Kamis, 31 Agustus 2017

Batas

Saya mengerti dan paham sekali bahwa setiap pilihan pasti menghadirkan suatu resiko dan konsekuensi bagi yang menjalankannya. Begitupun ketika saya memilih untuk berkuliah di IPB. Alih-alih dikenal sebagai kampus rakyat, sebenarnya IPB justru menjadi salah satu kampus yang besaran UKT-nya paling besar di Indonesia. Mungkin karena bertitel “institut” yang memang kejuruan ilmunya lebih spesifik, memerlukan kegiatan praktikum dengan porsi yang lebih besar, dan tentu memerlukan biaya yang lebih banyak. Sebenarnya saya kurang tahu persis, karena sampai saat ini saya kurang paham perhitungan seseorang bisa dikenai UKT sebegitu besarnya.

Seperti teman-teman saya yang dikenai UKT kelas tiga sampai kelas lima yang setiap periode pembayaran UKT tidak pernah bisa tenang, nangis curhat kesana kesini mengingat belum ada uang untuk bayar UKT, menunggu pengumuman beasiswa untuk meringankan pembayaran, sampai pengajuan penurunan UKT setiap semesternya. Dan saya pun pernah punya pengalaman terburuk tentang UKT dimana saya terancam cuti kuliah. Namun alhamdulilllah, pertolongan Allaah benar-benar datang tepat satu hari sebelum batas periode pembayaran UKT ditutup.

Sebagai mahasiswi yang biaya kuliah dan uang sakunya benar-benar tidak didanai dari dana beasiswa, bagi saya periode pembayaran UKT menjadi momen yang menyedihkan namun mengharu biru. Pengalaman terburuk itu datang semester empat kemarin, dimana saya yang mendapatkan UKT Rp 6.000.000 sampai hari ketiga periode pembayaran hanya mempunyai uang Rp 3.000.000 saja.

Saya menangis tersedu-sedu malam itu. Saya sudah mulai mengajukan penurunan UKT dengan mengirimkan transkrip nilai juga berkas berkas lainnya dari semester 2. Dan baru kemarin saya tanya ke advokasi fakultas bahwa pengumuman diterima atau ditolaknya pengajuan itu belum ada jawaban. Saya juga sudah menanyakan kepada Kakak Puji, kakak dari teman sekamar saya yang sekarang sedang program doctoral di Amerika yang dulu membantu saya mengirimkan berkas berkas tersebut karena beliau bekerja di rektorat sebelum ke Amerika, namun belum ada jawaban. Sedih sekali rasanya. Untuk perempuan dengan banyak mimpi seperti saya, hal ini lebih menyedihkan dibanding patah hati. Dan Ibu saya tahu betul dengan pribadi saya yang seperti itu.

Paginya, saya berdiskusi dengan Ibu. Dan keadaannya tetap sama. Uang yang sudah dikumpulkan untuk pembayaran UKT memang terpakai oleh adik saya karena sakit, dan saya tidak mungkin menghalang-halanginya untuk tidak dipakai. Sampai akhirnya saya tahu, jika memang semua usaha sudah ditempuh namun belum berhasil, jalan satu-satunya yaitu cuti kuliah.

Entah sudah berapa kali saya menangis ketika itu. Tidak ingat bahwa pertolongan Allaah begitu dekat dan tidak mungkin memberikan ujian di luar batas kemampuan hamba-hambaNya. Sampai akhirnya, saya betul-betul meminta petunjuk dan diberilah saya jawaban bahwa ada satu pintu usaha yang belum saya ketuk. Dan tekad untuk terus berjuang demi sekolah saya yang menghadirkan rasa keberanian itu.

Saya kontak teman saya yang merupakan anggota tim kebijakan kampus. Saya bercerita sejujur-jujurnya tentang masalah-masalah yang sedang saya hadapi. Dari Cibinong, saya berangkat sendiri ke Dramaga untuk mengurus semua masalah administrasi itu. Sampai akhirnya, saya harus menghadap menteri kesejahteraan mahasiswa BEM KM IPB saat itu. Dan batas pembayaran UKT bersisa dua hari lagi.

Disaat saya ingin menyerah, Allaah tunjukan pertolongan itu. Dan Kak Seto selaku menteri kesmah BEM  KM IPB sangat membantu saya. Saya sampai diantarkan ke biro keuangan di rektorat sana dengan tim-timnya. Mereka tentu sudah sangat familiar dan terbiasa dengan sikap dan perlakuan dari pegawai biro keuangan. Kalau saya sendirian, pasti saya sudah mengkerut di pojokan. Dan alhamdulillah, saya mendapatkan solusi dari masalah saya. Pencicilan UKT.

Saya membayar UKT tepat di hari terakhir batas pembayaran tersebut. Sebelum tiba-tiba, sekitar pukul 16.00 saya mendapat Whatsapp dari TU departemen bahwa ada surat yang ditujukan kepada saya dari rektorat. Deg! Surat apa itu? Saya deg-deg an sekali, apakah pihak dari biro keuangan menolak pencicilan UKT saya sebesar 50% di awal pembayaran? Pikiran-pikiran itu terus menghantui saya. Maka untuk menghilangkan keresahan dan ketakutan itu, saya meminta Pak Zulfa untuk membuka surat tersebut, memfotonya, dan mengirimkannya kepada saya. Dan..

Entah bagaimana lagi saya menjelaskan. Saya sujud syukur sambil menangis terharu. Sangat terharu. Surat tersebut adalah surat jawaban dari usaha-usaha dan doa-doa saya dari semester dua lalu. Ya, surat penurunan UKT yang di ACC oleh wakil rektor bidang akademik. Yang membuat saya surprise, saya mungkin mendapatkan UKT di kisaran Rp 4.000.000, namun Allah tahu yang terbaik, bahwa saya langsung diberi UKT di kelas dua sebesar Rp 2.400.000. MashaAllah…( ya, memang.. di IPB penentuan kelas dua dan kelas tiga sangat jauh sekali. Maka banyak dari mahasiswa yang tidak masuk di kelas dua namun juga tidak sanggup membayar UKT di kelas tiga.)

Alhamdulillah, alhamdulillah.. saya sangat bersyukur. Dan kejutan-kejutan lainnya ada di hari berikutnya, dimana terdapat dua pengumuman beasiswa yang saya memanggil saya. Alhamdulillah, satu beasiswa lolos dan satu lagi mendapatkan panggilan wawancara. Saya betul-betul speechless. Seketika itu, di pelupuk mata saya, saya melihat bayangan diri saya menangis-nangis sewaktu SMA ketika bersikeras masuk IPB, melihat bayangan diri saya yang mengangkat tas berat ke asrama dan langsung ditinggal, melihat bayangan diri saya yang sibuk mendaftar puluhan beasiswa kemudian ditolak, melihat bayangan diri saya yang secara halus diusir dari rektorat sewaktu mengajukan penurunan UKT, melihat bayangan saya yang melintasi jalan-jalan di galadiator sendiri sehabis pulang dari rektorat, melihat bayangan diri saya yang berkali-kali kecewa melihat web resmi beasiswa dan nama saya tidak pernah ada disana, melihat bayangan diri saya yang meski berat namun tetap tersenyum sambil berkata “alhamdulillah ‘alaa kulli hal, Allah mungkin masih menganggap mampu. Mungkin belum rezekinya.”

Saya sungguh-sungguh belajar dari setiap kejadian itu. Bahwa Tuhan kita jauh lebih besar dari masalah kita. Bahwa Allaah begitu dekat dengan hambaNya yang sabar, ikhlas, dan tawakal kepadaNya. Dia melihat usaha hamba-hambaNya yang mau berusaha dan mendengar doa hamba-hambaNya yang mau berdoa. Bahwa tidak ada suatu doa yang melangit tanpa jawaban dariNya.

Bahwa mulai hari itu saya begitu percaya, ayat yang selalu saya baca di waktu pagi dan petang pada al-matsurat, ayat yang saya baca menjelang tidur, dibacakan di setiap solat, benarlah adanya. Ayat Al-Qur’an pada akhir surat Al-Baqarah itu. Laa yukallifullahu nafsan illa wus’ahaa. Dia tidak pernah memberikan ujian di luar batas kemampuan hambaNya. Dan Allah, begitu sempurna mengetahui batas kemampuan pada diri saya. Dan, kita semua. Yang sedang berjuang semangat, yang sedang diberi ujian juga semangat. Untuk apapun itu :)

The more you have the faith within you, the most God ways have for you too. Because, He wouldn’t charge the soul within its capacity :)

0 komentar:

Posting Komentar

 
;