Aku begitu
mengingat masa kecilku. Semuanya terekam jelas dalam hati dan ingatan. Dulu sekali,
sewaktu aku kecil, aku begitu sering berlinang air mata sambil menempelkan
hidungku yang merah dan berair karena menangis di jendela.
Alasannya
apa lagi kalau bukan dikurung di rumah oleh Ibu. Dilarang bermain siang-siang ketika suhu udara di luar sana sedang panas-panasnya. Kata Ibu, selain nanti malam tidak bisa belajar
dan mengerjakan PR, alasan lainnya karena aku kerap rewel dan pegal-pegal kalau
main siang-siang.
Begitupun
ketika hujan deras sedang turun. Bisa dihitung dengan jari lah, berapa
kali aku diizinkan mandi hujan. Pokoknya, pasti berujung dengan linangan air
mata di balik jendela. Rasanya
iri dan cemburu melihat
teman-teman sebayaku tertawa sambil bermain diantara derasnya guyuran air hujan.
Singkat
kata ketika SMP dan SMA juga begitu. Sudah kukatakan kan, aku tidak boleh naik angkot oleh
ayahku. SMA-pun sebenarnya, secara isyarat aku diberi “lampu merah” untuk masalah pacaran. Yang terakhir aku justru senang. Hahahaha. Karena aku tahu, pacaran
memang tidak baik dan ujung-ujungnya merugikan *eh, kok curhat*
Kalau
boleh jujur, sejak masuk TK,
SD SMP, SMA, hingga memilih program
study kuliah (pun), semuanya adalah pilihan Ibu dan Ayah-ku. Beneran. Teman-teman pasti
berpikir ya? Ih gak bebas banget kayaknya. Aku juga berpikir, “duh,
jangan-jangan nanti jodoh (pun) dipilihkan oleh kedua orang tuaku.” Hahahaha.
Sepertinya
memang begitu.
Kesannya
terkungkung. Atau terlalu memaksakan keinginan Ibuku sendiri dan lain-lain
pikiran negatif lainnya. Kuakui, setiap mau masuk sekolah baru tuh, rasanya
galaaaau. Maunya kesini, tapi ayah dan ibuku bilang “kesini aja” dengan segala
macam propaganda yang membuatku akhirnya nyerah dan berkata “iyaaa, deh…”
padahal dengan nem yang ku punya, aku bisa masuk sekolah impianku.
Awalnya
aku memang merasa “it’s cheat!” ini
curang dan tak adil. Tapi kejadian tadi malam membuatku berpikir. How care and love my parents! Betapa peduli
dan sayangnya orang tuaku.
Bukan
kejadian semalam saja yang membuatku merasa rindu dengan kebawelan, suka
diatur-atur, atau kemarahan orang tuaku saat aku tak nurut. Sejak di
Pangandaran dulu, aku sering sekali merindukan hal yang sebenarnya paling aku
sebal itu karena (mungkin) di Pangandaran dulu aku tidak terlalu (diwaro) seperti yang selalu orang tuaku lakukan.
Sewaktu
masuk sekolah, semua keperluanku sudah disiapkan. Paling hanya ditanya “NISN
dimana?” “ijazah sudah ada belum?” dan selanjutnya selalu sudah siap dan beres.
Lalu yang
membuatku terkaget-kaget, tiba-tiba orang tuaku sudah membangunkanku untuk ke
sekolah baru.
Untuk apa?
Untuk
daftar ulang!
Hah?
Bahkan aku saja kaget, dari mana orang tuaku mendapat semua dokumen itu tanpa
bertanya kepadaku. Sampai hal terkecil-pun semisal sertifikat prestasi akademik
yang sudah terjilid dan terfoto-copy rapi. Padahal aku saja terkadang lupa,
dimana aku menyimpan dokumen-dokumen pribadiku.
Aku sedemikian
malu pada diriku sendiri. Aku teringat dengan temanku di PNJ saat mengajukan
UKT I dan UKT II, dia kekurangan syarat dan tampak bingung. Mau pulang, mepet karena hari itu adalah
hari terakhir pengajuan beasiswa dan mungkin dia tak tahu apa yang harus disertakan karena memang banyak surat-surat yang harus direkomendasikan dari lurah, RT, RW, dan lain-lain. Selain itu orang tuanya
pasti tak sepenuhnya aktif seperti orang tuaku.
Seharusnya
aku lebih bersyukur karena aku memiliki orang tua yang begitu care, active, and ekstrovert. Dan berkat kejadian semalamlah, aku
berani menuliskan kisah ini. Ternyata semalam orang tuaku membangunkanku untuk
menanyakan sesuatu, yaitu beasiswa. Dan semalaman pula, kedua orang tuaku
bolak-balik memburu informasi, bahkan sampai mengirimi si sponsor beasiswa
email. Ya Allah!
Seharusnya
siapa yang lebih aktif? Aku kan?
Ya, seharusnya aku. Sejak saat itu aku sangat-sangat tersentuh dan bersyukur,
betapa Allah Maha Rahman dan Maha Rahim sudah memberiku orang tua yang
(terkadang) aku tak mengerti jalan pikirannya, tapi selalu punya cara untuk
membuatku merasa penting dan di-prioritaskan.
Intinya;
pesan yang ingin kuselipkan dalam tulisan ini adalah ketika impian kita tidak
sejalan dengan apa yang orang tua kita inginkan, jangan dulu berburuk sangka!
Tetaplah berpikir positif. Karena setiap orang tua menginginkan yang terbaik
dari anaknya.
Satu hal yang
terpenting adalah ridho orang tua. Ya, antara impian dan ridho orang tua.
Sungguh aku belajar banyak tentang ini. Ridho orang tua adalah ridhonya Allah.
Mungkin bisa saja, aku mengikuti ingin dan impianku, tapi apa mungkin orang
tuaku ridho, Allah ridho, dan impianku bisa dengan mudah dicapai dan yang
terpenting (berkah) kah itu untuk diriku sendiri? Belum tentu.
Tapi jika
kita berusaha untuk menunjukan bakti terbaik yang kita punya dengan (nurut) dan
patuh serta mewujudkan semua mimpi orang tua. Insya Allah, Allah akan ridho dan
mempermudah impian (baru) kita, dan yang terpenting keputusan kita akan menjadi
berkah serta membawa manfaat tersendiri untuk diri kita, karena keputusan dan impian itulah yang terus
didoakan orang tua kita hingga mengetuk pintu-pintu arsy-Nya.
Tidak
percaya? :)
Aku sudah
merasakannya. Dan aku sangat bersyukur sudah dipilihkan sekolah dari TK sampai
SMA. Mengapa? Karena aku justru menemukan, diriku tangguh dan berkembang dari
seluruh keputusan yang telah dibuatkan oleh kedua orang tuaku di masa yang
dulu.
0 komentar:
Posting Komentar