Senin, 27 Juli 2015

Zenius Membuka Jalanku Menuju Roma

“Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit… Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.”

Aku tinggal di sebuah desa bernama Mangunjaya. Desa paling utara sebuah Kabupaten termuda di Indonesia. Kabupaten yang langsung tersohor karena keindahan pantai-pantainya, juga Kabupaten yang tersohor berkat salah satu putri terbaiknya, berhasil menduduki posisi sebagai Menteri Perikanan di Kabinet Kerja milik Pak Presiden Joko Widodo meski hanya lulusan SMP. Ya, Ibu Menteri Perikanan Susi Pudjiastuti yang berasal dari Kabupaten bernama Pangandaran.

Sebagai anak daerah, yang bahkan nama desanya tak diketahui oleh kebanyakan orang, aku tidak pernah takut untuk bermimpi. Mimpi-mimpiku kugantungkan setinggi langit. Begitulah yang diajarkan oleh Bapak Presiden Soekarno, Bapak Presiden yang pertama memimpin Indonesia. Karena aku tahu, meski nanti aku jatuh, aku akan jatuh diantara bintang-bintang.

Perjalanan hidupku yang dari awal tidak mudah, semakin memantapkan langkahku untuk menyibak jalan terjal kehidupan melalui pendidikan. Meskipun aku lahir sebagai perempuan, bukankah aku juga wajib cerdas? Mengapa? Karena aku berpikiran, anak-anakku kelak berhak lahir, tumbuh, dan berkembang dari rahim seorang perempuan cerdas.

Pernah lahir dan besar di kota yang bersinggungan dengan Ibukota Jakarta, membuatku banyak sekali pengalaman hidup. Suka, duka, sedih, bahagia, aku tlah melewatkannya. Dan memulai hidup baru di Pangandaran, jujur kukatakan…. bukanlah suatu jalan yang (awalnya) mudah bagiku.

Ketika SD dan SMP, aku selalu menjadi juara kelas. Bahkan, juara umum parallel. Hal itu membuatku mendapatkan full one year scholarship dari salah satu SMA Negeri terbaik di kotaku. Namun, karena kedua orangtuaku hampir bercerai, aku terpaksa pindah ke Kabupaten paling selatan di provinsi Jawa Barat itu. Sedih tentu saja. Aku bukan hanya mengalami culture shocked. Aku juga dirundung feeling shocked.

Masalah itu, bukan hanya sekedar tentang teman-teman yang berbeda dengan teman-temanku di kota, lebih dari itu… Kampungku di Pangandaran merupakan desa yang masih menganggap pendidikan itu nomor dua.

Awalnya, aku memang stress berat. Pindah ke tempat dimana aku bahkan tidak menemukan mall atau bioskop sama sekali. Infrastruktur dan fasilitas yang begitu minim dan (tentu) saja tak sebaik disana, bahkan warnet pun jauh. Aku harus pergi ke kota kecamatan untuk menemukan warnet. Bayangkan dengan di kota dimana segala tempat penyedia jasa berlimpah ruah.

Belum lagi, sebagai anak baru, aku harus menjalani masa-masa pembully-an dari teman sekelasku. Menurut mereka aku terlalu mencari perhatian guru. Intinya, tahun itu adalah tahun terberat yang kujalani. Dari kota kubawa duka, disana-pun masih mendapatkan duka.

Namun, aku berusaha bangkit dari keterpurukan. Aku mencoba survive dengan kehidupanku yang sekarang. Mencoba menjadi pribadi yang lebih adaptive and grateful. Aku mencoba menikmati semuanya. Aku sudah tidak melakukan compare sana sini, antara desa dan kota. Aku menikmati hidupku sebagai gadis desa yang riang, lincah, dan terbuka. Aku mengambil hikmahnya saja: sekarang paru-paruku lebih sehat karena mendapat oksigen yang berlimpah dan lebih bersih dari kota tempat tinggalku sebelumnya, kebersamaan dengan teman-teman yang ((sebetulnya baik)) patut diacungi jempol ((kalian tahu, orang-orang kota yang begitu sibuk dan individualis))

Sampai akhirnya, aku naik ke kelas 11 SMA, aku sedikit was-was dan selalu memperhatikan perkembangan kakak kelasku yang ingin melanjutkan kuliah. Aku was-was karena setiap tahunnya, bahkan tak ada seorang-pun dari sekolahku yang mampu menembus PTN negeri, sekelas UI, ITB, UGM, IPB, UB, dan lain-lain.

Aku kembali membanding-bandingkan antara sekolahku disini dan di kota sana, pikiran-pikiran itu terus melayang di benakku, “andai saja aku masih sekolah di kota, peluangku masuk PTN pasti lebih besar, disana pun banyak bimbel-bimbel.” Aku terus memikirkan itu. Pikiran-pikiran buruk itu terus saja hinggap, disini tak ada bimbel sama sekali, bayangkan saja, untuk mencapai bimbel, aku harus mencapai ke luar kota dengan jarak tempuh kurang lebih 40 KM. Hal yang tidak mungkin aku lakukan hanya untuk mengejar sebuah “bimbingan belajar”.

Tahun ketiga yang notabenenya adalah tahun terakhirku di sekolah menengah atas, sekaligus tahun yang sangat menentukan, kemana langkah selanjutnya aku akan melangkah, aku merasakan perasaan yang sulit ku-ungkapkan.

Aku jadi lebih sering menutup diri dari lingkungan luar. Satu tahun yang sibuk kuhabiskan untuk berorganisasi, tidak bersisa sama sekali ketika aku memulai semester 6 di SMA. Semester terberat yang aku jalani. Semester tanpa orang tua. Semester dengan tekanan batin luar biasa. Sejak saat itu, aku lebih sering mengurung diriku sendiri. Kesan sebagai gadis yang ceria, lincah, dan ekstrovert perlahan menguap dari diriku. Aku begitu ingin masuk kampus impian itu. Ya, kalau aku bermain-main, aku pasti semakin sulit mendapatkannya.

Aku belajar habis-habisan. Aku mengejar universitas impian. Bagiku mewujudkan impian menjadi yang pertama untuk tembus PTN bukan suatu ketidakmungkinan. Ya, selama 15 tahun berdiri, aku ingin sekali menjadi perintis masuk PTN sekelas UI, IPB, ITB, UGM dan lain-lain untuk yang pertama kalinya dari sekolahku.

Karena mungkin terlalu memforsir tenaga serta pikiran untuk itu, aku lebih sering sakit, aku sering sekali pergi ke dokter bahkan dokter menyarankanku untuk rawat inap untuk beberapa kali. Disaat seperti itu, mental dan kesehatanku benar-benar down. Aku hampir menyerah, aku merasa stress luar biasa menghadapi try out serta ujian ujian yang sudah ada di depan mata.

Benar saja dugaanku. Setelah UN, aku down berat. Aku merasa soal UN benar-benar membabat habis mentalku. Tak bersisa. Aku betul-betul hancur mengetahui kalau aku tak bisa tenang menghadapi UN. Belum lagi mendengar teman-temanku di kota bisa mengerjakan soal dengan baik karena mereka ikut bimbel, banyak berdiskusi dengan teman, atau bahkan les private. Aku betul-betul terpuruk. Aku sedih luar biasa. Aku merasa universitas impianku semakin jauh. Institut Pertanian Bogorku semakin sulit kugapai. Aku menyalahkan semuanya. Aku melupakan kerja kerasku selama satu tahun terakhir. Aku merasa semua itu sia-sia saja. Ya, aku menangisi dukaku. Aku merasa diriku seperti butiran debu yang siap dibawa oleh angin kemana saja. Pasrah. Aku menangisi dukaku. Lalu, aku memutuskan untuk segera pulang ke rumah kedua orangtuaku di Bogor. Tujuannya jelas: membawa pergi luka-luka sehabis UN dan (segera) menyembuhkannya.

Hari-hari berjalan begitu cepat. Tak terasa beberapa hari lagi pengumuman SNMPTN. Aku masih belum bisa bangkit dari kesedihanku pasca UN kemarin. Perasaan takut dan pesimis tidak dapat nilai bagus. Jika ingat itu, aku selalu ingin menangis. Lalu, aku kembali membandingkan nilai-nilai UN ku sewaktu SD dan SMP, menembus angka rata-rata 9, murni dan sama sekali tanpa kunci jawaban. Aku sangat takut, nilai UN SMA ku jauh dari ekspektasi yang diharapkan. Bayang-bayang UN betul-betul menghantuiku sampai sampai aku melupakan bahwa sesungguhnya aku pun harus belajar untuk persiapan SBMPTN. Kenapa? Karena sekolahku belum mempunyai link kemanapun untuk unversitas sekelas IPB, UI, ITB , UGM, UB dan lain-lain, jadi mengandalkan SNMPTN saja adalah kenekatanku yang betul-betul aku sesalkan sampai sekarang.

Aku melupakan itu. Sampai akhirnya pengumuman SNMPTN dibuka, dan aku TIDAK LOLOS SNMPTN di universitas impianku, Institut Pertanian Bogor. Aku betul-betul hancur saat itu. Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana perasaanku saat itu. Aku merasakan lukaku seperti disiram air garam. Pedih. Pedih sekali. Belum lagi sembuh lukaku, kini harus merasakan pahitnya “DITOLAK” universitas impian. Padahal sebelumnya, ketika masuk SMP aku tak harus bersusah payah, dengan nilai yang kupunya, aku bisa masuk SMP Negeri manapun di kotaku, begitupun ketika masuk SMA, aku bahkan sudah dapat sekolah satu minggu sebelum pelaksanaan Ujian Nasional SMP. Kali ini? Aku betul-betul ditolak. Ya. DITOLAK.

Rasanya nilai-nilai yang kusiapkan selama SMA tak ada artinya. Nilai rapotku yang rata-rata 9 tak ada artinya. Kedukaanku semakin bertambah, ketika teman-temanku semasa SMP dan SMA dulu yang menjadi sainganku memperebutkan juara kelas atau juara umum berhasil masuk jurusan favorit seperti Kedokteran UI atau Akuntansi UI. Pokoknya banyak yang masuk IPB, Unpad, UI, UGM. Dan yang membuatku sedih, aku tak menjadi bagian diantara mereka.

Aku bahkan sempat menyerah. Aku sudah tak ingin ikut SBMPTN, Sebenarnya… beberapa alasan, kenapa aku down berat pasca pengumuman SNMPTN; 1) aku sudah kepalang bingung mau belajar dari mana untuk SBMPTN. 2) aku sudah kepalang sedih ngeliat sahabat-sahabatku pas di Depok masuk UI, IPB, Unpad, dan lain-lain (aku insyaAllah, nggak iri. Tapi ya itu.. sedih dan sakitnya ditolak tuh rasanya disana sini) 3) aku sudah negative thinking duluan, aku nggak akan bisa mewujudkan impianku karena aku sekolah di kampung 4) dan aku belum punya pegangan kuliah sama sekali layaknya teman-temanku yang sudah punya.

Jadi, aku merasa bingung, harus mengambil jalan apa dulu untuk memulai.Disaat itulah, Ibuku yang selalu ada dan mendoakan memberikan support untuk terus maju. Aku dipaksa maju untuk ikut SBMPTN dan Ujian-Ujian mandiri PTN lainnya. Menurut ibuku, ujian-ujian ini adalah ajang pembuktian. Benarkah nilai yang aku dapat di rapot sesuai dengan kompetensiku sebenarnya? Benarkah aku layak masuk PTN dengan tidak hanya mengandalkan nilai rapot? Berkompetenkah aku mengerjakan soal-soal SBMPTN yang lebih dalam materinya dibandingkan soal UN? Kalau memang aku berhasil, aku akan menjadi pejuang sesungguhnya. Jikapun tidak, its better than give up before the war. Aku menimbang-nimbang nasihat Ibu. Dan aku setuju. Dengan sisa-sisa kepercayaan diri yang sebetulnya tak ada sama sekali, aku melangkah dan tetap memilih IPB sebagai pilihan pertama dan keduaku.

Masalah pun datang kembali, hal ini lebih gawat karena aku sama sekali tidak tahu materi untuk SBMPTN itu apa. Hahaha. Ibuku menyarankan untuk ikut bimbel sebulan saja. Aku setuju. Aku akhirnya datang ke salah satu bimbel terkenal, tapi masalahnya adalah biaya bimbel yang memakan biaya sampai 2,5 juta hanya untuk satu bulan intensif les. Aku tidak mungkin mengambil itu, karena aku tahu ibuku takkan sanggup jika biayanya semahal itu. Aku memutar otak dan mencari solusi, kalau aku harus belajar sendiri rasanya tidak mungkin, aku sama sekali tidak tau apa materinya, belajar dari buku (pun) sulit.

Akhirnya aku teringat akun twitterku yang mem-follow akun bimbel online Zenius Multimedia Learning, sebenarnya aku tidak terlalu interest, aku memang agak meragukan untuk sesuatu yang berbau “online” seperti itu. Takut mengecewakan. Takut tak sesuai ekspektasiku. Padahal setiap pengumuman SBMPTN tahun lalu dan juga SNMPTN tahun ini, zenius selalu meloloskan siswa siswanya ke PTN ternama sekelas UI, IPB, ITB, UGM, UB, Unpad, dan lain-lain. Ya, seharusnya memang sudah meyakinkanku. Tapi saat itu, aku bisa dikatakan belum tercerahkan. He he he…

Sampai akhirnya aku butuh sekali bimbingan untuk menghadapi SBMPTN yang kurang lebih tinggal 20 hari lagi, kuputuskan untuk membuka salah satu video zenius di Youtube dan aku luar biasa terkejut! Tutornya badai dan berkompeten sekali, waktu itu aku melihat video tentang logaritma dan salah satu tutornya (Bang Sabda) menjelaskan dengan tepat, cepat dan terkonsep. Soal logaritma yang tadinya kusut, membingungkan, dan tak berhasrat kulirik sama sekali, begitu mudah dan sederhana di tangannya. Tanpa ba bi bu, aku langsung mencari distributor terdekat dan membeli voucher premium member zenius untuk 3 bulan ke depan. Aku merasa sedikit cahaya dan rasa percaya itu datang. Ya, untuk menghadapi SBMPTN dan test-test mandiri lainnya yang akan kujalani. Aku memenuhi hatiku dengan keyakinan. YOU CAN DO IT, NAB!

Aku mulai belajar untuk SBMPTN, aku belajar sampai 10 jam perhari. Aku menikmati saat-saat itu. Kenapa? Karena aku menemukan hal yang baru. Mindsetku benar-benar terubah sempurna. Zenius Platform mengajarkanku untuk menyelesaikan soal bukan berdasar kepada ingatan atau rumus-rumus cepat yang mudah terlupakan. Tapi langsung ke dasar. Ya, zenius memiliki kekuatan magic untuk membuat pola pikirku serta kemampuan menyelesaikan soal-soal dari akar-akarnya untuk waktu jangka panjang! Bahkan ketika aku tidak belajar dalam waktu yang lama :D

Mendekati SBMPTN aku semakin semangat belajar, aku juga banyak membaca blog seperti Persiapan Fisik Sebelum Ujian dan Pedoman Mengerjakan Soal TPA Analitik SBMPTN untuk menambah keyakinanku serta mempersiapkan hal hal non teknis sebelum ujian. Hal ini sangat worth untukku, apalagi masalah waktu. Setidaknya aku memiliki persiapan yang lebih baik dibanding teman-temanku yang justru kehabisan waktu ketika mengerjakan soal. TERIMA KASIH KAK WILONA!. Berkat penjelasan dari Kak Wilo pula, TPA yang biasa ku latih membuatku merasa terbiasa mengerjakan soal serupa karena aku memang sudah tau dasar-dasar dan postulatnya dari awal! Aku senang sekali, bahkan untuk mengerjakan test test mandiri pun aku sudah terbiasa. Ketika mulai merasa lelah dalam belajar dan ketika aku mengeluh dengan ini semua, aku selalu ingat perjuangan kedua orang tuaku, aku ingin membahagiakan mereka. Disaat itu aku selalu membaca kisah perjuangan tutor-tutor hebat zenius seperti Cerita Kisah Tutor Zenius Menempuh SBMPTN, semangatku langsung terdongkrak dan membuatku semangat untuk berjuang lagi.

Setelah test SBMPTN dan ujian-ujian lainnya, aku merasa lega. Aku semakin memenuhi hatiku dengan keyakinan. Apapun hasilnya aku sudah berusaha. Tapi aku merasa yakin sekali bahwa aku bisa. Ya, aku bisa!

Dan tibalah, tanggal 9 Juli 2015! Tanggal dimana segala perjuanganku akan terbayar. Dengan sukses atau dengan gagal. Yang jelas, sebelum tanggal itu datang, aku sudah memenuhi hatiku dengan motto: Aku siap gagal tapi aku juga siap kalah.  Hours min two pengumuman, aku udah nangis-nangis gitu. Hahahaha… aku udah kaya mbah dukun yang nggak berhenti komat-kamit baca doa. Dan tibalah jam 17.00! Aku sempat stress berat karena web utama SBMPTN error. Lalu aku membuka mirror link milik UI dan IPB, hasilnya tetap sama: error. Akhirnya kuputuskan untuk memakai mirror link milik ITB, dengan membaca bismillah, kuambil diam diam kartu peserta SBMPTN-ku, lalu kumasukan no peserta serta tanggal lahirku,


Aku tertegun. Haru!!!! Subhanalllah, wal hamdulillah!!!!! Ada ucapan “SELAMAT”, ada namaku. Ada tulisan Universitas Impian. Institut Pertanian Bogor. Dan, prodi Perikanan. Pilihan pertamaaa!!!

Aku memekik sambil bertakbir, sambil gemetaran aku berlari ke arah Ayah yang masih ada di meja kerja dan sibuk mengotak-atik web SBMPTN, “Allahu akbaaaarrrr!!!!! AYAH, BILA LOLOS IPB!!!!!!” Aku memeluknya dari belakang, ayahku tertegun. Kuperlihatkan hp-ku dan mata ayahku terlihat berkaca-kaca. Aku menangis. Aku meminta izin untuk menelpon Ibuku. Di seberang sana, Ibuku berteriak sambil mengucapkan hamdallah. “Alhamdulillah, Bila lolos SBMPTN IPB”! curiku sayup-sayup. Aku memasang personal message dan display pictureyang menerangkan bahwa aku sudah diterima di IPB. Tujuannya untuk membuat mereka tidak khawatir dan aku yakin, jauh disana mereka juga memekik bahagia layaknya kedua orang tuaku. Bunyi ding-ding-ding dari hp-ku terdengar semakin panjang!

Alhamdulillah!

***

Sampai saat ini, aku begitu mengingat kejadian paling menggembirakan dalam hidupku itu! Rasanya aku masih melayang-layang di udara karena senang luar biasa. Rasanya seperti mimpi. Mimpi menjadi perintis yang awalnya aku pikir itu tidak akan mudah. Ya, memang tidak mudah. Tapi aku mampu membuktikan bahwa banyak sekali jalan menuju Roma.

Banyak sekali jalan untuk menggapai semua mimpi-mimpi kita asal kita mau berusaha. Intinya, menurutku hanya satu. Pantang menyerah! Karena kalau kita sudah menyerah terlebih dahulu, kita akan kalah. Itulah yang membedakan antara pejuang dan pengecut. Pejuang akan selalu berkata “There’s possible though difficult” sedangkan pengecut akan berkata “It’s difficult and impossible”. Aku  memilih untuk menjadi pejuang. Karena aku yakin banyak jalan untuk mencapai kesuksesan.

Seperti cita-citaku, mengembangkan daerah Pangandaran seperti Ibu Susi. Itulah mengapa aku dengan yakin mengambil Perikanan. Aku memang ingin sukses namun aku juga ingin membuat Pangandaran lebih maju dan berkembang. Aku paham betul, aku masuk universitas tidak mudah. Aku harus merelakan waktu, pikiran serta hatiku untuk itu. Maka untuk itu aku tidak ingin menyerah, aku ingin sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu di kampus yang tentu saja akan aku aplikasikan di kehidupan sehari-hari.

Aku yakin, aku pasti bisa! Karena zenius telah mengubah mindset dan pikiranku, bahwa belajar bukanlah untuk orang-orang yang takut. Bukan pula untuk mencari nilai tinggi. Tapi belajar adalah proses jangka panjang yang dilalui seorang pemenang, mereka yang tetap mencoba meski kemungkinan kecil di depan. Mereka yang rela mencoba berkali-kali meski telah gagal sebelumnya. Mereka bangkit, pergi, berjuang, dan akhirnya mereka menang!

Terima kasih zenius, telah membuka pikiranku tentang memaknai arti belajar yang sesungguhnya. Terimakasih telah membantu mewujudkan mimpi.

Dan, setelah 15 tahun sekolahku berdiri, terima kasih, telah membantuku membuka jalan menuju Roma. Menyibak jalan penuh tantangan dengan cara luar biasa!

TERIMA KASIH, Zenius Multimedia Learning!!!!!

(Tulisan ini disertakan dalam Lomba Menulis Blog dengan Tema “Perjuangan Masuk Kampus Bersama Zenius” yang diselenggarakan Zenius Multimedia Learning)




2 komentar:

Unknown mengatakan...

Aku tinggal di sebuah bernama Mangunjaya.
*mohon dikoreksi tulisannya :)
*enak yg ganjel ga dibacanya ? :D

Among mengatakan...

Sedap sekali cerita kamu nab, very inspiring. FYI, saya adalah orangtua seorang anak yang beberapa tahun kedepan akan berjuang masuk PTN. Semoga energi postifmu bisa menyebar ke anak saya.

Posting Komentar

 
;