November, 2013.
“Bila,
ada telpon dari Ibu!” ucap Nenek-ku dari balik pintu kamar.
Aku
bergegas bangkit dari tempat tidur dan mengambil telpon. “Ya, hallo, Bu?”
“Bila!
Dina meninggal.”
Deg!
“Innalillahi
wainnaillahi raji’un.” Ucapku spontan dan masih tak percaya jika gadis cantik
itu benar-benar sudah tiada.
“Kapan
meninggalnya, Bu? Ibu lagi dimana sekarang?” aku memberondong Ibuku dengan
banyak pertanyaan waktu itu.
“Tadi
jam 11 siang. Ibu baru pulang ngelayat.”
Pesan
kematian datang lagi kepadaku. Kali ini, aku baru saja mendengar berita
kematian, dari salah seorang murid Ibuku. Anak teman Ibu sesama guru juga.
Bukan waktu meninggalnya yang membuat aku (jujur) tak bisa tidur dua hari dua
malam (karena gadis itu selalu datang di mimpiku) (atau hanya sugesti karena
terlalu memikirkannya?) intinya; hal yang menyebabkan dia meninggal yang
meraung-raung di otakku.
Kurang
tepat sih sebenarnya, kalau ditanya penyebabnya, ya jelas karena Allah sudah
berkehendak. Tapi, apa yang Dina alami 2 tahun sebelum kepergiannya.
Saat
menuliskan kisah ini, hampir saja air mata meluncur membasahi pipiku. Karena
perjuangan dan semangat gadis itu dalam memperjuangkan hidup begitu besar. Aku
begitu ingat, 4 tahun sebelum meninggal, aku masih mengenal Dina sebagai gadis
yang cantik, lincah, riang, murah senyum, dan montok.
Tapi,
tumor otak yang dideritanya habis membabat tubuh Dina yang montok dan sekal
itu. Bukan hanya tubuhnya tapi Dina juga kehilangan penglihatan dan
pendengarannya. Ya Rabbi, aku sungguh-sungguh tak percaya dengan apa yang Ibu
ceritakan. Benarkah? Dina yang cantik dan aktif di seluruh ekstrakulikuler
harus sakit terbaring di tempat tidur.
Untung
aku tidak pernah punya kesempatan bertemu dengannya. Bukan. Bukan aku tak mau.
Tapi lebih tepat aku tak akan tega. Selain itu, dulu aku sedang sibuk
mempersiapkan ujian nasional SMP-ku.
Aku
hanya bisa mendengar perkembangan kesehatan Dina dari Ibu. Aku selalu mendoakan
semoga Dina cepat sembuh dan bisa bersekolah sepertiku. Seharusnya tahun ini,
dia duduk di kelas 12. Satu tahun dibawahku. Tapi sepertinya Allah berkehendak
lain. Bukan kabar baik, aku justru mendengar kesehatan Dina semakin memburuk.
Dimulai dari kehilangan penglihatan, lalu ke pendengaran, hingga mungkin dia
putus asa. Dia sudah tidak mau makan. Ya Allah, lapangkanlah hatinya dengan
cahaya-Mu.
Namun,
hal yang membuatku kagum, setiap malam Dina tak pernah lupa untuk sholat malam.
Dia selalu minta digendong ayahnya untuk berwudhu. Subhanallah.
Dan,
mungkin... November 2013 kemarin, Allah punya rencana yang lebih indah. Dina
lebih dahulu menghadap-Nya. Semoga amal sholihmu memberatkan amal kebaikanmu,
Din. Kakak mendoakanmu dari sini! :’)
Bagiku,
Dina itu seperti hanami sakura.
Apa
itu hanami sakura? Hanami secara bahasa adalah melihat bunga, namun sering diartikan sebagai kebiasaan orang Jepang dimana orang-orang Jepang tersebut berbondong-bondong datang dan menggelar tikar di bawah
pohon untuk menikmati gugurnya bunga sakura.
Orang
Jepang umumnya tak mau melewatkan kesempatan ini sedikitpun, karena hanami
sakura hanya berlangsung selama 30 detik dan itu hanya terjadi setiap satu
tahun sekali saja.
Ya,
meski tak ada hubungannya dengan Dina. Tetapi bagiku, kehidupan Dina layaknya
hanami sakura. Singkat memang. Tapi begitu meninggalkan kesan mendalam bagi
kami yang mengenalnya. Meninggalnya begitu indah dan khusnul khatimah.
Ah,
Dik... aku yakin sekali sakitmu kemarin adalah untuk menghapus dosa-dosamu di masa lalu. Aku yakin surga telah menunggumu. Semoga
Allah menyediakan tempat tertinggi-Nya untukmu ya, Dik. Amiiiin.
0 komentar:
Posting Komentar