Senin, 28 September 2015

Cerpen: Laki-Laki Yang Mengetuk Pintu

Aku pernah lupa bagaimana cara membuka hati kepada seorang laki-laki sebelum pertama kali mengenalmu. Kala itu, aku terlalu sibuk merajut benang-benang kesedihan yang sebenarnya aku pun tidak tahu seperti apa wujud nyata dari sulaman yang kurajut selain kata luka. Kala itu, aku sedang begitu asyik dengan duniaku, sampai-sampai aku lupa! Aku masih memiliki hati.

Bukankah jika aku mau, aku bisa saja mengisinya dengan satu nama? Namun, palung luka yang dibuat oleh para laki-laki tersayangku kala itu terlalu dalam kuselami sehingga aku terjerembab masuk ke dalamnya dalam waktu yang lama.

Aku berhasil menepi dari lukaku, namun tak ada niat tuk mengarunginya lagi. Aku menutup rapat-rapat pintu ketika ada saja mereka yang ingin mencoba membukanya.

Sampai malam itu, dimana malam gelap seumpama mengeluarkan kunang-kunang dan menjadikannya bercahaya. Sampai malam itu, dimana setiap jendela yang biasanya tertutup kerai rapat, kubuka lebar-lebar seraya berpikir, bahwa laki-laki baik itu ternyata masih ada.

Aku pernah bertanya, apakah ini cinta?

Awalnya aku tidak yakin. Tapi mata teduhmu yang kulirik diam-diam membuatku berkaca-kaca, aku tak ingin kehilangan laki-laki sebaik dirimu karena perasaan takutku. Sekali lagi, kau tak pernah memaksaku untuk berani. Tapi aku pun tak tega untuk terus memelihara rasa takut apalagi sampai kuberikan padamu. Padahal bukan kamu yang sukses menorehkan luka itu.

Malam ini pula kutemukan jenis romantisme yang lain;

Dulu sekali, ketika aku merasa heran dengan setiap perempuan yang dipuji laki-lakinya lalu bersorak “awww, so sweet!” atas puja dan puji tersebut, atau dengan diberikan ciuman atau pelukan hangat.

Tapi bagiku, romantisme itu tak melulu tentang cinta. Selama ini aku merasa duduk menulis di depan laptop ditemani teh panas adalah estetika romantis yang paling kusenangi. Atau menatapi perginya senja ketika matahari mulai berarak ke ufuk, sering pula kusebut romantis. Dan mencium bau khas hujan, itu pun kusebut dengan kata romantis.

Mengapa perempuan yang lain tidak merasakannya? Sampai akhirnya mereka terbiasa dengan romantisme yang hanya dalam bentuk pujian, ciuman, atau pelukan lalu membuat mereka semakin jatuh ke dalam pengakuan-pengakuan laki-laki yang menyatakan dirinya paling hebat, pergi bisa sesukanya. Bagiku, itu karena perempuan selalu menaruh kebahagian mereka di atas tangan laki-laki. Sehingga laki-laki itu sendiri bisa saja membolak-balikan tangannya dengan mudah.

Itu dulu.

Laki-laki ini mengajarkanku romantisme yang lain. Berdiskusi kecil. Menikmati setiap aktivitas yang dilakukan orang-orang di sepanjang jalan. Mengomentari hal-hal sepele lalu mengait-ngaitkannya dengan kehidupan kami.

Aku suka sikapnya yang tidak pernah memaksa untuk menumbuhkan perasaan. Katanya, “Setiap perasaan itu tidak bisa dipaksa. Dan proses menuju arah yang lebih baik itu tumbuh sendirinya. Tidak mungkin karena seseorang memaksanya untuk tumbuh dan berubah. Kita terkadang hanya melihat hasilnya, tanpa kita tahu sulitnya sebuah proses.”


Dan aku berani menyimpulkan laki-laki ini mengajarkanku satu hal. Bukankah ketika kita hendak masuk, kita tidak serta merta membukanya. Tapi harus mengetuknya terlebih dahulu?

0 komentar:

Posting Komentar

 
;