Sabtu, 23 Desember 2017 0 komentar

Semoga Harga Maafmu Tak Semahal Kemarin


Suatu hari, kamu mungkin menemukan dirimu begitu sulit memaafkan kesalahan orang lain. Sebab yang telah dilakukan olehnya bisa saja; mengkhianati kepercayaan, melanggar janji, menertawakan mimpi, mematahkan semangat, melukai dengan ucapan ataupun perbuatan, atau bahkan memasuki pintu kehidupanmu begitu dalam lalu membuat kekacauan di dalamnya. Apapun alasannya, ketika memaafkan menjadi sesulit itu, maka sebabnya sudah pasti bukan sebab-sebab yang biasa sehingga kamu merasa tersakiti sebegitu dalamnya. Hatimu begitu terluka sebegitu hebatnya, sehingga mungkin kamu merasa sangat kesulitan mengingat apa apa yang telah terjadi sebelumnya dan memaafkan begitu saja, sehingga kata maaf itu tidak bisa kamu berikan secara cuma-cuma.

Perasaan itu kemudian mengubahmu. Mengubahmu menjadi lebih pendiam dan sering menyendiri. Entah bagaimana luka-luka itu bertransformasi mengubah sifat-sifatmu. Kamu pun sampai terkaget kaget dibuatnya. Caramu berinteraksi dengan teman-temanmu berbeda, baik di dunia nyata maupun dunia maya.

Luka-luka itu pula yang mengubahmu menjadi lebih pemarah, sehingga kamu sendiri merasa tak mampu melihat kebaikan sekecil apapun yang pernah dilakukannya, membuatmu begitu marah dan tersakiti dengan kesalahan kecil yang dilakukan oleh orang yang menyakitimu.

Kamu merasa tidak kenal dengan dirimu yang begitu dingin, mudah marah, dan ketus. Tapi memang begitu, di hari itu kamu merasa begitu lelah untuk menanggapi, berinteraksi, berkomunikasi, beramah tamah dengan yang lain, karena mungkin hal ini begitu menghabiskan energimu.

Kamu merasa tidak kenal dengan dirimu yang tiba-tiba begitu menyederhanakan kata-kata, tapi di hari itu entah bagaimana kamu merasa tak ada yang perlu diceritakan, sebab dengan tersenyum saja rasanya seperti melelahkan luar biasa.

Energi saat sulit memaafkan orang yang menyakitimu itu ternyata besar, sangat besar! Jika boleh, kamu mungkin ingin berteriak di depan mukanya, menyampaikan marah, sedih, kecewa, bahkan mungkin membentaknya dan menyuruhnya pergi sejauh yang dia bisa sehingga kamu tak dapat lagi menemukannya. Namun, secercah kebaikan dan ketulusan dalam hatimu menahannya. Sebab kamu dan hatimu memahami, jika benar kamu melakukannya, yang berperan adalah hawa nafsumu, bukan hatimu yang tulus dan seluas langit dan lautan itu.

Di akhir tahun ini, sudahkah kamu memikirkan dan berbicara pada dirimu sendiri mengapa kamu menjadi demikian?

Kamukah itu, yang memendam amarah di dalam hati sehingga kamu tersakiti sendiri? kamukah itu, yang menggenggam benci hingga tak ada ruang untuk menerima kebaikannya kembali? Sungguh kamukah itu, yang harga mahalnya begitu tinggi sehingga tak mampu terbeli? Benarkah kamukah itu, yang menjadikan kesal dan amarah sebagai bahasa ibumu sehari-hari?

Bukan sayang! Itu bukan kamu, bukan dirimu, bukan hatimu. Kamu adalah orang yang mudah memaafkan. Kamu adalah orang yang hatinya seluas langit dan lautan. Dan kamu adalah orang yang kata-katanya begitu meneduhkan. Maka, meski ia menyakitimu, menghancurkan benteng pertahanan dan kekuatanmu, menyisakan luka berdarah-darah di hatimu, didiklah hatimu untuk bisa memaafkannya. Kamu paham sekali bukan, pemenang bukanlah orang yang menunggu orang lain meminta maaf dan menjadikan maafmu begitu mahal harganya sehingga tak mampu terbeli. Tapi, pemenang ialah dia yang memaafkan dengan tulus tanpa banyak pertimbangan. Kamulah itu orangnya, sayang.

Bagaimanapun, orang-orang yang menyakitimu pasti tidak memiliki niat menyakitimu sejak awal, sebab mungkin saja ia tidak sengaja melakukannya, tidak bermaksud melukai hatimu, tidak bermaksud mengacak-acak ruang di hatimu. Sebab kita semua tahu bahwa semua adalah takdir dan ketetapanNya. Allaah sungguh ingin kita belajar. Allaah sungguh ingin membuat kita tumbuh, kuat dan berdaya.

Jadi, sudah cukup kamu mengikuti egomu. Sekarang, sudah selesai dan maafkan ya! :') Sebagaimana manusia yang tak luput dari khilaf dan dosa, kita sama-sama memiliki potensi saling mengecewakan juga melakukan kesalahan. Namun mereka yang menyakitimu juga berhak untuk dimaafkankan.


Sebab ketika kamu telah dengan tulus memaafkan, maka kamu telah memenangkan 2 hadiah besar darimu dan untukmu. Hadiah untuk mengalahkan ego dan hawa nafsumu. 

Selamat sayang, kamu sudah memenangkan! Dan, semoga (selamanya) harga maafmu sekarang tak pernah lagi semahal kemarin :')
Rabu, 06 Desember 2017 0 komentar

Perempuan-Perempuan Yang Bersyukur

Aku dan adikku dibesarkan dalam  didikan keluarga yang memiliki pemahaman yang baik tentang harta. Hal ini dikarenakan keluarga kami pernah sama-sama ada dalam keadaan sulit, juga pernah ada dalam keadaan yang sangat berkecukupan. Meski seringkali lalai, tapi aku terbiasa tidak berlebihan dalam menggunakan uang meskipun sebenarnya ibu atau ayahku dulu memiliki uang banyak. Begitupun ketika sedang susah, baik aku (ataupun) adikku, sudah terbiasa tidak banyak mengeluh, juga tidak terbiasa meminta kepada orang lain meskipun kami sedang membutuhkannya.

Sejak kecil ibu mendidikku untuk tetap berdiri tegak meskipun kami sedang kekurangan. Sejak kecil ibu mendidikku bahwa rezeki tidak selalu berupa uang. Dan sejak kecil ibuku mengajarkan bahwa kami haruslah tetap menjaga kehormatan. Bukan bermaksud untuk riya ataupun sombong, tapi Ibu mengajarkanku disiplin menunaikan solat dhuha sejak SMP. Dan sampai sekarang, jika tak melaksanakan solat dhuha entah karena apapun alasannya, aku selalu memiliki rasa kehilangan akan itu. Selama ini solat dhuha identik dengan solat untuk memperlancar rezeki, namun saat ini aku memiliki pemahaman yang lebih baik yang diturunkan oleh ibuku, bahwa setiap rezeki yang didatangkan oleh Allah tidak melulu soal harta atau uang. Aku mengerti betul bahwa kesehatan, keluarga yang utuh, sahabat yang baik dan pengertian, kesempatan menuntut ilmu, kesempatan untuk berbagi ilmu, kesempatan untuk khusyuk beribadah, rasa sabar dan ikhlas yang besar adalah rezeki-rezeki lain yang Allah berikan untukku.

Ibu berkata kepadaku bahwa harta adalah salah satu hal yang membuat kita bahagia, namun ibu pula yang mengajarkanku bahwa harta bukanlah satu-satunya. Karena masih banyak hal yang bisa membuat kita lebih bahagia. Ibu juga mengajarkanku bahwa harta tidaklah dibawa mati, maka ibuku hanya ingin mewariskan ilmu dan agama untuk anak-anaknya. Tidak baik menggenggam harta terlalu erat. Kita tahu, bahwa tak ada sepeserpun harta yang dibawa mati. Menggenggam harta begitu erat dapat mencederai pemahaman yang baik tentangnya.

Banyak orang mati-matian bekerja untuk mendapatkan harta yang banyak, meski jalannya curang sekalipun. Hartalah yang mampu mengubah orang baik menjadi sebaliknya. Menjadi orang yang boros, kikir, tamak, dan lain lain. Di tangan harta lah, manusia bisa menjadi 2 sisi uang yang berlawanan, menjadi kikir atau menjadi derma.

Bagiku, membahas masalah harta begitu sensitif. Terlebih bagi wanita yang identik dengan perumpamaan realistis” atau lebih dikenal dengan kata matre. Meski kita akui, bahwa sifat realistis ini membantu laki-laki untuk termotivasi menjadi laki-laki yang mapan, sukses dan bekerja keras, namun menjaga sifat realistis yang tetap pada koridornya juga memerlukan usaha yang besar.

Ibu selalu berkata kepadaku untuk berhati-hati ketika memilih calon suami nanti, terutama untuk urusan harta. Darimana di dapatnya, apa yang dikerjakan, dan lain-lain. Hal ini semata-mata untuk menjagaku agar tak sedikitpun merugikan orang lain. Maka dari itu, ibuku melarang keras diriku mempunyai suami dengan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Ibu juga selalu mencontohkan para pejabat yang korupsi bukanlah semata-mata karena keinginannya, namun bisa jadi karena dorongan isteri yang memiliki gaya hidup tinggi, menuntut ini itu. Perempuan harus pandai-pandai mengelola syukur dalam hatinya, sebab di tangan perempuanlah harta laki-laki akan ditentukan kemana akan keluar, kemana akan dibelanjakan, kemana akan diberikan dan lain-lain.

Mari menjadi perempuan-perempuan bahagia yang senantiasa bersyukur dengan rezeki-rezeki yang diberikan olehNya, sekecil apapun itu. Semoga Allaah mampukan aku dan kamu :)

وَرَأَيْتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ. قَالُوا: لِمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِكُفْرِهِنَّ. قِيْلَ: يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah sama sekali melihat pemandangan seperti hari ini. Dan aku lihat ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita.” Mereka bertanya, “Kenapa para wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Disebabkan kekufuran mereka.” Ada yang bertanya kepada beliau, “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang istri kalian pada suatu waktu, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata, ‘Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu’.” (HR. Bukhari Muslim)


Minggu, 03 Desember 2017 0 komentar

Jika Memang Tak Baik Untukmu

Entah mengapa, aku selalu suka memandangi pemandangan gunung yang terhampar di depan mukaku sehabis mengajar di CCR atau selepas senja di sepanjang jalanan kampusku ketika aku sedang berjalan-jalan. Indah, megah, dan berwibawa. Namun, di balik keindahan dan kemegahannya dan jika kita sadari lebih lanjut, perlu perjuangan untuk mencapai gunung tersebut. Mungkin saja ada jalanan licin yang dapat mencelakakan langkah kita, lereng yang curam dan terjal, atau patahan dahan tak beraturan yang mengganggu perjalanan. Begitulah. Selalu ada hal-hal yang perlu kita lihat lebih dekat agar kita mengerti dengan pemahaman yang lebih baik, bukan hanya praduga yang muncul dan menguasai pikiran kita.

Pada dasarnya, dalam pandangan mengenai pilihan-pilihan hidup. Kita selalu menganggap baik, ideal, pantas, indah, dan segalanya tentang apa yang menjadi preferensi kita. Tapi sebenarnya, pandangan itu bisa saja menjadi bias dan keliru karena pada kenyatannya tidak selalu demikian. Hal inilah yang menyebabkan ujian-ujian Allaah datang kepada kita. Karena Allaah selalu ingin yang terbaik. Maka Ia mengubah apa-apa yang mungkin saja menurut kita baik menjadi versi terbaik menurut-Nya, meskipun hal itu sulit untuk kita terima. Bagaimanapun caranya, mudah saja bagi Allaah untuk membuat kita terlepas darinya. Entah dengan membelokkan arah kita, melepaskan perasaan kita yang tertaut padanya, menunjukan fakta-fakta tentangnya, atau dengan cara lain yang mungkin saja tidak dipahami oleh logika kita sebagai manusia.

Bagaimanapun, Allaah tidak ingin kita terlena dengan memandang gunung yang di benak kita hanya tergambar keindahannya saja. Dia ingin kita melihat segala sesuatu yang ada di baliknya. Maka diperjalankanlah kita menuju preferensi yang awalnya subjektif menjadi fakta yang objektif. Meski kadang perjalanan menemukan kebenaran itu begitu pahit dan menyakitkan untuk kita. Meski kadang hasil yang didapat tak sesuai dengan pikiran dan hati kita.

Lalu, pernahkah kamu menjalani takdir dimana kamu dibuat dekat sekali dengan preferensi yang baik itu kemudian perlahan-lahan Allaah tunjukan satu persatu fakta dan kejadian yang membuatmu sadar bahwa pandanganmu itu keliru?

Jika itu pernah terjadi kepadamu, hal yang pasti kamu lakukan sebagai manusia untuk pertama kalinya adalah menepis fakta, sebab kita masih berfikir apa yang baik menurut kita berselisihan dengan apa yang sebenarnya terjadi. “Ah masa sih begitu? Mungkin saja dia lagi lelah! Nggak mungkin dia ngelakuin itu!” dan lain-lain. Begitulah gemuruh dan rusuhnya hati kita, padahal nyatanya Allaah sedang memperlihatkan kebenaranNya dan selalu saja kita tolak kebenaran itu. Tapi sekali lagi, Dia-lah Allaah, Tuhan yang Maha Baik, yang tetap saja menunjukan jalan kebenaran itu sampai akhirnya kita paham akan satu-persatu jalan kebenaran yang ditunjukan oleh-Nya dan sadar bahwa kita telah keliru dalam mempersepsikan sesuatu.

Sekali lagi, keindahan gunung-gunung yang kita pandang dari kejauhan tidaklah sama ketika kita memperpendek jarak pandang dalam melihatnya. Maha Baik Allaah, yang selalu menunjukan kebenaran dengan segala caraNya hingga pada akhirnya kita bersedia mengikuti apa-apa yang telah ditetapkan olehNya saja. Maka atas segala preferensi-preferensi apapun yang ada di hati kita, semoga di dalamnya selalu ada ruang untuk menerima apa-apa yang menjadi kehendakNya dengan penuh kelapangan dada. Sebab pada akhirnya, ketenangan hati akibat penerimaan yang luaslah yang membuat hidup kita lebih tenang dan berjalan ringan.

Ketika kehendak Allaah tidak sama dengan apa yang menjadi kehendak kita, tetap bersabar dan berbaik sangka ya! :’) tenanglah dengan iman yang ada dalam genggaman. Juga kesabaran yang mampu mengalahkan luasnya langit dan dalamnya samudera. Urusan yang tidak menjadi takdir kita di depannya, semoga Allaah putuskan segala keterputusannya. Karena kita berhak untuk hidup tenang, ringan, lapang dan bahagia :)

Allah, aku membuka Desember dengan luka dan air mata, namun terdapat syukur dan kelegaan yang luar biasa atas segala perlindungan dan kebenaranMu di ujung cerita, sebab begitu cepat Engkau tunjukan kepadaku bahwa pandangan-pandangan itu telah keliru terhadap sesuatu. Hari ini, esok dan seterusnya.. semoga aku tak lagi membuang waktu untuk tetap bertahan atas segala preferensiku jika memang tak ada kebaikan untukku di dalamnya. Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku sampaikan permohonan maaf, sebab seringkali aku terlambat mengerti pada apa yang telah menjadi takdirku atas kehendakMu.


Bogor, 3 Desember 2017
Minggu, 10 September 2017 0 komentar

Yang Belum Kita Pahami



Jika aku menjadi Hajar as, yang ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim as dengan bayinya yang masih merah, mungkin aku akan marah semarah-marahnya. Mungkin aku akan langsung tidak menghormati suamiku, menuduhnya jahat dan tak berperikemanusian. Mungkin aku akan menangis tersedu-sedu memeluk kakinya dengan berkata “betapa teganya kamu telah meninggalkan aku dan Ismail di padang pasir yang tandus”. Mungkin juga aku akan menangis sendirian disana tanpa memperdulikan seorangpun termasuk anakku sendiri. Tapi imannya ternyata terlalu kuat untuk melakukan hal itu. Hajar dengan yakin bertanya “apakah itu perintah Allah?”, Nabi Ibrahim yang tak sanggup berkata-kata hanya mengangguk. Seketika itu, Hajar mantap mengangguk. Ia yakin, dia dan bayinya akan selamat karena pertolongan Allaah. Dia dengan gigih berlari-lari dari bukit Safa ke bukit Marwa demi mencari air untuk bayinya yang terus menangis.

Jika aku menjadi Ibrahim as, yang meninggalkan anak dan istrinya di padang tandus hanya berdua dan rela menyembelih Ismail, putranya yang sejak lama didambakannya, mungkin aku langsung menghiraukan mimpi itu, aku langsung tidak bisa memaafkan diriku sendiri, mungkin juga aku langsung jatuh sakit, atau bahkan stress dan gila. Tapi cintanya pada Allaah swt jauh lebih besar melebihi cintanya pada wanita dan anak-anak. Ia yakin, Allaah-lah yang akan mengganti semua itu dengan balasan yang sebaik-baiknya.

Jika aku menjadi Ismail as, yang rela disembelih oleh ayahnya atas perintah Allaah swt, mungkin aku menangis memohon-mohon kepada ayahku untuk tidak melakukan itu, mungkin aku akan langsung kabur dari rumah, mungkin aku akan sangat bersedih dan takut karena ayahku sendirilah yang justru akan menyembelih anaknya sendiri. Tapi ketakwaannya pada Allaah swt mengalahkan rasa takut dan sedihnya. Dia bahkan menawarkan diri untuk disembelih jika itu memang perintah Allaah swt.

Maka keimanan, kecintaan, dan ketakwaan merekalah yang menyemai rasa ikhlas. Mereka lebih tahu, bahwa perintah Tuhan merekalah yang terbaik, yang juga membawa kebaikan dan keberkahan. Maka kita lihat, perjuangan Hajar melahirkan peristiwa sa’i ketika berumroh dan berhaji. Keikhlasan Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as menciptakan peristiwa berkurban yang sarat akan keikhlasan lillahi ta’ala. Maka yang belum kita pahami adalah bahwa perintah Tuhan kita pasti dan akan selalu membawa kebaikan. Ujian-ujian adalah bukti cinta-Nya yang kelak berbuah indah dan penuh berkah.

Ya Allah, maka sangat jauh bahwa keimanan, kecintaan, dan ketakwaan kami bahkan tak ada seujung kukupun dari keimanan, kecintaan dan ketakwaan mereka.  Bahwa sampai saat ini kami belum mampu memahami arti-arti ujian dan kenikmatan yang diberikan oleh-Mu. Namun semoga kami tak akan pernah kehilangan kepercayaan kepada-Mu. Bahwa Engkau dekat. Penuh kasih sayang. Dan takkan pernah Kau membiarkan hamba-Mu menangis.

#writingproject #writingchallenge #ikatkata #nabilxvie
Kamis, 31 Agustus 2017 0 komentar

RTM: Tidak Bisa Apa-Apa


Membaca tulisan dari para bloggers favorite saya di tumblr dengan tagar RTM atau Rumah Tangga Muda jadi berhasrat untuk ikutan juga :D

Iya, saya memang belum menikah. Tapi tidak salah kan kalau saya sudah mulai mempersiapkan dari sekarang. Soalnya di IPB juga ada tuh jurusan Ilmu Keluarga dan Konsumen. Jadi, membangun keluarga yang kuat, sejahtera, dan harmonis memang perlu ilmu dan persiapan. Sekali lagi saya dengar, menikah adalah ibadah terlama yang dijalankan oleh manusia di dunia ini. Katanya juga seni terumit adalah seni berumah tangga. Yang perempuan harus mampu menurunkan ego untuk dipimpin dan dibimbing oleh laki-laki yang awalnya asing. Yang laki-laki harus tahan banting dalam memimpin dan membimbing perempuan yang mungkin punya paradigma lain di pikirannya.

Berbicara tentang rumah tangga muda, pasti kita semua butuh beradaptasi. Sebagai perempuan, tentu saja kita nanti yang akan mengurus rumah kita. Dari tidak bisa apa-apa menjadi bisa segala. Dari yang mengerjakan satu jenis, jadi bermacam jenis. Dari mengerjakan dengan waktu yang banyak, menjadi multitasking di satu waktu. Masak sambil nyuci piring. Masak sambil nyapu. Nyapu sambil teriak-teriak bangunin anak yang masih tidur, dll.

Ngomong-ngomong, saya sama sekali tidak mengenal pekerjaan seperti mencuci, memasak, menyetrika sebelum berumur 16 tahun. Pekerjaan rumah yang saya bisa waktu itu mungkin hanya menyapu dan mengepel lantai. Maklum, dari saya lahir sampai umur 15 tahun di rumah saya ada asisten rumah tangga karena ibu dan ayah saya bekerja. Jadilah, kerjaan saya waktu SMP itu hanya sekolah, belajar, baca buku, dan jalan-jalan sama teman :D

Saya yakin, hal itu sangat berbeda dengan teman-teman saya di Pangandaran, mereka tentu saja mampu mengerjakan ini itu sewaktu SMP bahkan SD. Soalnya ibu saya bercerita seperti itu. Katanya beliau bisa mencuci dari kelas 5 SD. Sudah membantu memasak dari kelas 3 SD. Saya waktu seumuran itu? Uh, masih jauh. Saya selalu mengatakan pada Ibu “Mom, this erra was changed. I am tired for the school, for doing the tasks.” Hahaha.. parah banget ya saya waktu itu. Alasannya sudah beda zaman. Padahal kan pekerjaan rumah tangga itu tak pernah lekang oleh zaman. Tapi tentang sekolah di zaman sekarang memang sangat melelahkan itu benar dan no drama. Karena adek saya yang kelas tiga SMK, memang temperamental banget kalau pulang sekolah. Belum lagi, dia harus begadang sampai jam satu pagi untuk ngerjain tugas. Ya, mirip-mirip saya pas musim ujian di tingkat pertama kemarin lah. Selalu begadang karena sistem kebut semalam :p *sekarang enggak dong, kan manajemen waktu saya sudah lebih baik :p

Tentu semuanya berubah ketika di rumah saya sudah tidak ada lagi ART. Saya jadi menyetrika sendiri. Nggak tanggung-tanggung, nyetrika untuk lima orang. Itu rasanya kesel banget. Kesel karena bingung harus mulai dari mana. Dan juga, kesel karena nggak bisa. Pokoknya menyetrika asal saja, asal panas bajunya. Begitupun ketika di Pangandaran, saya yang tinggal dengan nenek juga tidak mungkin kan menyuruh nenek untuk mencuci dan menyetrika baju saya. Alhamdulillah karena sedikit terbiasa menyetrika sebelum pindah, akhirnya kegiatan menyetrika itu menjadi lebih rapih dan tersusun. Saya jadi tahu, mana yang harus didahulukan. Bagian mana dulu yang harus disetrika. Baju apa saja yang harus digantung. Kalau mencuci? Felt so blessed, karena di rumah nenek sudah ada mesin cuci. Hehe.. Kalau memasak kayaknya nanti dulu. Saya trauma sambal goang saya gosong tak bersisa. Heuu..  saya juga belum bisa membedakan mana kemiri mana ketumbar (calon suami, maafkan aku yang dulu yaa). Saya juga selalu dibilangin seperti ini, “Bila, you are impossible to give your spouse just only with books.” tentu dalam sundanese ya, hehe.. Intinya, saya pernah diomelin gara-gara saya baca buku doang kerjaannya. Dari situ sih saya sadar, bahwa kelak suami saya nggak mungkin saya kasih makan dengan tumis buku pelajaran dan sayur novel remaja saya :’D

Dan tiba saatlah ketika saya pindah ke Bogor. Saya merasa semakin dewasa saja. Dan entah bagaimana saya jadi ingin bisa masak dan bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah. Entahlah, mungkin karena pengaruh tentang jodoh dan nikah yang dulu familiar sekali di telinga ABG macam saya. Siapa tahu ada yang melamar tiba-tiba kan :D *enggaklah, ini bercanda.

Begitu juga di asrama, saya bisa saja pakai bibi cuci setiap bulan. Tapi kok, saya jadi kehilangan esensi mandiri sewaktu di asrama ya kalau saya pakai bicu (bibi cuci). Kan anak rantau. I want to manage all about my self. Entah itu kuliah, keuangan dari ortu, persiapan diri saya sendiri, sampai itu perasaan termehek-mehek entah karena masalah apapun. Saya nggak pernah cerita lagi mengenai UTS saya yang mungkin dapat nilai 5. Beda banget sewaktu UN SMA dimana saya shock dan histeris berat pas ditelpon Ibu.

Dan ketika itulah saya memulai untuk belajar masak. Hihi, saya punya pengalaman yang saya simpan rapat-rapat selama dua tahun namun akan saya ceritakan disini. Pengalaman yang menyakitkan tapi memacu diri saya untuk bisa masak dengan benar. Waktu itu tahun 2015, saya yang sedang libur karena kuliah baru masuk di bulan September mendatang memutuskan untuk masak sayur sop dan mendoan, masakan favorit saya. Nggak tahu kenapa sayur sop nya udah enak (menurut saya) tapi mendoannya hambar, walah saya ingat saya lupa kasih garam. Baru saya kasih ketumbar bubuk, bawang putih, lada, juga kunyit bubuk. Dan itu saya sadari setelah semua masakan matang. Ah, syedih. Tapi berdoa aja semoga masih pada mau makan.

Sepertinya adik pertama saya tahu ada yang salah dengan mendoan itu, lalu pemicunya muncul dan mulailah kata-katanya menyakiti hati lalu membuat mata berair.

“Mending masak bener. Ini mah ga becus. Gak ada rasanya.”

“Emang ga akan gue makan!”

Deg! Saya menangis tertahan-tahan disitu. Saya yang lelah dari pagi dengan mencuci, nyetrika, menjemur, beres-beres rumah, dan niatnya memasak agar ketika Ibu dan adik-adik saya pulang sekolah bisa langsung makan siang namun mendapat kata-kata seperti itu, rasanya sangat sedih dan terpukul. Ibu saya juga dengar. Dan tidak berkata apa-apa. Saya yang sedang bikin kue putu ayu segera berbalik arah. Menangis. Lalu buru-buru mengelap air mata saya kembali. Meski menyakitkan, tapi saya langsung berkaca. Alhamdulillah, kata-kata itu masih terlontar dari keluarga dekat saya. Dan mulai saat itu, saya bertekad bahwa suami saya “tidak akan” mengatakan itu kepada saya. In the means, saya harus bisa masak dengan baik dan benar!

Dari pelajaran diatas saya mendapat banyak sekali hikmah. Tidak bisa memasak, mencuci, menyetrika, beres-beres rumah adalah lumrah adanya. Karena itu semua membutuhkan jam terbang. Saya ingin mengatakan kepada para laki-laki, “Mas, abang, uda kalau calon/pasangannya belum bisa ngerjain pekerjaan rumah tangga. Sabar-sabarin yaa.. kalau nggak bisa masak, coba deh antar ke pasar, kasih kado resep makanan, modus-modus minta dibikinin nasi goring atau apapun. Puji jika ada semangat dari pasangan buat belajar masak. Jujur dan beri saran yang membangun. Ingat, jangan berkata yang menyakitkan. Dia tulang rusukmu bukan tulang kepalamu.” Juga untuk para perempuan yang belum atau akan menikah. Mari kita sama-sama belajar menjadi perempuan yang multitalent. Perempuan yang kuat dan bisa diandalkan. Tidak hanya  pintar saja tapi juga mampu mengurus rumah. Karena dari rumahlah kita akan membangun peradaban manusia. Tidak semua laki-laki bisa lama-lama bersabar. Bisa-bisa kita nggak bisa mudik gara-gara makan di restoran terus karena nggak bisa masak :’) bisa-bisa kita nggak bisa beli make up gara-gara nge-laundry baju berkilo-kilo karena nggak bisa mencuci dan menyetrika *hahaha, enggak deng..

Kita adalah perempuan-perempuan modern zaman milenials yang mengenal kata emansipasi, tapi tetap menjadi ibu dan istri adalah fitrah kita. Kita adalah perempuan-perempuan modern yang dicekoki berbagai teknologi dan istilah relationship goals namun apa artinya bila kita gagal membentengi keluarga kita dari itu semua. Kamu boleh menjadi professor lulusan Inggris atau Jerman, tapi fitrah kita akan tetap menghantarkan kita kembali ke kasur, dapur, dan sumur. So, yuk kita sama-sama persiapkan dan belajar dari sekarang. Kita biasakan dari sekarang. Karena masalahnya, bukan ketika kita tidak bisa apa-apa, tetapi ketika kita tak mau belajar apa-apa. Semoga hal ini bisa menjadi ladang pahala dan lahan belajar untuk kita semua :)

“Whatever you do, do with determination. You have one live to life; do your work with passion and give your best. Whether you want to be a chef, doctor, actor, or even a mother. Be passionate to get the best result.” –Alia Bhatt-

Doakan saya juga ya. Semoga masakan saya lebih beragam dan bergizi. Alhamdulillah, semua macam tumis sudah bisa juga olahan daging, sambal, sedikit masakan bersantan. Rekor masak tersulit mungkin soto ayam kali ya, hahaha.. maklum ada beberapa tahap, siapin ayam, sayuran, bihun dan kuahnya. Mencuci dan menyetrika alhamdulillah :) semoga Allah selalu merendahkan ego saya untuk mau terus belajar memberikan yang terbaik untuk dia yang Allah siapkan untuk saya. Karena tetap bagi saya, masalahnya bukan karena kita tidak bisa apa-apa tetapi karena tidak mau belajar apa-apa.

Selamat Idul Adha 1438 Hijriah. Yuk istirahat, besok bangun pagi untuk belajar bikin opor dan bikin rendang :D

#rumahtanggamuda #tidakbisaapaapa #keeplearningdoing
0 komentar

Batas

Saya mengerti dan paham sekali bahwa setiap pilihan pasti menghadirkan suatu resiko dan konsekuensi bagi yang menjalankannya. Begitupun ketika saya memilih untuk berkuliah di IPB. Alih-alih dikenal sebagai kampus rakyat, sebenarnya IPB justru menjadi salah satu kampus yang besaran UKT-nya paling besar di Indonesia. Mungkin karena bertitel “institut” yang memang kejuruan ilmunya lebih spesifik, memerlukan kegiatan praktikum dengan porsi yang lebih besar, dan tentu memerlukan biaya yang lebih banyak. Sebenarnya saya kurang tahu persis, karena sampai saat ini saya kurang paham perhitungan seseorang bisa dikenai UKT sebegitu besarnya.

Seperti teman-teman saya yang dikenai UKT kelas tiga sampai kelas lima yang setiap periode pembayaran UKT tidak pernah bisa tenang, nangis curhat kesana kesini mengingat belum ada uang untuk bayar UKT, menunggu pengumuman beasiswa untuk meringankan pembayaran, sampai pengajuan penurunan UKT setiap semesternya. Dan saya pun pernah punya pengalaman terburuk tentang UKT dimana saya terancam cuti kuliah. Namun alhamdulilllah, pertolongan Allaah benar-benar datang tepat satu hari sebelum batas periode pembayaran UKT ditutup.

Sebagai mahasiswi yang biaya kuliah dan uang sakunya benar-benar tidak didanai dari dana beasiswa, bagi saya periode pembayaran UKT menjadi momen yang menyedihkan namun mengharu biru. Pengalaman terburuk itu datang semester empat kemarin, dimana saya yang mendapatkan UKT Rp 6.000.000 sampai hari ketiga periode pembayaran hanya mempunyai uang Rp 3.000.000 saja.

Saya menangis tersedu-sedu malam itu. Saya sudah mulai mengajukan penurunan UKT dengan mengirimkan transkrip nilai juga berkas berkas lainnya dari semester 2. Dan baru kemarin saya tanya ke advokasi fakultas bahwa pengumuman diterima atau ditolaknya pengajuan itu belum ada jawaban. Saya juga sudah menanyakan kepada Kakak Puji, kakak dari teman sekamar saya yang sekarang sedang program doctoral di Amerika yang dulu membantu saya mengirimkan berkas berkas tersebut karena beliau bekerja di rektorat sebelum ke Amerika, namun belum ada jawaban. Sedih sekali rasanya. Untuk perempuan dengan banyak mimpi seperti saya, hal ini lebih menyedihkan dibanding patah hati. Dan Ibu saya tahu betul dengan pribadi saya yang seperti itu.

Paginya, saya berdiskusi dengan Ibu. Dan keadaannya tetap sama. Uang yang sudah dikumpulkan untuk pembayaran UKT memang terpakai oleh adik saya karena sakit, dan saya tidak mungkin menghalang-halanginya untuk tidak dipakai. Sampai akhirnya saya tahu, jika memang semua usaha sudah ditempuh namun belum berhasil, jalan satu-satunya yaitu cuti kuliah.

Entah sudah berapa kali saya menangis ketika itu. Tidak ingat bahwa pertolongan Allaah begitu dekat dan tidak mungkin memberikan ujian di luar batas kemampuan hamba-hambaNya. Sampai akhirnya, saya betul-betul meminta petunjuk dan diberilah saya jawaban bahwa ada satu pintu usaha yang belum saya ketuk. Dan tekad untuk terus berjuang demi sekolah saya yang menghadirkan rasa keberanian itu.

Saya kontak teman saya yang merupakan anggota tim kebijakan kampus. Saya bercerita sejujur-jujurnya tentang masalah-masalah yang sedang saya hadapi. Dari Cibinong, saya berangkat sendiri ke Dramaga untuk mengurus semua masalah administrasi itu. Sampai akhirnya, saya harus menghadap menteri kesejahteraan mahasiswa BEM KM IPB saat itu. Dan batas pembayaran UKT bersisa dua hari lagi.

Disaat saya ingin menyerah, Allaah tunjukan pertolongan itu. Dan Kak Seto selaku menteri kesmah BEM  KM IPB sangat membantu saya. Saya sampai diantarkan ke biro keuangan di rektorat sana dengan tim-timnya. Mereka tentu sudah sangat familiar dan terbiasa dengan sikap dan perlakuan dari pegawai biro keuangan. Kalau saya sendirian, pasti saya sudah mengkerut di pojokan. Dan alhamdulillah, saya mendapatkan solusi dari masalah saya. Pencicilan UKT.

Saya membayar UKT tepat di hari terakhir batas pembayaran tersebut. Sebelum tiba-tiba, sekitar pukul 16.00 saya mendapat Whatsapp dari TU departemen bahwa ada surat yang ditujukan kepada saya dari rektorat. Deg! Surat apa itu? Saya deg-deg an sekali, apakah pihak dari biro keuangan menolak pencicilan UKT saya sebesar 50% di awal pembayaran? Pikiran-pikiran itu terus menghantui saya. Maka untuk menghilangkan keresahan dan ketakutan itu, saya meminta Pak Zulfa untuk membuka surat tersebut, memfotonya, dan mengirimkannya kepada saya. Dan..

Entah bagaimana lagi saya menjelaskan. Saya sujud syukur sambil menangis terharu. Sangat terharu. Surat tersebut adalah surat jawaban dari usaha-usaha dan doa-doa saya dari semester dua lalu. Ya, surat penurunan UKT yang di ACC oleh wakil rektor bidang akademik. Yang membuat saya surprise, saya mungkin mendapatkan UKT di kisaran Rp 4.000.000, namun Allah tahu yang terbaik, bahwa saya langsung diberi UKT di kelas dua sebesar Rp 2.400.000. MashaAllah…( ya, memang.. di IPB penentuan kelas dua dan kelas tiga sangat jauh sekali. Maka banyak dari mahasiswa yang tidak masuk di kelas dua namun juga tidak sanggup membayar UKT di kelas tiga.)

Alhamdulillah, alhamdulillah.. saya sangat bersyukur. Dan kejutan-kejutan lainnya ada di hari berikutnya, dimana terdapat dua pengumuman beasiswa yang saya memanggil saya. Alhamdulillah, satu beasiswa lolos dan satu lagi mendapatkan panggilan wawancara. Saya betul-betul speechless. Seketika itu, di pelupuk mata saya, saya melihat bayangan diri saya menangis-nangis sewaktu SMA ketika bersikeras masuk IPB, melihat bayangan diri saya yang mengangkat tas berat ke asrama dan langsung ditinggal, melihat bayangan diri saya yang sibuk mendaftar puluhan beasiswa kemudian ditolak, melihat bayangan diri saya yang secara halus diusir dari rektorat sewaktu mengajukan penurunan UKT, melihat bayangan saya yang melintasi jalan-jalan di galadiator sendiri sehabis pulang dari rektorat, melihat bayangan diri saya yang berkali-kali kecewa melihat web resmi beasiswa dan nama saya tidak pernah ada disana, melihat bayangan diri saya yang meski berat namun tetap tersenyum sambil berkata “alhamdulillah ‘alaa kulli hal, Allah mungkin masih menganggap mampu. Mungkin belum rezekinya.”

Saya sungguh-sungguh belajar dari setiap kejadian itu. Bahwa Tuhan kita jauh lebih besar dari masalah kita. Bahwa Allaah begitu dekat dengan hambaNya yang sabar, ikhlas, dan tawakal kepadaNya. Dia melihat usaha hamba-hambaNya yang mau berusaha dan mendengar doa hamba-hambaNya yang mau berdoa. Bahwa tidak ada suatu doa yang melangit tanpa jawaban dariNya.

Bahwa mulai hari itu saya begitu percaya, ayat yang selalu saya baca di waktu pagi dan petang pada al-matsurat, ayat yang saya baca menjelang tidur, dibacakan di setiap solat, benarlah adanya. Ayat Al-Qur’an pada akhir surat Al-Baqarah itu. Laa yukallifullahu nafsan illa wus’ahaa. Dia tidak pernah memberikan ujian di luar batas kemampuan hambaNya. Dan Allah, begitu sempurna mengetahui batas kemampuan pada diri saya. Dan, kita semua. Yang sedang berjuang semangat, yang sedang diberi ujian juga semangat. Untuk apapun itu :)

The more you have the faith within you, the most God ways have for you too. Because, He wouldn’t charge the soul within its capacity :)

Jumat, 04 Agustus 2017 0 komentar

Bahtera Kapal

Beberapa waktu lalu, saya cemas dan khawatir sekali menunggu nilai mata kuliah kapal perikanan. Saya sama sekali tidak menargetkan nilai mutu A di mata kuliah ini, alasannya sudah tentu karena kapal perikanan merupakan salah satu mata kuliah sulit yang saya hadapi di semester 4.

Sesi UTS, saya melewati perkuliahan dan praktikum mata kuliah ini dengan cukup baik. Materinya lebih kepada perhitungan dan praktikumnya (meski saya tidak begitu pandai memplotkan gambar), saya bersama sahabat baik saya banyak membantu di pengolahan data pembuatan desain kapal, di samping teman saya yang cerdas itu banyak menggambar desain kapal di kertas millimeter blok.

Diawali dengan pengukuran kapal asli dengan ukuran 10 gross ton milik departemen kami di belakang kampus, yang menghabiskan waktu berjam-jam dan membuat saya pulang pukul 23.30. Setelah ini memulai membuat desain kapal. Belum lagi, ketelitian dalam meletakan data asli ketika dibuat dalam desain gambar.

Drama itu dimulai ketika sesi UAS. Saya yang masa-masa itu sedang feeling blue, dipaksa mengikuti perkuliahan materi machine dan electric hanya dengan rentang waktu 4 pertemuan. Buat perempuan seperti saya, materi ini perlu saya perdalam lebih lama dibanding anak laki-laki. Karena tentu saja, saya benar-benar tidak mengerti sama sekali dasarnya. Dilanjut materi praktikum, pembuatan kapal model.

Dosen saya pernah berkata, bahwa pada pembuatan kapal, preparasi dan proses pembuatan kapal sangat menentukan keberhasilan kapal tersebut ketika sedang berlayar. Semuanya perlu dipersiapkan. Desain kapal, material pembuatan kapal, bentuk kasko kapal, serta berbagai kelengkapan lainnya. Tentu kita semua tidak menginginkan kapal itu bocor di tengah jalan, kehilangan keseimbangan, tidak cukup kuat menghadapi gelombang air laut dan badai, dan lain-lain.

Selain memerlukan pemahaman yang lebih dalam, saya menemukan hal menarik ketika mengambil mata kuliah kapal perikanan ini. Hmmm, mata kuliah ini pula yang membuat saya berpikir dan menyadari alangkah betul dan bijaksananya bahwa setiap orang tua mengibaratkan sebuah rumah tangga dengan istilah “Bahtera Kapal”.

Dalam pandangan saya, pengibaratan bahtera kapal sudah tepat sekali. Saya merasa mata kuliah ini mewakili penjelasan mengapa mereka menyebut sebuah perjalanan rumah tangga dengan bahtera kapal. Karena saya merasakan sendiri, betapa dalam mempersiapkan sebuah kapal yang akan berlayar membutuhkan banyak sekali persiapan, yang tentu saja ketika hal ini tidak dilakukan akan sangat membahayakan penumpang kapal yang menaikinya.

Seringkali kita dengar bahwa mengarungi rumah tangga, ibarat kita sedang mengarungi samudera yang luas dan beresiko. Kita tentu tidak ingin rumah tangga kita kelak kehilangan kendali, kehilangan arah, tenggelam atau bahkan karam, tak mampu menghadapi badai kehidupan bukan?

Ketika kita menaiki kapal, kita juga harus memiliki kepercayaan penuh kepada sang nahkoda agar mampu membawa kita ke tempat tujuan. Begitu juga sang nahkoda harus mampu meyakinkan kita sebagai ABK dalam mengarungi samudera yang luas. Tentu sang nahkoda memiliki tanggung jawab yang besar atas penumpangnya. Sang nahkoda tentu tidak mungkin melemparkan ABK nya ketengah lautan ketika menghadapi masalah teknis di tengah lautan. Nahkoda juga tidak mungkin memutar kemudi kembali begitu saja ketika sedang terjadi badai.

Begitupun dengan pernikahan, jelas sekali tidak bijaksana jika kita sedang mengalami masalah, kita justru meninggalkan pasangan kita. Tentu bukan hal yang benar, ketika kita sudah jauh melangkah namun berhenti, menyerah, atau bahkan berbalik arah begitu saja karena suatu masalah.

Baiklah, ketika menuliskan tulisan ini mungkin hanya pada pandangan saya saja. Karena betul seperti kata Mas Kurniawan Gunadi, rasanya kita hanya sebatas tahu tentang suatu hal padahal sama sekali belum tahu sebelum kita mengalaminya sendiri. Mungkin saja, kita hanya melihat fenomena, mendengar cerita orang lain, atau membaca buku-buku pernikahan lalu kita menuliskannya. Membagikannya kepada orang lain. Dan belum merasakannya langsung.

Tapi, bukankah tidak ada yang salah ketika kita melakukan persiapan? Sebelum kapal itu berlayar jauh, sebelum kapal itu terlanjur tenggelam karena kita tidak mengetahui solusi dari masalahnya. Kita semua masih bisa mengusahakannya. Mengusahakannya dengan ilmu, mengusahakannya dengan mencoba percaya dan memberi kesempatan kepada orang lain, mengusahakannya dengan mengurangi ego, mengusahakan dengan mental yang kuat agar tidak menyerah dengan hal-hal kecil. Juga yang terpenting adalah mengusahakannya dengan iman kepada Allah SWT.

Karena kamu sendirilah yang akan menentukan seberapa kuat bahtera kapalmu. Karena kamu sendiri juga yang akan bertanggung jawab menentukan, kemana bahtera kapalmu akan berlayar. Bukan orang lain.

Selamat mempersiapkan bahtera kapalmu. Semoga kamu berlayar bersama orang yang tepat dan kuat dalam mengusahakannya ya :)
 
;