“Kriiiiiiing, kriiiiiiiiiing,
kriiiiiiiiiiiiing” bunyi handphone
Wafaa terdengar begitu nyaring, memecah
kesyahduan Wafaa yang sedang memuja dan memuji Robbnya, yang sedang memohon
ampunan untuknya dan kedua orangtuanya kepada Yang Maha Ghafur. Wafaa yang
ketika itu telah selesai melaksanakan
salat magrib dan menyelesaikan dzikirnya, segera mengangkatnya, tetapi dia
belum sempat melepas mukenanya. Dia lihat layar handphonenya, sebuah nomor yang tidak dia kenal.
“Hallo, assalamu’alaikum, ini siapa
ya?” jawabnya lembut.
“Ya wa’alaikumsalam, Aku mencintaimu,
Wafaa” kata Rahman sungguh-sungguh di seberang sana. Begitu tiba-tiba.
Tubuh Wafaa seketika kaku, tangannya
bergetar memegang handphonenya, dia
tahu betul suara itu, ya suara yang dulu begitu menenangkan batinnya, suara
yang begitu indah dan merdu, belum berubah dari dulu, masih saja terdengar
merdu di hati Wafaa. Dia pun langsung menguasai diri, dia kuatkan batinnya, “bismillahirahmanirahim, aku hanya
ingin cinta yang halal, ya Robb, kuatkan batinku” batinnya.
“Rahman?” Wafaa buka suara.
“Ya, Wafaa, oh aku begitu merindukanmu,
kau juga sangat merindukanku bukan?” Rahman sangat senang mendengar suara Wafaa.
Gejolak di hati Wafaa semakin besar,
batinnya terus merintih, dia sangat tersiksa mendengar kata-kata sayang dari
mantan kekasihnya itu.
“Tolong jangan kau katakan kata-kata
itu lagi Rahman, aku mohon” pinta Wafaa.
“Kenapa, Wafaa, kau tak senang aku
mengucapkan begitu? Ada apa memangnya? Aku begitu mencintaimu, aku begitu rindu
padamu, kamu kemana saja? Sudah 3 tahun ini aku mencarimu, aku bertanya kepada
temanmu tidak ada yang tau, kamu kemana saja?” cerita Rahman panjang lebar.
Wafaa malah menangis, dengan terbata
dia menjawab “Aku tidak kemana-mana, aku tetap ada di Indonesia, tolong jangan
katakan itu lagi, Rahman, aku sangat tersiksa mendengarnya” Wafaa kembali
meminta dengan sangat.
“Memangnya kenapa, Wafaa? Dari caramu
menjawab kau terlihat sangat berbeda, aku dengar dari ibumu, kau pergi ke
pesantren di Jawa Timur ya?” selidik Rahman.
Dia hanya menjawab di dalam hati “Ya,
aku memang berbeda, aku memang telah hijrah, aku telah menemukan apa yang
sebenarnya di dunia ini dan aku telah menemukan hakikat cinta itu Rahman, ya
cinta abadi dan sejatiku kepada Tuhanku” Lalu dia menjawab pelan “Ya, kau
benar”
“Oo begitu, aku mencintaimu Wafaa, maukah
kau menjadi pacarku lagi? Rahman langsung to
the point.
Wafaa kembali menangis dalam diamnya,
Rahman tidak mengetahui kalau Wafaa menangis, Wafaa tak kuat lagi mendengar
pengakuan Rahman, dia langsung memutus sambungan teleponnya dengan Rahman.
Wafaa menangis sejadi-jadinya, wajah
cantiknya dibenamkan ke dalam mukena putihnya, Wafaa terus menangis sampai azan
Isya berkumandang.
Wafaa memang telah berubah, dia telah
berhijrah,dia telah menemukan Tuhannya, sejak kelas 2 SMP terjadi perguncangan
dalam jiwanya, dia menemukan ketenangan di dalam Islam, dia pun mendalami Islam
dengan sungguh-sungguh, setelah dia kerjakan solat dan puasa, dia sempurnakan
ibadahnya dengan menjilbabkan hati dan dirinya, setelah lulus SMP pun dia
bertekad untuk memperdalam Islam dengan memutuskan untuk mondok di pesantren di
Jawa Timur, bahkan cita-citanya pun berubah ingin kuliah di Mesir, di negerinya
para nabi itu. Dia berpacaran dengan Rahman pada kelas 2 SMP, tetapi dia
langsung memutuskan hubungan cintanya dengan Rahman, karena dia merasa pacaran
itu bisa menjerumuskan seseorang untuk berbuat sesuatu yang dilarang agamanya
yaitu zina. Kini Wafaa telah menyelesaikan studynya
di pesantren sebulan yang lalu dan dia mendapatkan beasiswa ke Mesir, ke
Universitas Al-Azhar yang terkenal itu. Dia memang cerdas dan tentu saja
cantik, apalagi setelah dia berjilbab, kecantikannya semakin seperti bidadari
saja. Menjelang 2 minggu keberangkatannya ke Cairo, Mesir, cinta lamanya
kembali hadir, ya Rahman, dia pun tak bisa memungkiri bahwa dia masih mencintai
Rahman, tetapi diapun harus teguh memegang prinsip hidupnya, yaitu tidak akan
pacaran sampai kapanpun. Kedua orang tuanya pun sampai pernah menanyai masalah
itu sambil bergurau.
“Anak kita sudah besar ya, Pa, tapi
kok belum pernah mengenalkan pacarnya kepada kita, padahal anak tetangga
sebelah sudah sering membawa pacarnya
datang ke rumah Pak Jafar” Kata Bu Mia, ibu Wafaa sebulan yang lalu ketika
sedang santai di ruang keluarga.
“Betul itu, Ma. Kau jangan terlalu
stress dan sibuk mengurus keberangkatanmu ke Mesir, Wafaa. Kenalkanlah pacarmu
kepada Papa, Papa ingin tahu” Sambung Pak Ma’naf, ayah Wafaa sambil memindahkan
chanel tvnya.
Wafaa hanya tersenyum mendengar
gurauan kedua orang tuanya, sambil memainkan laptopnya, dengan santai Wafaa
menjawab “Papa sama Mama ini ngeledek Wafaa atau apa ya? Masa lulusan pesantren
kok pacaran, menurut Wafaa ga wajar aja, Pa, Ma, lagian Wafaa juga ga mau,
selain bisa mendekati zina, pacaran juga bisa mengurangi produktifitas Wafaa
dalam berkarya, daripada mikirin pacaran mulu, mending ngelakuin sesuatu yang
berguna, sebentar lagi kan Wafaa kuliah ke Mesir, lebih baik Wafaa mengulang
materi yang waktu itu dikasih Pak Kyai di pesantren dulu, khususnya materi
bahasa Arab, bahasa Inggris, dan tentu saja, Hadist”
Papa dan Mamanya hanya bisa
manggut-manggut tanpa berkomentar mendengar jawaban dari anak bungsunya itu,
sementara Adit, kakak kandung Wafaa, terlihat biasa saja, kakaknya memang
sangat pendiam.
Sejak Rahman kembali menghubungi
Wafaa minggu lalu, Wafaa jadi kepikiran, tetapi dia mampu menguasai dirinya.
Semalam Rahman kembali menghubungi Wafaa lewat sms, dia mengatakan ingin
bertemu Wafaa di sebuah mall di kawasan Kemang, Wafaa menyetujuinya tetapi dia
ingin tidak hanya berdua, Wafaa ingin mengajak temannya perempuannya sewaktu di
pesantren dulu, namanya Nurul, kebetulan orang Depok, jadi dekat dengan rumah
Wafaa di Jakarta, Rahman pun menyetujuinya. Pukul 10 pagi dia pun menjemput
Nurul, lalu langsung menuju mall tersebut. Sesampainya di tujuan, Wafaa
terlihat sangat gugup, dia sangat pankling
melihat penampilan Rahman, sangat gagah dan tampan, begitupun dengan Rahman,
Wafaa terlihat sangat cantik dengan balutan jilbab hijau muda dan gamis dengan
warna yang sepadan. Setelah mengucapkan salam dan memperkenalnkan Nurul kepada
Rahman, dia pun duduk tepat berhadapan dengan Rahman lalu disebelahnya ada
Nurul, mereka berdua hanya dibatasi oleh meja kecil. Wafaa terlihat sangat
menjaga pandangannya. Tetapi Rahman terlihat masih memandangi Wafaa yang sangat
cantik.
“Hai Wafaa, apa kabar? Rahman memulai
pembicaraan tetapi masih terlihat gugup.
“Alhamdulillah
Rahman, kabarku sangat baik, bagaimana denganmu? Jawab Wafaa tenang sambil
tersenyum kecil.
“Aku baik, Wafaa, kau baru pulang
dari pesantren ya? Rahman terlihat mulai tenang.
“Ya, kira-kira sebulan yang lalu,
kalau kau bagaimana? Setelah lulus SMP kamu lanjut kemana?
“Aku ke SMA Negeri biasa, kamu hilang
begitu saja, bahkan teman-temanmu tidak tau sama sekali, bagaimana kamu bisa ke
pesantren? Dulu kau bilang mau masuk SMA Negeri favorit di Jakarta? Sejak kau
kelas 9 dan berjilbab, kau sungguh berubah, kau bahkan memutuskanku, Wafaa”
Rahman tertunduk.
Wafaa mengatur nafasnya, dia menjawab
“Aku memang menyembunyikan semuanya, Rahman, aku sebenarnya diterima di SMA
Negeri itu, tapi aku langsung mengundurkan diri, aku lalu pergi ke Jawa Timur
untuk mondok disana, aku ingin belajar agama, aku ingin ada orang yang
membantuku untuk selalu dekat dengan Allah, aku ingin lingkungan yang kondusif
untuk diriku yang sekarang, dan di Jakarta ini menurutku tidak bisa, aku
akhirnya memutuskan untuk mondok saja, di pesantren aku banyak belajar dari
teman-temanku, meraka sangat mendukungku tidak seperti di Jakarta” Wafaa mulai
terisak.
“Sejauh itu tekadmu, Wafaa, aku
sangat kagum, kau berani mengambil keputusan, tapi masihkah kau mencintaiku
Wafaa? Rahman mengulang pertanyaan itu.
Wafaa jelas tersentak, dia harus
menjawab apa, dia masih mencintai Rahman, tetapi itu sangat bertolak belakang
dengan prinsip hidupnya. Tetapi dengan tegas dia menjawabnya.
“Maaf Rahman, aku bukanlah Wafaa yang
dulu, aku telah berubah, dan apa yang kau katakan tadi, seharusnya kau sendiri
yang bisa menjawabnya”
“Kau menolakku Wafaa? Kau tak lagi
mencintaiku? Kau memang berubah, tapi aku hargai keputusanmu, maafkan aku bila
tak pernah mengerti maksud hidupmu yang sekarang” Rahman terlihat sedih tetapi
dia pasrah.
Tiba-tiba Nurul menjawab “Kau memang
harus mengerti, Rahman, Wafaa memang telah berhijrah, kami berdua ingin
menempatkan cinta kami kepada Allah setinggi-tingginya, melebihi
segala-galanya, insya Allah”
“Nurul benar, Rahman, biarlah kita
titipkan cinta kita kepada Allah, biarlah Dia yang memeliharanya, biarlah Dia
yang menentukan takdir cinta kita, dan apabila kau mencintaiku, cintailah aku
karenaNya, dan aku pun ingin mencintaimu karenaNya, itulah cinta yang diridhai
Allah, dan apabila kau benar mencintaiku, tunggulah aku dari Mesir, dan
jadikanlah aku cinta yang halal untukmu” Wafaa meyakinkan Rahman.
“Apaaaaa?! Mesir? Kau ingin ke Mesir,
Wafaa?” Rahman tersentak mendengar apa yang dikatakan Wafaa.
“Benar, minggu besok aku langsung
terbang ke Mesir, ini adalah minggu terakhirku di Indonesia, Rahman, setelah
dari sini kami pun ingin ke KEDUBES Mesir dan mengurus segala sesuatu yang kami
perlukan, Nurul juga ikut!”
“Untuk apa kau ke Mesir, Wafaa?”
“Aku akan melanjutkan studyku di
Al-Azhar, aku dapat beasiswa, aku memilih Mesir, karena itu memang cita-citaku
sejak SMP, Rahman”
“Sampai kapan? Kenapa tidak di
Indonesia saja?” Rahman terlihat sangat sedih.
“Insya
Allah kalau tidak ada halangan rencananya akan 7 tahun, aku langsung
mengambil S1 dan S2 disana, itu adalah pilihanku, Rahman, tolong jangan
mempengaruhi aku” Wafaa tertunduk, wajah cantiknya tidak bisa menutupi kalau
dia pun sangat berat meninggalkan Rahman.
“Lama sekali, Wafaa, aku tak mungkin
memaksamu, tapi kau perlu tahu, bahwa aku sangat mencintaimu, aku akan
menunggumu, aku akan berusaha setia kepadamu, kuharap kau pun demikian, dan
akupun selalu mendoakanmu, insya Allah,
Wafaa” Rahman berusaha tegar.
“Terima kasih, Rahman, kau sangat
baik, terima kasih, kau mau menungguku, jadikanlah aku cinta halalmu, belajalah
mencintaiku karenaNya” perasaan Wafaa bercampur aduk, antara senang dan sedih.
“Ya, aku akan belajar mencintaimu
karena Allah, insya Allah” Rahman
tersenyum.
“Sekali lagi terima kasih, Rahman,
baiklah, sepertinya aku harus cepat ke kedutaan, tidak ada waktu lagi, aku tak
ingin ada perpisahan, kalaupun kamu dan aku sama-sama tak bisa menunggu, aku
ikhlas, Rahman, biarlah Allah yang mengatur jalan hidup kita, aku yakin
scenario Allah itu maha indah” Wafaa membalas senyumnya.
“Insya
Allah, aku akan setia, baiklah, kalau kau ingin ke kedutaan, sepertinya
memang sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, jagalah dirimu baik-baik di
Mesir, dan sampaikan salamku kepada kedua orang tuamu dan kakakmu”
“Insya
Allah, Rahman, baik, aku dan Nurul pamit dulu, doakanlah kami”
Setelah itu Wafaa dan Nurul pamit dan
mengucapkan salam, mereka tidak berjabat tangan, Wafaa dan Nurul hanya menelungkupkan
tangannya di dada, Rahman yang meskipun heran segera membalasnya. Rahman terus
memandangi sosok Wafaa yang mulai menjauh dari pandangannya, dia bertekad akan
belajar Islam lebih dalam dan belajar mencintai Allah setinggi-tingginya dan
diatas segalanya, bukan karena dia mencintai Wafaa, tetapi karena dia mencintai
Wafaa hanya karenaNya, ya mencintai karena Robbnya.
0 komentar:
Posting Komentar