Sudah
selarut ini, aku masih belum mampu memejamkan mata. Padahal hari sudah
berganti, dan jarum jam sudah menunjukan pukul 01.47 pagi. Aku mengempaskan
diriku ke kasur. Mencoba memejamkan mata sekali lagi. Namun hasilnya tetap
sama. Sama sekali tak bisa. Novel pengantar tidurku, bahkan sudah habis dua.
Akhirnya
aku keluar kamar. Sekali lagi kulirik jam dinding, 2 jam lagi aku harus
sahur. Kubasahi wajahku dengan air wudhu. Beberapa rakaat tahajud kutunaikan. Masih
sama permintaannya, merengek-rengek keukeuh
ingin kuliah disana.
Kulihat laptopku
bertengger anggun di meja belajar. Inginku menulis semakin menjadi jadi saja. Setelah
kulirik ke luar kamar, suasana tenang dan damai ditawarkan. Ah, aku memang
harus menulis!
Sudah
manis duduk dan menatap laptop, namun belum berhasil menemukan bahan untuk
menulis. Aku gemas sekali. “Kalo kaya
gini mah kenapa ga dibuat ngantuk aja sih?” keluhku dalam hati.
Pelan-pelan,
kuhirup bau melati dari teh yang baru saja kuseduh. Semerbak wangi itu langsung
memenuhi seluruh rongga dadaku. Kupertegas sekali lagi. Benar. Wangi melati membawaku
kepada ingatan akan bunga itu. Jauh. Jauh sekali. Ke kota dimana air laut berdebur keras dengan
batu karang. Pangandaran.
***
Aku
memandangi bunga melati yang ada di tanganku. Aku tersenyum lirih. Bunga yang menurutku,
syarat akan makna kebaikan dan ketulusan hati. Ah, memandang bunga ini
mengingatkanku pada seseorang. Dan, aku selalu ingin menuliskannya. Atau bagaimana
jika aku menceritakannya saja?
Kutengok
ke luar jendela. Aku masih terjebak rinai-rinai hujan yang turun perlahan. Tapi
tiba-tiba berubah menjadi buas. Kembali hujan deras. Teman-temanku masih
berkutat dengan makalah-makalah mereka. Deadline-nya memang besok pagi. Aku
malah tenang-tenang saja, karena punyaku sedang di-print oleh seorang teman
anggota kelompokku juga. Hah? Di-print saat hujan seperti ini?!
“Ari, abi nambut payung ya?” izinku
sambil menyambar payung tak peduli reaksi temanku yang dipinjami.
Aku segera
berlari dan melebur bersama hujan. Ah senang… aku melangkah ke depan kelasku,
karena tepat di depan sana,
aku menemukan pohon bunga melati yang sedang mekar lebat-lebatnya. Hujan memang
memang membawa berkah. Aku memetik banyak sekali. Kuperhatikan, bulir-bulir air
membasahi bunga-bungaku.
Jasminum
sambac betul-betul mengingatkanku pada
seseorang. Tentang kebaikan hatinya, juga ketulusan hatinya. Orang yang sudah
kuanggap seperti kakakku sendiri. Dukanya pasti juga dukaku. Bahagianya terang
saja, itu bahagiaku.
Aku tak mau seorangpun berani menyakiti hatinya. Karena, aku merasa
seluruh jiwa dan tulang rusukku hancur lebur dan remuk jika ada yang menyakiti
hatinya.
Dulu sekali dia pernah berkata kepadaku, ketika dia pernah jatuh cinta
kepada seorang perempuan pilihannya dan dengan tega si perempuan mematahkan
hati ;
“Aku ga
pernah sesakit ini, Bila. Aku susah jatuh cinta, tapi satu kali jatuh cinta
sudah membuat tulang rusukku sakit sampai mati rasa.”
Ya Allah, Robbi! Aku buru-buru memegang dadaku. Aku sampai menekannya.
Ya Allah, aku sakit hati! aku terduduk lemas di pojok kamar.
Sebisa mungkin kutemani dia, sebisa mungkin kukuatkan hatinya. Semampuku.
Mengapa? Karena kebaikannya pula yang menyentuh hatiku untuk mendoakannya. Ah
Kak, aku sungguh suka caramu mendatangiku. Tanpa interpretasi dan basa basi.
Sudah terlalu banyak kebaikanmu, sehingga tak mampu kusebutkan
satu-satu. Sudah terlalu banyak kata yang tak mampu menginterpretasikan dirimu.
Ketika menulis ini, aku mengenangmu. Dukunganmu, candaanmu, ceritamu. Semuanya mengalir
dan menyukseskan jemariku, kembali menulis tentangmu.
Aku ingat lomba-lomba yang kulewati, dan kau selalu menyemangatiku.
Lomba pidato, olimpiade, lomba debat, lomba tata letak kelas, kau pula yang
menjadi pembaca setia novel novelku yang bahkan belum terbit. Hahaha.
Satu pertanyaanku; lalu, bagaimana jika kamu yang membuatku jatuh
cinta?
Ah tidak. Forever you are brother for me. Dan, aku tak ingin ada
ruang karena itu.
Terima kasih, Kak telah memberi sedikit warna dalam hidup. Dalam kebaikan
dan ketulusan hatimu, aku belajar banyak. Tentang bagaimana menyentuh hati
tentu dengan hati pula.
Dan tentu
aku juga sangat berterima kasih, untuk secangkir teh beraroma melati yang
memberiku ide untuk menuliskannya dengan sepenuh hati! :)
0 komentar:
Posting Komentar