusan pondok
pesantren. Nyaliku langsung ciut ketika aku ingin membalas kembali chat
darinya.
Disitulah aku pertama kali merasa
tertampar akan sebuah realita, merasa begitu bodoh jika ditanya masalah agama.
Aku tak mengerti ketika dia berbicara bahasa arab, sudah aku coba menggunakan
translate, tapi tetap saja aku merasa kesulitan! Sungguh, aku menangisi diriku
sendiri. Ternyata anak-anak pesantren tidak bisa diremehkan, bahkan aku
berpikir mereka lebih hebat dari lulusan SMA favorit.
Sejak saat itu, aku mulai berpikir
positif dan open minded tentang islam.
Aku belajar dan terus belajar dari suatu komunitas di jejaring social,
buku-buku islam, dll. Ternyata islam begitu indah, selama ini aku memang
menjalankan shalat, puasa, dan ibadah lainnya, tetapi jujur, aku melakukan itu
hanyalah sebagai rutinitas tanpa diiringi oleh penghayatan.
Sampai akhirnya, pada suatu pagi aku memutuskan untuk memakai jilbab ini. Semuanya terasa cepat, aku melakukan itu karena aku tak ingin hidayah Allah pergi dariku begitu saja. Orang-orang disekitarku merasa senang melihatku dengan jilbab ini. Katanya aku sudah pantas mengenakannya, aku hanya bisa mengucapkan terima kasih. Mereka juga mendoakan aku agar bisa istiqomah dengan jilbabku, ahhhh aku bahagia sekali dan mengamininya.
Tak lupa aku kabari tentang peristiwa berjilbab ini kepada orang yang telah membuatku berpikir, ya! Ka Greeny De Amora itu, kami menjadi akrab setelah peristiwa itu dan aku banyak bercerita kepadanya jika ada masalah. Dan dia sangat senang, dia menyambutku dengan ucapan mabruk yang artinya selamat.
Dengan berjilbab, aku merasakan hidupku semakin dinaungi cahaya Illahi, tenang dan damai rasanya. Aku sama sekali tidak merasa kepanasan dengan jilbab ini, justru ketika aku belum berjilbab aku malah sering kepanasan. Bukankah ini suatu keajaiban dari Allah?
Sampai akhirnya, pada suatu pagi aku memutuskan untuk memakai jilbab ini. Semuanya terasa cepat, aku melakukan itu karena aku tak ingin hidayah Allah pergi dariku begitu saja. Orang-orang disekitarku merasa senang melihatku dengan jilbab ini. Katanya aku sudah pantas mengenakannya, aku hanya bisa mengucapkan terima kasih. Mereka juga mendoakan aku agar bisa istiqomah dengan jilbabku, ahhhh aku bahagia sekali dan mengamininya.
Tak lupa aku kabari tentang peristiwa berjilbab ini kepada orang yang telah membuatku berpikir, ya! Ka Greeny De Amora itu, kami menjadi akrab setelah peristiwa itu dan aku banyak bercerita kepadanya jika ada masalah. Dan dia sangat senang, dia menyambutku dengan ucapan mabruk yang artinya selamat.
Dengan berjilbab, aku merasakan hidupku semakin dinaungi cahaya Illahi, tenang dan damai rasanya. Aku sama sekali tidak merasa kepanasan dengan jilbab ini, justru ketika aku belum berjilbab aku malah sering kepanasan. Bukankah ini suatu keajaiban dari Allah?
Dan entah apa penyebabnya, setiap
waktu dhuha aku selalu saja rindu dengan Rabbku, dan ya, untuk mengobati
rinduku, aku selalu solat dhuha di sekolah walaupun tanpa teman. Ketika sedang
sujud, aku merasa dekat dengan Tuhanku, rasanya kepalaku seperti dibelai-belai
angin kesejukan. Aku sudah terlalu sering solat dhuha sendiri tanpa teman, dan
untuk pertama kalinya aku mulai berpikir, alangkah bahagianya aku jika memiliki
teman dan lingkungan yang lebih kondusif dengan diriku yang sekarang ini.
Aku masih belum menemukan jawaban
tentang lingkungan yang menurutku tidak kondusif ini, lalu aku teringat akan
pondok pesantren! Ya, itu dia. Aku rasa aku akan kesana setelah lulus nanti,
aku membayangkan diriku yang hafal al-qur’an, fasih berbicara bahasa Arab dan
Inggris. Asyik sekali! Batinku dalam hati.
Setiap hari aku selalu menguatkan
tekadku untuk kesana, aku usir segala keraguanku, tentang bagaimana masa
depanku nanti. Aku mencoba menghibur diriku sendiri dengan melihat kenyataan
bahwa lulusan pesantren memang memiliki 2 komponen penting yang harus aku
miliki di dunia yang fana ini. Itu adalah ilmu dan agama.
Aku mencoba membuka pikiranku lebih
lebar lagi, sampai akhirnya hatiku sendiri mengakui bahwa sebenarnya apa yang
aku cari di dunia ini selain ridho dari Allah subhanahu wata’ala. Maka saat itu
aku putuskan, “Bismillah, aku akan pindah dari takdir yang baik ke takdir yang
lebih baik! Dan insya Allah, aku akan menemukan takdir yang lebih baik itu di
pesantren.”
Ya, aku bahagia sekali dengan keputusanku itu. Setiap ditanya oleh teman-temanku, kemana aku akan melanjutkan sekolah setelah lulus SMP ini, dengan sangat antusias aku menjawab “Ingin masuk pesantren, insya Allah…”
Aku heran dan juga bingung, ternyata lebih banyak orang-orang yang menentang keputusanku, meskipun aku tahu mereka tentu saja tidak secara blak-blakan mengatakannya. Awalnya sedih, sangat sedih. Kenapa mereka bisa berpikir seperti itu? Mereka tidak pernah bisa memandang pesantren secara objektif, mereka terlalu subjektif! Atau aku yang salah? Oh tidak, aku seperti ini karena aku ingin lebih dekat dengan Tuhanku, salahkah aku?
Ya, aku bahagia sekali dengan keputusanku itu. Setiap ditanya oleh teman-temanku, kemana aku akan melanjutkan sekolah setelah lulus SMP ini, dengan sangat antusias aku menjawab “Ingin masuk pesantren, insya Allah…”
Aku heran dan juga bingung, ternyata lebih banyak orang-orang yang menentang keputusanku, meskipun aku tahu mereka tentu saja tidak secara blak-blakan mengatakannya. Awalnya sedih, sangat sedih. Kenapa mereka bisa berpikir seperti itu? Mereka tidak pernah bisa memandang pesantren secara objektif, mereka terlalu subjektif! Atau aku yang salah? Oh tidak, aku seperti ini karena aku ingin lebih dekat dengan Tuhanku, salahkah aku?
***
Baiklah! Aku sungguh tidak perduli
dengan mereka, aku ingin terus maju dengan pilihan yang aku yakini benar ini.
Banyak yang terang-teranganan mengatakan “Kenapa memilih pesantren, Nabila?
Kamu bisa daftar dan pasti masuk sekolah umum paling favorit di kota kita!” Oh
Tuhan, aku ingin menangis mendengarnya. Apa mereka benar-benar tidak tahu,
kalau aku butuh teman-teman yang seprinsip? Entahlah…
Hmmmmm, masalah juga datang ketika
aku menyampaikan keinginanku untuk melanjutkan sekolah di pesantren kepada
orang tuaku. Mereka sedih, terutama ibuku. Aku mengerti, aku adalah anak
perempuan satu-satunya. Tapi aku tetap bersikukuh untuk tetap pada pendirianku.
Masuk pesantren!
Aku selalu memberi pengertian kepada
ibuku, bahwa aku ingin menjadi anak yang sholehah, kuliah di Mesir, hafal
Al-Qur’an, fasih bahasa Arab, dan berbagai alasan yang bisa memperkuat
argumentasiku beberapa hari yang lalu.
Masih belum berhasil! Aaaaah, never give up… terus mencoba dan
mencoba, dan yessssss! Akhirnya ibuku mengizinkan aku, aku tau beliau berat
hati, tapi…. Aku ingin melanjutkan pendidikanku kesana.
Setelah semua yang aku inginkan
dikabulkan, aku merasa sangat menikmati hari-hariku sebagai gadis berjilbab,
ditambah nilai akademikku yang bisa dikatakan baik. Aku juga punya
sahabat-sahabat yang care dan baik sekali, hanya sayang mereka tak seprinsip
denganku. Aku belajar giat, ikut les tambahan untuk semester 5 ini.
Aku
terus mempelajari islam juga tentunya, aku paling senang belajar di dunia maya,
karena itu sangat menarik dan bisa langsung bertanya apabila tidak mengerti. Aku
juga berteman dengan beberapa mahasiswa mahasiswi Al-Azhar, bahkan ada orang
Mesir langsung, dan juga dengan muslim yang lain dari berbagai Negara,
sepertinya Malaysia. Aku begitu bahagia mengenal mereka. Mereka baik, pintar,
dan tentunya dapat menambah kecintaanku terhadap Robbku.
Oh ya,
kalau ditanya, apakah aku pernah merasakan jatuh cinta di masa remajaku ini? Tentu
saja aku pernah . Memang rasanya indah dan aku tahu ini fitrah dari Tuhanku,
tapi aku tak ingin terlalu memikirkannya. Dia membuatku selalu memikirkannya,
membuatku ingin tersenyum senyum sendiri, dan membuat sholatku tak khusyuk.
Aaaaaah! Beginikah rasanya jatuh cinta?
***
Semester ini aku lewati dengan baik,
sangat baik! Senang sekali rasanya, nilai raport ku bagus dan rata-rata 8,9.
Aku peringkat pertama di kelas dan yeah! Aku juara umum di sekolahku. Aku
benar-benar merasakan efek dari mantra sakti “MAN JADDA WAJADDA”. Belajar
sampai tengah malam, mengerjakan setumpuk latihan soal, berangkat sekolah dari
pagi hingga matahari tenggelam. Rasanya terbayar sudah, Alhamdulillah…
Tapi di semester 6 ini agaknya aku
menemukan sedikit masalah, ini semester terakhir. Sebentar lagi aku
melaksanakan ujian nasional dan lulus. Mantapkah hatiku untuk sekolah di
pesantren? Tiba tiba aku ragu, aku sungguh menjadi ragu dengan keputusanku… Aaaaaa,
ada apa denganku? Bukannya 6 bulan yang lalu aku merasa yakin dengan itu?
Dengan percaya dirinya ingin sekolah di Mesir?
Baiklah, kuakui, aku merasa galau,
bukan galau memikirkan cinta layaknya remaja yang lain. Aku galau karena
sekolah. Lucu sekali memang terdengarnya.
Ya Tuhan, aku masih bingung.
Bagaimana ini? Oh ya, aku teringat dengan orang yang membuatku tertarik pada
pesantren! Ka Greeny De Amora! Tanpa berpikir panjang aku langsung mengirim
pesan kepadanya. Aku berterus terang saja tentang apa yang aku rasa. Dengan
bijaknya dia memberi pengertian kepadaku kalau masuk pesantren bukanlah suatu
keputusan yang salah. Tapi itu suatu keputusan yang berani. dan aku mulai
merasa mantap kembali dengan keputusanku.
***
Aku
menjalani kehidupanku seperti biasa kembali, sekolah, belajar, les, dll.
Begitulah aktivitas sehari-hari
anak kelas 9 yang sebentar lagi
akakn menghadapi Ujian Nasional. Ada yang santai kelewat batas, tapi ada pula
yang stress sampai-sampai memforsir waktu belajarnya.
Aku
cenderung masuk kepada anak yang sersan, serius tapi santai. Aku tak mau jadi
gila hanya karena Ujian Nasional. Konyol sekali bukan? Aku hanya banyak banyak
mengerjakan soal latihan dan tentu saja bertanya apabila ada yang tidak
mengerti. Dan satu hal yang tidak pernah mau aku tinggalkan untuk kesuksesan
Ujian Nasionalku, banyak banyak berdoa dan meminta ampun kepada Tuhan.
Untuk
percobaan atau istilah kerennya try out, aku juga mengalami pasang surut. Try
out pertama buruk sekali! Peringkat 16 se-sekolah! Aku mencoba menghibur diriku
sendiri, belajar dan terus belajar! Try out 2, yessssss! Nilaiku menembus
rata-rata 9, dan try out ketiga bisa dikatakan “aku siap mengikuti ujian
nasional”!
Ujian
nasional sebulan lagi! Oooooh tidaaaaaak, aku galau lagi menentukan sekolah.
Aku seperti ini karena teman-temanku mulai mendaftarkan diri mereka ke sekolah
RSBI. Jujur, sedikit iri juga melihat teman-temanku mengurus berkas ini berkas
itu, hmmmm…. Aku tahu ilmu umumku pasti akan sangat tertinggal dengan mereka.
Tapi, akankan aku rela mengorbankan hidayah ini hanya untuk pelajaran
matematika dan IPA? Aku rasa tidak!
***
Rabu,
11 April 2012…
Bismillah
tawakaltu ‘ala Allah, aku daftar pesantren. Pesantren di daerah Bogor, aku
suka, system pembelajarannya mirip Gontor. Aku sendiri tidak diizinkan mondok
di Gontor. Ibuku bilang aku anak perempuan satu-satunya, aku punya penyakit
dalam, di Jawa Timur aku tak punya saudara, dan lain lain. Hmmm….. Baiklah,
untuk kali ini aku yang mengalah.
Yaaa,
aku senang sekali. Al-Azhar semakin mendekat, semakin dekat di mataku, di
hatiku. Di aliran darahku, Al-Azhar selalu mengalir lembut. Ya, aku rasa, aku
hampir menggapainya. Al-Azhar, I will reach youuu….wait me for 4
years! Teriakku dalam hati!
***
Jum’at,
13 April 2012, sepulang sekolah…
“Nabila,
tadi dicariin bu Asri….” Agnes, teman sekelasku, menulis tweet di account
twitterku. Aku reply mentionnya,
“Aduuuh, ada apa ya nes?” tanyaku, jujur aku sedikit takut. Bu Asri adalah guru
Bimbingan Konseling di sekolahku, biasanya BP merupakan tempat menghakimi anak
anak yang nakal. Dia mereply balik mentionku “Hahaha, woles aja kali bil.
Dia baik, tadi minta no kamu. Tapi kita kita pada ga bawa hp nih..” balasnya
disana… okeee, aku rasa aku tak pernah melanggar tata tertib sekolah. Keep calm…
Baiklah,
senin aku akan menemui bu Asri. Sepertinya memang penting… hmmm
***
“May,
anterin aku yuk. Ketemu sama bu Asri..” kataku sambil memegang pundak Mayla,
teman baikku.
“Emang
kenapa, Bil? Tumben amat” balasnya.
“Gak
tau nih…” kataku acuh tak acuh.
Aku dan
Mayla menyusuri lorong lorong sekolah, Aku ingin ke ruang guru, tujuanku tak
lain tak bukan adalah menemui Bu Asri. Terlihat wajah wajah murid kelas 9 yang
mulai sibuk mengurus persiapan UN mereka.
“Nabila…..”
Mayla menyentuh lembut bahuku.
“Ya?”
kepalaku mendengah ke arahnya.
“Kira
kira ada apa ya bil?”
“Aku
juga gak tau, memang aku anak yang nakal ya? Kok dipanggil segala..”
“Mungkin
saja, aku kira kamu pernah mencuri sesuatu!” katanya serius
“Apa?
Mencuri? Masa iya, wallahi deh…” ucapku tegas
“Sssst,
mencuri hatinya si ituuuuuu….” Mayla menunjuk sosok yang berjalan menuju
kantin.
Aku
melongo, Mayla masih terkikik.
***
“Ayo
masuk Nabila, Mayla…..” Bu Asri begitu ramah, aku sangat nyaman berada di
dekatnya. Beliau juga cantik.
“Maaf
ya Mayla, boleh ibu bicara berdua dengan Nabila saja?” Pintanya
“Baik
bu…” Mayla patuh
Setelah
Mayla pergi, Bu Asri bicara kepadaku
“Nabila,
ayo ikut ibu ke ruang BP!”
“Baik
bu…”
Sesampai
di ruang BP, aku sapu pandanganku sekilas. Ada dua guru BP lainnya.
Pertanyaanku semakin kuat “Ada apaaa ini?” sedikit panic di dalam hati.
Seolah
membaca isi hatiku, Bu Asri menyuruhku duduk.
“Nabila,
ada sesuatu yang ingin Ibu tawarkan, tawarannya sangat menarik!”
Aku
mengerutkan kening, tak mengerti.
“Karena
kamu juara umum di sekolah ini, salah satu sekolah RSBI memberimu beasiswa
untuk 1 tahun. Bagaimana? Apa kamu sudah daftar sekolah? Pasti sekolah RSBI
yang favorit di SMA kita?” Kejarnya.
Aku
melongo, aku sedih… Aku menggeleng lemah.
“Tidak
bu…”
“Lalu?”
“Saya
sudah daftar di pesantren bu, di Bogor. Tiga hari yang lalu…” ucapku
“Pesantren?”
“Iya
bu…”
“Apa
alasanmu ingin masuk pesantren, Nabila? Kamu begitu berpotensi, bukan kamu yang
mencari sekolah. Kamu yang dicari oleh sekolah itu!”
Terpaksa
aku menjelaskan alasan alasanku kepadanya, aku tertegun, justru beliau kagum
dengan kegigihanku yang ingin masuk pesantren.
“Subhanallah,
baru kali ini Ibu mendengar cerita anak yang begitu gigih berjuang dengan
perasaannya, dengan segala potensi yang ada, pasti banyak orang disekitarmu
yang agak kaget dengan kemauanmu, tapi kamu begitu berani menentukan pilihan.”
“Pesantren
bukanlah sesuatu yang buruk Nabila, Ibu tak akan memaksa. Semua keputusan ada
di tanganmu. Yang Ibu ingin bilang, gunakan kesempatan baik ini, tidak semua
orang seberuntung dirimu.”
“Diskusikan
ini bersama kedua orang tuamu, Ibu ingin kamu menyampaikan jawaban secepatnya.
Jika seandainya kamu tidak berminat, beasiswa ini akan Ibu berikan ke temanmu
yang juga juara umum kedua. Tapi ibu sangat meminta, pikirkan ini baik baik.”
Bu Asri terus berbicara, aku sendiri masih kaget, seperti ada sesuatu, perasaan
yang bergejolak.
“Untuk
lebih jelasnya, ini surat undangan dari pihak sekolah yang memberi beasiswa,
Nabila. Kamu bisa memfoto copy nya, sekali lagi pikirkan ini baik baik.” Bu
Asri memberi lembaran kertas.
Aku
mohon diri, aku langsung menuju ruang foto copy. Tidak ada yang menunggu! Aku
kesal sekali.
Aku
melangkah gontai menuju ruang kelasku, ada di lantai 2, tangganya cukup tinggi.
Membuat moodku semakin buruk.
Baru
kali ini, ada orang yang menerima beasiswa tapi tidak senang. Justru yang aku
rasakan adalah kesedihan.
Aku
memikirkan nasib keinginan menghapal al qur an ku, menguasai bahasa arab dan
inggris, aku memikirkan pesantrenku, dan aku takut kehilangan al-azharku. Aku
takut tak bisa mencapainya. Sukmaku meronta ronta, aku sudah tau jawabannya.
Batinku disiksa, masa depanku… ya Robbi, la tukadzidni, lirihku.
***
Aku
masuk kelas… aku menekuk mukaku.
“Nabila
kenapa?” Katucha teman sebangkuku menghampiri.
Aku
tidak menjawab, aku hanya memberinya surat undangan itu. Dia membacanya, dia
menatapku.
“Pilih
yang terbaik bil, kalau memang pesantren lebih menjamin masa depan kamu. Kamu
pilih saja yang itu..”
Aku
mengangguk, terima kasih cha,
batinku… Aku mulai sedikit tenang.
Aku
keluar kelas, teman teman juga bertanya kenapa aku dipanggil BP.
Aku
menjawab jujur, ada tawaran beasiswa. Reaksi mereka macam macam, ada yang heboh
sekali tapi ada yang malah menanyakan bagaimana pesantrenku. Aku disuruh
temanku sujud syukur, aku melakukannya… lucu sekali!
Aku uring uringan. Kelasku ada di lantai 2, aku bisa melihat awan kapan saja. Aku selalu takjub, awan itu selalu berarak membentuk suatu tempat yang ingin aku kunjungi. Dan heyyy! Kali ini aku melihat piramida Mesir! Sesaat aku menikmati keindahan yang fatamorgana itu. Tersadar, sungai nilku kering, ia telah mongering.
Aku uring uringan. Kelasku ada di lantai 2, aku bisa melihat awan kapan saja. Aku selalu takjub, awan itu selalu berarak membentuk suatu tempat yang ingin aku kunjungi. Dan heyyy! Kali ini aku melihat piramida Mesir! Sesaat aku menikmati keindahan yang fatamorgana itu. Tersadar, sungai nilku kering, ia telah mongering.
***
Biarlah hatiku yang terluka, asalkan Ibuku bahagia. Aku sungguh mencintainya. Meski aku tahu, aku terlalu durhaka. Ya, aku masih merasa tak tahu diri. Namun, tak terhitung bagaimana aku mencintainya. Bagaimana aku ingin menangis melihat perjuangannya. Aku rela aku yang tersiksa, aku sudah tahu jawabannya. Aku harus menerima beasiswa itu. Ibuku sungguh senang luar biasa. Kau tau? Jarak rumahku dan sekolah itu hanya 50 meter. Kau bisa membayangkan? Ya, betapa beruntungnya diriku.
Biarlah hatiku yang terluka, asalkan Ibuku bahagia. Aku sungguh mencintainya. Meski aku tahu, aku terlalu durhaka. Ya, aku masih merasa tak tahu diri. Namun, tak terhitung bagaimana aku mencintainya. Bagaimana aku ingin menangis melihat perjuangannya. Aku rela aku yang tersiksa, aku sudah tahu jawabannya. Aku harus menerima beasiswa itu. Ibuku sungguh senang luar biasa. Kau tau? Jarak rumahku dan sekolah itu hanya 50 meter. Kau bisa membayangkan? Ya, betapa beruntungnya diriku.
***
Sekarang aku menjalani hariku
sebagai anak SMA, sedih? Pasti! Aku merasa telah kehilangan al azhar, meskipun
aku tau banyak jalan untuk kesana. Namun bagiku sulit, ya terlalu sulit!
Aku hanya ingin realistis, ya aku
ingin kuliah di Indonesia saja. Mungkin ini memang jalan takdirku.
Biarlah hatiku tersiksa, tapi tolong Tuhan
aku hanya ingin melihatnya tersenyum bahagia. Aku ingin menjadi kebanggaanya,
yang dengan bangga bisa diceritakan kepada orang orang. Biarlah batinku yang
merana….Tetap selalu mengalir di aliran darah, selalu berhembus di nafasku Al
Azhar… Aku mencintaimu, Bumi Mesirku.
Depok, 23 Juli 2012
0 komentar:
Posting Komentar