Sebagai
seorang perempuan, aku berusaha menilai, menceritakan, dan menuliskan segala
kebaikan ibuku secara objektif. Hal ini aku lakukan, karena aku juga seorang
perempuan, begitupun ibuku.
Meski
bagiku, dengan tinta emas-pun kebaikan seorang ibu tak mampu dituliskan dan
digambarkan, tapi rasanya tak adil, jika aku menuliskan sosok seorang perempuan
melalui ibuku hanya dari satu perspektif saja, apalagi perspektif tersebut
ditulis oleh seorang anak perempuannya.
Tapi aku
terkejut, setelah membaca postingan dari seorang penulis blogger yang akhir-akhir
ini sering kukunjungi blog pribadinya. Bang Syaiha dan tulisannya yang berjudul
"Perempuan Itu Selalu Luar Biasa" sukses membuatku semakin mantap menuliskan tentang Ibuku.
Aduh,
rasanya aku bangga sekali menjadi seorang perempuan. Begitu dihormati dan
disayang banyak orang. Walaupun memang aku belum menjadi istri dan ibu, tapi
itu tidak mengurangi kebahagiaanku.
Aku jadi
ingat, ibuku memang tak pernah mengeluh dengan pekerjaan rumahnya. Sebanyak apapun
itu. Meski aku sangat tau, ibuku sangat lelah. Ditambah lagi ibuku adalah
perempuan yang bekerja di luar rumah juga. Waaah @_@
Kalau dipikir-pikir,
siapa juga sih yang rela bangun pagi-pagi mengotori tangannya dengan bumbu
dapur kalau gak cinta sama suami dan anak-anaknya?
Ah ibuku
memang hebat. Mencuci, menyetrika baju, memasak, dan bersih-bersih rumah
dikerjakannya dengan ikhlas. Ibu seperti ingin meyakinkan kepada dirinya
sendiri, baju anaknya rapi, harum, dan tidak membuat malu. Ibu pula yang
menjamin tidur kita nyenyak atau tidak dengan selalu menyiapkan seprai yang
terbaik dan wangi. Meyakinkan anak-anaknya tidak kelaparan, kadang mengecek
perlengkapan sekolah seperti yang terkecil sekalipun, pensil, penghapus,
pulpen, supaya anaknya tidak meminjam milik orang lain dan jauh dari kesan
tidak diperhatikan. Bahkan sekecil urusan: sudah membereskan buku nak? Ada PR
tidak untuk besok? Pensilnya jangan lupa diraut! Ah, ibu :’)
Dan aku juga sering bertanya tanya dan tak mengerti sampai saat ini. Ibu selalu
memasak masakan terbaik untuk kami tapi kenapa ibu malah makan makanan sisa?
Aku dan adik-adikku serta ayahku makan makanan enak seperti ayam goreng, tapi ibuku
kadang cuma makan dengan tutug oncom atau sambal leunca.
Kalau diperhatikan,
Ibu-ku itu bisa jadi guru les, chef, pembantu yang suka bersih-bersih rumah,
tukang ojeg, sekertaris, manajemen, bendahara, dan lain-lain. Iya kan? Ku yakin ibumu dan seluruh ibu di dunia ini juga begitu. Bedanya mereka tidak dibayar. Mereka ikhlas dan senang-senang asja ngerjainnya.
Karena apa? Sekali lagi karena cinta.
Betul
kata Bang Syaiha, mungkin letak kebahagian seorang perempuan itu ada pada ketulusan
hatinya dalam melayani dan melihat keluarganya bahagia :’)
Aku ragu
pada diriku sendiri: benarkah hanya dengan cinta? Mungkinkah aku bisa se-rela
itu nanti?
Kalau diibaratkan, ibuku itu seperti bunga matahari. Bunga yang selalu tersenyum itu mengingatkanku
kepada Ibu yang meski sibuk dan pasti lelah luar biasa, Ibuku tetap terlihat manis,
lincah, dan menyenangkan. Sosoknya yang selalu optimis dan tak mudah menyerah. Terlebih
baru-baru ini aku baru saja mendaftarkan diri menjadi mahasiswi baru di sebuah
perguruan tinggi negeri.
Intinya
ibu yang selalu ada dan menemani. Mendukung dan mendoakan tiada henti. Ibu yang
menjadi saksi bisuku sewaktu menangis sendu saat tak lolos SNMPTN, ibu pula
yang pertama kali mendukungku untuk mendaftar SBMPTN dan ujian-ujian
mandiri lainnya.
Ibu mengajari dan menginspirasiku untuk menjadi pribadi yang tetap optimis dan tak pernah menangis layaknya bunga matahari yang selalu tersenyum manis.
Dan, sampai kapanpun, Ibu selalu menghangatkan seperti matahari disaat dingin mencekam. Sampai kapanpun Ibu tetap menjadi mentari yang bersinar sepanjang masa.
0 komentar:
Posting Komentar