Sabtu, 23 Desember 2017 0 komentar

Semoga Harga Maafmu Tak Semahal Kemarin


Suatu hari, kamu mungkin menemukan dirimu begitu sulit memaafkan kesalahan orang lain. Sebab yang telah dilakukan olehnya bisa saja; mengkhianati kepercayaan, melanggar janji, menertawakan mimpi, mematahkan semangat, melukai dengan ucapan ataupun perbuatan, atau bahkan memasuki pintu kehidupanmu begitu dalam lalu membuat kekacauan di dalamnya. Apapun alasannya, ketika memaafkan menjadi sesulit itu, maka sebabnya sudah pasti bukan sebab-sebab yang biasa sehingga kamu merasa tersakiti sebegitu dalamnya. Hatimu begitu terluka sebegitu hebatnya, sehingga mungkin kamu merasa sangat kesulitan mengingat apa apa yang telah terjadi sebelumnya dan memaafkan begitu saja, sehingga kata maaf itu tidak bisa kamu berikan secara cuma-cuma.

Perasaan itu kemudian mengubahmu. Mengubahmu menjadi lebih pendiam dan sering menyendiri. Entah bagaimana luka-luka itu bertransformasi mengubah sifat-sifatmu. Kamu pun sampai terkaget kaget dibuatnya. Caramu berinteraksi dengan teman-temanmu berbeda, baik di dunia nyata maupun dunia maya.

Luka-luka itu pula yang mengubahmu menjadi lebih pemarah, sehingga kamu sendiri merasa tak mampu melihat kebaikan sekecil apapun yang pernah dilakukannya, membuatmu begitu marah dan tersakiti dengan kesalahan kecil yang dilakukan oleh orang yang menyakitimu.

Kamu merasa tidak kenal dengan dirimu yang begitu dingin, mudah marah, dan ketus. Tapi memang begitu, di hari itu kamu merasa begitu lelah untuk menanggapi, berinteraksi, berkomunikasi, beramah tamah dengan yang lain, karena mungkin hal ini begitu menghabiskan energimu.

Kamu merasa tidak kenal dengan dirimu yang tiba-tiba begitu menyederhanakan kata-kata, tapi di hari itu entah bagaimana kamu merasa tak ada yang perlu diceritakan, sebab dengan tersenyum saja rasanya seperti melelahkan luar biasa.

Energi saat sulit memaafkan orang yang menyakitimu itu ternyata besar, sangat besar! Jika boleh, kamu mungkin ingin berteriak di depan mukanya, menyampaikan marah, sedih, kecewa, bahkan mungkin membentaknya dan menyuruhnya pergi sejauh yang dia bisa sehingga kamu tak dapat lagi menemukannya. Namun, secercah kebaikan dan ketulusan dalam hatimu menahannya. Sebab kamu dan hatimu memahami, jika benar kamu melakukannya, yang berperan adalah hawa nafsumu, bukan hatimu yang tulus dan seluas langit dan lautan itu.

Di akhir tahun ini, sudahkah kamu memikirkan dan berbicara pada dirimu sendiri mengapa kamu menjadi demikian?

Kamukah itu, yang memendam amarah di dalam hati sehingga kamu tersakiti sendiri? kamukah itu, yang menggenggam benci hingga tak ada ruang untuk menerima kebaikannya kembali? Sungguh kamukah itu, yang harga mahalnya begitu tinggi sehingga tak mampu terbeli? Benarkah kamukah itu, yang menjadikan kesal dan amarah sebagai bahasa ibumu sehari-hari?

Bukan sayang! Itu bukan kamu, bukan dirimu, bukan hatimu. Kamu adalah orang yang mudah memaafkan. Kamu adalah orang yang hatinya seluas langit dan lautan. Dan kamu adalah orang yang kata-katanya begitu meneduhkan. Maka, meski ia menyakitimu, menghancurkan benteng pertahanan dan kekuatanmu, menyisakan luka berdarah-darah di hatimu, didiklah hatimu untuk bisa memaafkannya. Kamu paham sekali bukan, pemenang bukanlah orang yang menunggu orang lain meminta maaf dan menjadikan maafmu begitu mahal harganya sehingga tak mampu terbeli. Tapi, pemenang ialah dia yang memaafkan dengan tulus tanpa banyak pertimbangan. Kamulah itu orangnya, sayang.

Bagaimanapun, orang-orang yang menyakitimu pasti tidak memiliki niat menyakitimu sejak awal, sebab mungkin saja ia tidak sengaja melakukannya, tidak bermaksud melukai hatimu, tidak bermaksud mengacak-acak ruang di hatimu. Sebab kita semua tahu bahwa semua adalah takdir dan ketetapanNya. Allaah sungguh ingin kita belajar. Allaah sungguh ingin membuat kita tumbuh, kuat dan berdaya.

Jadi, sudah cukup kamu mengikuti egomu. Sekarang, sudah selesai dan maafkan ya! :') Sebagaimana manusia yang tak luput dari khilaf dan dosa, kita sama-sama memiliki potensi saling mengecewakan juga melakukan kesalahan. Namun mereka yang menyakitimu juga berhak untuk dimaafkankan.


Sebab ketika kamu telah dengan tulus memaafkan, maka kamu telah memenangkan 2 hadiah besar darimu dan untukmu. Hadiah untuk mengalahkan ego dan hawa nafsumu. 

Selamat sayang, kamu sudah memenangkan! Dan, semoga (selamanya) harga maafmu sekarang tak pernah lagi semahal kemarin :')
Rabu, 06 Desember 2017 0 komentar

Perempuan-Perempuan Yang Bersyukur

Aku dan adikku dibesarkan dalam  didikan keluarga yang memiliki pemahaman yang baik tentang harta. Hal ini dikarenakan keluarga kami pernah sama-sama ada dalam keadaan sulit, juga pernah ada dalam keadaan yang sangat berkecukupan. Meski seringkali lalai, tapi aku terbiasa tidak berlebihan dalam menggunakan uang meskipun sebenarnya ibu atau ayahku dulu memiliki uang banyak. Begitupun ketika sedang susah, baik aku (ataupun) adikku, sudah terbiasa tidak banyak mengeluh, juga tidak terbiasa meminta kepada orang lain meskipun kami sedang membutuhkannya.

Sejak kecil ibu mendidikku untuk tetap berdiri tegak meskipun kami sedang kekurangan. Sejak kecil ibu mendidikku bahwa rezeki tidak selalu berupa uang. Dan sejak kecil ibuku mengajarkan bahwa kami haruslah tetap menjaga kehormatan. Bukan bermaksud untuk riya ataupun sombong, tapi Ibu mengajarkanku disiplin menunaikan solat dhuha sejak SMP. Dan sampai sekarang, jika tak melaksanakan solat dhuha entah karena apapun alasannya, aku selalu memiliki rasa kehilangan akan itu. Selama ini solat dhuha identik dengan solat untuk memperlancar rezeki, namun saat ini aku memiliki pemahaman yang lebih baik yang diturunkan oleh ibuku, bahwa setiap rezeki yang didatangkan oleh Allah tidak melulu soal harta atau uang. Aku mengerti betul bahwa kesehatan, keluarga yang utuh, sahabat yang baik dan pengertian, kesempatan menuntut ilmu, kesempatan untuk berbagi ilmu, kesempatan untuk khusyuk beribadah, rasa sabar dan ikhlas yang besar adalah rezeki-rezeki lain yang Allah berikan untukku.

Ibu berkata kepadaku bahwa harta adalah salah satu hal yang membuat kita bahagia, namun ibu pula yang mengajarkanku bahwa harta bukanlah satu-satunya. Karena masih banyak hal yang bisa membuat kita lebih bahagia. Ibu juga mengajarkanku bahwa harta tidaklah dibawa mati, maka ibuku hanya ingin mewariskan ilmu dan agama untuk anak-anaknya. Tidak baik menggenggam harta terlalu erat. Kita tahu, bahwa tak ada sepeserpun harta yang dibawa mati. Menggenggam harta begitu erat dapat mencederai pemahaman yang baik tentangnya.

Banyak orang mati-matian bekerja untuk mendapatkan harta yang banyak, meski jalannya curang sekalipun. Hartalah yang mampu mengubah orang baik menjadi sebaliknya. Menjadi orang yang boros, kikir, tamak, dan lain lain. Di tangan harta lah, manusia bisa menjadi 2 sisi uang yang berlawanan, menjadi kikir atau menjadi derma.

Bagiku, membahas masalah harta begitu sensitif. Terlebih bagi wanita yang identik dengan perumpamaan realistis” atau lebih dikenal dengan kata matre. Meski kita akui, bahwa sifat realistis ini membantu laki-laki untuk termotivasi menjadi laki-laki yang mapan, sukses dan bekerja keras, namun menjaga sifat realistis yang tetap pada koridornya juga memerlukan usaha yang besar.

Ibu selalu berkata kepadaku untuk berhati-hati ketika memilih calon suami nanti, terutama untuk urusan harta. Darimana di dapatnya, apa yang dikerjakan, dan lain-lain. Hal ini semata-mata untuk menjagaku agar tak sedikitpun merugikan orang lain. Maka dari itu, ibuku melarang keras diriku mempunyai suami dengan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Ibu juga selalu mencontohkan para pejabat yang korupsi bukanlah semata-mata karena keinginannya, namun bisa jadi karena dorongan isteri yang memiliki gaya hidup tinggi, menuntut ini itu. Perempuan harus pandai-pandai mengelola syukur dalam hatinya, sebab di tangan perempuanlah harta laki-laki akan ditentukan kemana akan keluar, kemana akan dibelanjakan, kemana akan diberikan dan lain-lain.

Mari menjadi perempuan-perempuan bahagia yang senantiasa bersyukur dengan rezeki-rezeki yang diberikan olehNya, sekecil apapun itu. Semoga Allaah mampukan aku dan kamu :)

وَرَأَيْتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ. قَالُوا: لِمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِكُفْرِهِنَّ. قِيْلَ: يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah sama sekali melihat pemandangan seperti hari ini. Dan aku lihat ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita.” Mereka bertanya, “Kenapa para wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Disebabkan kekufuran mereka.” Ada yang bertanya kepada beliau, “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang istri kalian pada suatu waktu, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata, ‘Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu’.” (HR. Bukhari Muslim)


Minggu, 03 Desember 2017 0 komentar

Jika Memang Tak Baik Untukmu

Entah mengapa, aku selalu suka memandangi pemandangan gunung yang terhampar di depan mukaku sehabis mengajar di CCR atau selepas senja di sepanjang jalanan kampusku ketika aku sedang berjalan-jalan. Indah, megah, dan berwibawa. Namun, di balik keindahan dan kemegahannya dan jika kita sadari lebih lanjut, perlu perjuangan untuk mencapai gunung tersebut. Mungkin saja ada jalanan licin yang dapat mencelakakan langkah kita, lereng yang curam dan terjal, atau patahan dahan tak beraturan yang mengganggu perjalanan. Begitulah. Selalu ada hal-hal yang perlu kita lihat lebih dekat agar kita mengerti dengan pemahaman yang lebih baik, bukan hanya praduga yang muncul dan menguasai pikiran kita.

Pada dasarnya, dalam pandangan mengenai pilihan-pilihan hidup. Kita selalu menganggap baik, ideal, pantas, indah, dan segalanya tentang apa yang menjadi preferensi kita. Tapi sebenarnya, pandangan itu bisa saja menjadi bias dan keliru karena pada kenyatannya tidak selalu demikian. Hal inilah yang menyebabkan ujian-ujian Allaah datang kepada kita. Karena Allaah selalu ingin yang terbaik. Maka Ia mengubah apa-apa yang mungkin saja menurut kita baik menjadi versi terbaik menurut-Nya, meskipun hal itu sulit untuk kita terima. Bagaimanapun caranya, mudah saja bagi Allaah untuk membuat kita terlepas darinya. Entah dengan membelokkan arah kita, melepaskan perasaan kita yang tertaut padanya, menunjukan fakta-fakta tentangnya, atau dengan cara lain yang mungkin saja tidak dipahami oleh logika kita sebagai manusia.

Bagaimanapun, Allaah tidak ingin kita terlena dengan memandang gunung yang di benak kita hanya tergambar keindahannya saja. Dia ingin kita melihat segala sesuatu yang ada di baliknya. Maka diperjalankanlah kita menuju preferensi yang awalnya subjektif menjadi fakta yang objektif. Meski kadang perjalanan menemukan kebenaran itu begitu pahit dan menyakitkan untuk kita. Meski kadang hasil yang didapat tak sesuai dengan pikiran dan hati kita.

Lalu, pernahkah kamu menjalani takdir dimana kamu dibuat dekat sekali dengan preferensi yang baik itu kemudian perlahan-lahan Allaah tunjukan satu persatu fakta dan kejadian yang membuatmu sadar bahwa pandanganmu itu keliru?

Jika itu pernah terjadi kepadamu, hal yang pasti kamu lakukan sebagai manusia untuk pertama kalinya adalah menepis fakta, sebab kita masih berfikir apa yang baik menurut kita berselisihan dengan apa yang sebenarnya terjadi. “Ah masa sih begitu? Mungkin saja dia lagi lelah! Nggak mungkin dia ngelakuin itu!” dan lain-lain. Begitulah gemuruh dan rusuhnya hati kita, padahal nyatanya Allaah sedang memperlihatkan kebenaranNya dan selalu saja kita tolak kebenaran itu. Tapi sekali lagi, Dia-lah Allaah, Tuhan yang Maha Baik, yang tetap saja menunjukan jalan kebenaran itu sampai akhirnya kita paham akan satu-persatu jalan kebenaran yang ditunjukan oleh-Nya dan sadar bahwa kita telah keliru dalam mempersepsikan sesuatu.

Sekali lagi, keindahan gunung-gunung yang kita pandang dari kejauhan tidaklah sama ketika kita memperpendek jarak pandang dalam melihatnya. Maha Baik Allaah, yang selalu menunjukan kebenaran dengan segala caraNya hingga pada akhirnya kita bersedia mengikuti apa-apa yang telah ditetapkan olehNya saja. Maka atas segala preferensi-preferensi apapun yang ada di hati kita, semoga di dalamnya selalu ada ruang untuk menerima apa-apa yang menjadi kehendakNya dengan penuh kelapangan dada. Sebab pada akhirnya, ketenangan hati akibat penerimaan yang luaslah yang membuat hidup kita lebih tenang dan berjalan ringan.

Ketika kehendak Allaah tidak sama dengan apa yang menjadi kehendak kita, tetap bersabar dan berbaik sangka ya! :’) tenanglah dengan iman yang ada dalam genggaman. Juga kesabaran yang mampu mengalahkan luasnya langit dan dalamnya samudera. Urusan yang tidak menjadi takdir kita di depannya, semoga Allaah putuskan segala keterputusannya. Karena kita berhak untuk hidup tenang, ringan, lapang dan bahagia :)

Allah, aku membuka Desember dengan luka dan air mata, namun terdapat syukur dan kelegaan yang luar biasa atas segala perlindungan dan kebenaranMu di ujung cerita, sebab begitu cepat Engkau tunjukan kepadaku bahwa pandangan-pandangan itu telah keliru terhadap sesuatu. Hari ini, esok dan seterusnya.. semoga aku tak lagi membuang waktu untuk tetap bertahan atas segala preferensiku jika memang tak ada kebaikan untukku di dalamnya. Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku sampaikan permohonan maaf, sebab seringkali aku terlambat mengerti pada apa yang telah menjadi takdirku atas kehendakMu.


Bogor, 3 Desember 2017
 
;