Kamis, 05 November 2015 0 komentar

Dulu

Dulu diantara kita adalah orang asing, hanya saling tahu nama dari bilik laman di layar komputer. Mencari tahu, menerka-nerka seperti apakah gerangan sosok di jauh sana.

- Kurniawan Gunadi -


1 komentar

Cerpen: Sama

Dia        : “Dek, banyak pasangan yang punya banyak kesamaan loh?”

Aku       : “Hmmm, terus gimana mas?”

Dia        :  “Kalau kita banyaknya justru yang beda ya, Dek?”

Aku       : “Bukan banyak. Tapi emang beda, Mas.”

Dia        : “Iya ya, bukan dari usia aja.”

Aku       : “Itu mah jelas. Aku masih muda… kalau Mas.... Hahahaahaha”

Dia        : “Hahaha, iya iya. Mas mah dewasa.”

Aku       : “Tua barangkali?”

Dia        : “Huhuhuuuu, Adeeeek!”

Aku       : “Ahahahaha, Maaaas!”

Dia        : “Kan ada yang sama-sama jadi penulis. Jadi atlet. Jadi penyanyi, Dek”

Aku       : “Oh gitu.”

Dia        : “Kita samanya dimana, Dek?”

Aku       : “Ada kok.”

Dia        : “Masa sih? Kalau Mas perhatiin enggak ada loh, Dek.”

Aku       : “Kalau sama-sama saling mencintai gimana?”

Dia        : “Hehehe, kamu mah emang paling-paling deh.”

Aku       : “Itu kan yang terpenting?”

Dia        : “Hehehe, iya, Dek.”

Aku       : “Yaudah.”

Dia        : “Mas selalu nggak kepikiran loh. Kenapa Adek bilang gitu?”

Aku       : “Karena perbedaanlah yang membuat kita saling jatuh cinta, Mas.”

*disusul tawa terpisah dari dua kota berbeda*
0 komentar

Yang Dekat Dengan Ketenangan

Aku lahir, tumbuh dan berkembang bersama sosok wanita pagi yang begitu menyayangiku. Dialah Ibuku. Sampai aku tumbuh menjadi remaja berusia 15 tahun, aku hidup bersama Ibu, sebelum dua setengah tahun kemudian, aku tinggal terpisah dengannya diantara dua kota yang berbeda.

Bagiku, Ibu adalah perempuan yang multi talented. Banyak yang bilang, aku adalah duplikat nyata Ibuku. Wajahnya, cara berjalannya, pemikirannya, dan lain-lain. Tapi aku tidak yakin karena aku tidak semulti talented Ibu. Aku tidak bisa masak, tidak bisa menjahit, dan yang lebih krusial aku tidak bisa sesabar Ibuku.

Aku belajar banyak dari Ibuku. Salah satunya ajaran Ibuku yang paling dahsyat adalah tentang bagaimana mensyukuri hidup yang kujalani sekarang. Ibuku mengajarkan bahwa apa yang Tuhan berikan sekarang adalah apa yang paling kita butuhkan. Dia lebih tahu apa yang kita butuhkan daripada apa yang kita inginkan. Benar. Dan sekarang aku menyadari bahwa hidup yang sedang kujalani dan apa-apa yang Allah berikan kepadaku adalah sebaik-baik hal yang kudapatkan.

Bagi Ibuku, yang terpenting adalah hidup tenang. Ketika kita senantiasa dekat dengan Tuhan dan menyerahkan semua urusan selepas ikhtiar yang sudah dilakukan. Aku terpaku ketika Ibuku berkata;

“Bukankah hidup dengan ketenangan itu dekat sekali dengan kebahagian?”
Minggu, 01 November 2015 0 komentar

Cerpen: Rumah


Ada yang membedakan diantara mereka yang sedang ketakutan dengan mereka yang sedang merindu.

Perbedaan itu terletak diantara dimensi waktu.

Bagi mereka yang sedang ketakutan, waktu begitu cepat berlalu. Namun, bagi mereka yang sedang menunggu pertemuan karena merindu, waktu melambat seakan jarum jam berjalan di tempat.

Sehari. Dua hari. Tiga hari. Seminggu. Sebulan. Atau bahkan setahun.

Sampai suatu hari dimana kita terakhir bertemu lalu ku rindu. Ada semacam perasaan sedih lalu ingin berbalik arah mengejarmu. Sampai detik dimana aku menghitung setiap detik dan menghitung setiap langkah kakimu meninggalkan kotaku.

Pandanganku memburam tertutup buliran bening bernama air mata, seakan mengaburkan pandanganku terhadap punggung badanmu yang semakin menjauh.

Aku baru merasakannya. Ternyata betul kata Kurniawan Gunadi,

”Kalau rindu hanya berwujud huruf menjadi kata, maka seseorang itu tidak demikian. Rindu bisa berubah menjadi kesibukan mempersiapkan pertemuan. Di balik kerinduan yang mendalam ternyata rindu itu sendiri telah mengubah pikiran yang tadinya sempit menjadi lebih luas. Mengubah kata menjadi lebih sendu, dan menjadi doa lebih kuat dari biasanya.”

Selamat melanjutkan perjalanan untuk setiap cita dan cinta kita.

Disitu pula harapku,

Semoga aku dan kamu

Suatu saat nanti dapat pulang ke rumah yang sama,

Semoga tak ada lagi rasa rindu yang mengintai di setiap daun pintu.


Semoga suatu hari nanti, kau tak hanya menemukanku sebagai tempat singgah. Namun juga tempat persinggahan terakhir yang sama-sama kita sebut sebagai rumah.

Jumat, 09 Oktober 2015 0 komentar

To be productive is to be consistant.

Hallo!

Akhirnya setelah sekian lama tidak pemanasan di keyboard laptop :’) hari ini aku memutuskan untuk menulis, lho! ((atau lebih tepatnya memaksa diri menulis)) lagi kali yaa! :’) Sedikit sedih dan agak menyesal juga, setelah mengumpulkan semua niat untuk menulis blog setidaknya seminggu sekali dan memulai untuk menulis (lagi) novel-novel yang ditargetkan selama TPB ini setidaknya ada 2 buku yang aku selesaikan. Tapi nyatanya aku ingkar dengan komitmenku sendiri.

Sebelumnya aku berpikir, setelah aku masuk IPB, aku mengira akan menerima paket berisi seserahan aplikasi yang berbentuk seperangkat alat sholat paket-paket baik semacam tombol better management times yang tinggal kutekan kapanpun aku mau untuk bisa meng-upgrade automatically diriku supaya lebih bijaksana dalam memanfaatkan waktu. But, phewww… self discipline itu memang sesuatu ya -,-

Contohnya kemarin pas malam Senin, ketika ada social gathering gedung asramaku, aku memang sudah membawa buku untuk belajar karena besok ada kuis. Tapi setelah menemukan temanku yang memprovokasi dengan membawa novel Dilan punyanya “Surayah” Pidi Baiq akhirnya mataku nakal dan jelalatan mau baca (berhubung itu novel yang sudah kucari dua kali ke gramedia tapi selalu sold out). Dan ujung-ujungnya aku baca novel Dilan sambil beleleran ingus dan air mata karena ending dari ceritanya Milea malah meninggalkan Dilan, Bandung, dan (akhirnya) menikah bukan dengan lelaki romantisnya, Dilan. Ugh, kalau Dilan ada di dunia nyata, dia sudah kucubiti karena saking gemasnya. Bayangkan deh, dia berkata kepada Milea;

“Milea, kamu cantik. Tapi aku belum mencintaimu. Mungkin nanti sore. Tunggu saja.”
                                   
Aduuhh, sok mangga bayangkeun sodara-sodara, apa yang akan kamu lakukan untuk menghadapi lelaki seunik Dilan ini? Ketika jadian, traktirannya gorengan Bi Eem sambil menulis dan menandatangani surat bermaterai sebagai ikrar perjanjian perasaan antara Milea dan Dilan. Deeeeuuuuhhh… kocak tapi so sweet :’D

Oke, continue to this…

Tuhkan aku malah mem-provokasi baca novel Dilan untuk melupakan sifat burukku menunda waktu, ahahaha :D ya jadi ujung-ujungnya aku belajar pagi harinya. Alhamdulillah nggak terlalu belepotan karena sebelumnya aku sudah menyicil belajar :”)

Kebetulan dua minggu ini aku sedang berkutat dengan  rutinitas baruku yang cukup menguras energi, pikiran, dan (batin) juga kali ya :’) memasuki minggu keempat, kelima, dan keenam kuliah, biasanya kami sebagai anak-anak kuliah disibukkan dengan kuis-kuis sebelum UTS gitu, belum lagi tugas dan laporan praktikum, belum lagi, kita harus mengulang materi yang subhanallah ekspressnya minta ampun. Disini aku sama sekali dilarang nge-down, padahal ada aja sih masalah yang dihadapi, semisal ada masalah keluarga, masalah sama temen, nilai-nilai yang menurun, badan yang kurang fit karena seharian beraktivitas, atau kecapean dan yang lain-lainnya. Intinya kita nggak boleh sampe terlalu baper gitu deh. Tapi jangan jadi orang yang gak baperan juga ya! Terkadang sifat baperan itu bisa mengindikasikan kamu punya perasaan atau enggak lho! :p

Okay, back to the problem…

Teman-teman, tau nggak sih inti dari terlaksananya semua aktivitas dan yang memegang kehidupan kita secara penuh tanpa ada yang mempengaruhi itu apa?

Kalau menurutku, semua itu bergantung kepada kekonsistensian kita memegang prinsip. Contoh sederhananya seperti ini, misalnya kita ingin sekali hidup teratur dengan hasil yang memuaskan. Pasti dong untuk mendapatkan hal tersebut  harus ada sesuatu yang kita dikorbankan?

Ya, benar sekali. Sesuatu yang kita korbankan itulah yang harus kita jauhkan sejauh mungkin atau mungkin (ditunda) lebih dulu kali ya, supaya kita tetap fokus terhadap pekerjaan yang sedang kita lakukan. Seperti sebelumnya, aku pernah bercerita tentang distraksi-distraksi pengganggu belajar, atau ketika kamu mau fokus banget tapi temanmu sendiri menjadi the biggest distraction karena nggak satu visi dan satu misi dengan apa yang kamu harapkan dan kamu cita-citakan, kamu disarankan untuk bilang baik-baik deh ke temanmu kalau kamu juga punya mimpi yang harus kamu kejar. Ingat ya, bilang baik-baik! :) jangan sampai terkesan kamu ngejauhin dia.

Atau bisa juga kamu menon-aktifin handphone kamu sewaktu belajar. It’s your biggest distraction isn’t it? :p bisa juga kamu umpetin di bawah bantal , dikunci, di lemari, atau apapun itu bisa membantu kamu menjalankan aksi konsisten terhadap diri kamu sendiri.

Dan tulis deh besar-besar dalam langit-langit tempat tidurmu, di dinding-dinding kamar tidurmu, dan tempat-tempat eyes strategic berisikan mimpi-mimpi kamu, jadwal harian kamu, apa yang pengin kamu capai dalam waktu dekat, dan tentu what should you do untuk mimpimu tersebut. Semangatmu akan terdongkrak ketika kamu melihat itu.

And, the most important is…..

DISCIPLINE!!!!

Duh, nyebutnya juga aku agak (ngeri) ahaha :’) karena aku sendiri belum bisa menjalankan dengan sepenuh hati dan konsisten. Contohnya, pas pulang kuliah seharusnya aku mandi, nyuci, terus ngejemur baju. Nyucinya udah tapi masalahnya ada penyakit mager abizzzz yang menjangkiti diriku untuk menjemur baju karena harus turun ke bawah ahahaha :’D akhirnya ngejemurnya telat, keringnya telat, nyetrikanya pun telat. Nah, waktu yang seharusnya aku gunain buat melakukan hal berguna lainnya harus terpakai untuk menyetrika baju sehingga jadwal-jadwal yang sudah kususun bergeser dan berubah waktunya :’) sekarang aku lebih menghargai waktu karena dua puluh empat jam bagiku serasa kurang. sampai-sampai waktu untuk mengobrol, menelpon, atau membeli pulsa harus ku-agendakan secara khusus supaya tidak mengganggu waktu belajar, waktu membaca buku, waktu menulis, dan bahkan waktu yang harus kuluangkan untuk mengaji.

Lalu, apa gunanya tulisanku ini?

Selain supaya “memaksa” diriku untuk menulis (kembali). Hal yang ingin kutekankan adalah membuat diriku sungkan untuk berleha-leha dan melewatkan waktu begitu saja, begitupun dengan membuat diriku malu jika melanggar kekonsistensian dalam segala hal. Karena aku telah menulis you can write about anything, so this is me writing about anything and realize that to be productive is to be consistant. And, I apologize for many unproductive days. Tapi intinya, pesan yang ingin aku sampaikan dari tulisan ini adalah ketika kamu ingin jadwalmu teratur dan mempunyai hari-hari yang produktif mulailah untuk keras, disiplin, dan kenali distraksi terbesarmu. Setelah itu KONSISTEN. Because like I said before; to be productive is to be consistant.
Senin, 28 September 2015 0 komentar

Cerpen: Laki-Laki Yang Mengetuk Pintu

Aku pernah lupa bagaimana cara membuka hati kepada seorang laki-laki sebelum pertama kali mengenalmu. Kala itu, aku terlalu sibuk merajut benang-benang kesedihan yang sebenarnya aku pun tidak tahu seperti apa wujud nyata dari sulaman yang kurajut selain kata luka. Kala itu, aku sedang begitu asyik dengan duniaku, sampai-sampai aku lupa! Aku masih memiliki hati.

Bukankah jika aku mau, aku bisa saja mengisinya dengan satu nama? Namun, palung luka yang dibuat oleh para laki-laki tersayangku kala itu terlalu dalam kuselami sehingga aku terjerembab masuk ke dalamnya dalam waktu yang lama.

Aku berhasil menepi dari lukaku, namun tak ada niat tuk mengarunginya lagi. Aku menutup rapat-rapat pintu ketika ada saja mereka yang ingin mencoba membukanya.

Sampai malam itu, dimana malam gelap seumpama mengeluarkan kunang-kunang dan menjadikannya bercahaya. Sampai malam itu, dimana setiap jendela yang biasanya tertutup kerai rapat, kubuka lebar-lebar seraya berpikir, bahwa laki-laki baik itu ternyata masih ada.

Aku pernah bertanya, apakah ini cinta?

Awalnya aku tidak yakin. Tapi mata teduhmu yang kulirik diam-diam membuatku berkaca-kaca, aku tak ingin kehilangan laki-laki sebaik dirimu karena perasaan takutku. Sekali lagi, kau tak pernah memaksaku untuk berani. Tapi aku pun tak tega untuk terus memelihara rasa takut apalagi sampai kuberikan padamu. Padahal bukan kamu yang sukses menorehkan luka itu.

Malam ini pula kutemukan jenis romantisme yang lain;

Dulu sekali, ketika aku merasa heran dengan setiap perempuan yang dipuji laki-lakinya lalu bersorak “awww, so sweet!” atas puja dan puji tersebut, atau dengan diberikan ciuman atau pelukan hangat.

Tapi bagiku, romantisme itu tak melulu tentang cinta. Selama ini aku merasa duduk menulis di depan laptop ditemani teh panas adalah estetika romantis yang paling kusenangi. Atau menatapi perginya senja ketika matahari mulai berarak ke ufuk, sering pula kusebut romantis. Dan mencium bau khas hujan, itu pun kusebut dengan kata romantis.

Mengapa perempuan yang lain tidak merasakannya? Sampai akhirnya mereka terbiasa dengan romantisme yang hanya dalam bentuk pujian, ciuman, atau pelukan lalu membuat mereka semakin jatuh ke dalam pengakuan-pengakuan laki-laki yang menyatakan dirinya paling hebat, pergi bisa sesukanya. Bagiku, itu karena perempuan selalu menaruh kebahagian mereka di atas tangan laki-laki. Sehingga laki-laki itu sendiri bisa saja membolak-balikan tangannya dengan mudah.

Itu dulu.

Laki-laki ini mengajarkanku romantisme yang lain. Berdiskusi kecil. Menikmati setiap aktivitas yang dilakukan orang-orang di sepanjang jalan. Mengomentari hal-hal sepele lalu mengait-ngaitkannya dengan kehidupan kami.

Aku suka sikapnya yang tidak pernah memaksa untuk menumbuhkan perasaan. Katanya, “Setiap perasaan itu tidak bisa dipaksa. Dan proses menuju arah yang lebih baik itu tumbuh sendirinya. Tidak mungkin karena seseorang memaksanya untuk tumbuh dan berubah. Kita terkadang hanya melihat hasilnya, tanpa kita tahu sulitnya sebuah proses.”


Dan aku berani menyimpulkan laki-laki ini mengajarkanku satu hal. Bukankah ketika kita hendak masuk, kita tidak serta merta membukanya. Tapi harus mengetuknya terlebih dahulu?
Minggu, 20 September 2015 0 komentar


Jika kau bunga
Kuibaratkan kau seperti mahkota
Mewakili kelopak indah tak terperi
Mewakili perasaan ingin memiliki

Jika kau mawar
Kau sebarkan semerbak terwangi
Menebar indah penuh penjagaan
Membuatmu berharga tak hanya sementara

Jika kau lily
Kau birukan hati ini
Menyentuhku lewat puisi di malam sepi
Hingga ku tertidur lelap sendiri

Jika kau dandelion
Kau tidak rapuh
Kau justru hidup dengan tangguh

Boleh aku memiliki kamu yang seindah bunga?
Senin, 14 September 2015 0 komentar

Cerpen: Tak Berubah



Pernah tidak kamu merasa khawatir? Khawatir jikalau perasaan orang yang kamu cinta mengalami perubahan? Entah dari cinta menjadi benci? Dari yang dulu perhatian menjadi acuh tak acuh? Atau sebaliknya.

Pernah tidak  kamu merasa begitu takut kehilangan? Begitu takut jika dia benar-benar berubah?

Seakan menyisakan pertanyaan dalam hatimu,

“Benarkah dia? Atau hanya sementara?”

Menyesakkan hatimu dengan menyisakan kegundahan di setiap malam dengan pertanyaan,

“Benarkah dia memang berbeda dari yang lain? Yang masih sama selamanya?

Di tengah banyaknya orang yang datang dan pergi, masihkah sama perasaannya? Tak berubah sedikitpun, dengan banyaknya godaan diantara waktu dan jarak yang memisahkan.

Namun, aku banyak berharap dan berdoa.

Karena disini, aku menjaga agar perasaanku tetap sama.

Selamanya.
Minggu, 30 Agustus 2015 0 komentar

Catatan Sore


Aku sudah kembali ke kampus Darmaga sejak tadi senja. Sudah kembali untuk memfokuskan diri meraih angan dan cita. Untuk masa depan terlebih untuk kedua orang tua. Kampus perjuanganku yang hijau, asri, namun sekarang terkadang panas karena cahaya matahari sudah mampu menerobos bebas tanpa celah dedaunan hijau.

Sekembalinya aku ke Darmaga, aku mulai merancang mimpi. Dimulai dengan membereskan baju, menata kembali meja belajar, lalu membaca terjemahan al-qur’an, tak lupa menyambangi kamar sebelah, dilanjut dengan berkumpul di depan lorong.

Kulanjut dengan menulis sebagai bentuk komitmenku, sesuai dengan apa yang telah aku janjikan dulu. Sesekali mendengarkan cerita teman tentang (ehm) seseorang yang disukainya, atau sekedar mendengar resume film yang baru saja diputar bersama-sama di asrama semalam.

Ah, adanya aku disini membuatku semakin berpikir, apa yang membuat aku tidak mensyukuri nikmat dari Tuhan?

Kembali aku mengingat pelajaran hidup yang kudapat. Tentang toleransi, adaptasi, kemandirian, dan banyak lagi. Mengingat satu persatu jalan hidup yang kulalui. Pindah sana pindah sini. Namun, skenario-Nya membawaku kepada mimpi masa remajaku. Memang tidak sama konteksnya. Tapi, aku tahu dari awal hidup seperti inilah yang ku mau.

Benar saja, Tuhan memang menjawab doa kita dengan 3 jawaban;
1)    Ya.
2)    Ya, namun nanti.
3)    Aku akan mengganti dengan yang lebih baik.

Aku merasa Tuhan menjawab doa-doaku dengan 3 jawaban di atas;

Berawal dari, “Ya Allah, aku ingin kesana…” Dia langsung menjawab “Aku akan mengganti dengan yang lebih baik.” Dengan melemparkanku ke kota dimana air laut berdebur keras disana. Tempat yang lebih baik disini, bukan hanya tempat yang jauh dari hedonisme. Tapi juga tempat dimana aku lebih bisa berempati dan bersimpati dengan orang-orang disekitar. Untuk pertama kalinya mengenal binar menyejukan mata anak-anak. Melepaskan egoku demi menerima takdir-takdir yang telah dirangkai olehnya.

Dan, Dia kembali menjawab doaku dengan kata “Ya, tapi nanti.” Ketika aku gagal masuk PTN melalui jalur undangan. Dan, ketika aku harus mengikuti beberapa test masuk PTN, aku hanya meminta satu, yaitu diberikan yang terbaik. Ketika semua ekspektasi dan mimpi-mimpiku harus pupus tahun ini, semoga Allah melapangkan hatiku. Tapi Dia justru menjawab doaku dengan jawaban “Ya.”

Ternyata seiring waktu, aku mencatat, merekam, dan menuliskan apa yang terjadi dalam hidupku. Ketika kecil dulu, kita sering sekali nangis dan merengek meminta ini dan itu kepada orang tua kita. Tapi, terkadang orang tua kita tidak memberi apa yang kita inginkan. Satu hal yang tak pernah berhenti kupercaya, orang tua tahu apa yang terbaik untuk anaknya, meskipun awalnya itu tak mampu kita terima.

Begitupun dengan keputusan Tuhan, kita sering sekali merasa sedih dengan apa yang telah digariskan oleh-Nya. Tapi itulah yang terbaik untuk kita. Bukan saat ini (mungkin), tapi nanti.

Apapun yang telah kita lakukan hari ini, semua tak pernah terlepas dari takdir yang telah ditentukan oleh-Nya, semua itu tertulis di langit-Nya. Dan, semoga kita termasuk orang-orang yang menghargai setiap keputusan atas apa yang telah dihadapkan dulu, hari ini, dan di hari kemudian.

Ya, semoga :)
 
;