Selasa, 23 Februari 2016 0 komentar

Tidak Ada Waktu Untuk Main-Main

Kalau hidup ini kembali dirunut ke belakang, begitu banyak hal yang ingin diperbaiki. Sebab begitu banyak kesalahan yang sudah dilakukan, begitu banyak dosa yang tentunya sudah dicatat dengan rapi. Ada banyak penyesalan yang sering dialami, ada begitu banyak kebaikan yang terlewatkan.
Setiap hari, seiring waktu. Kebaikan yang berbuah pahala belum tentu bertambah sedangkan dosa-dosa itu hampir dipastikan bertambah setiap hari. Maka, adakah waktu untuk kita bercanda barang sebentar dalam hidup ini 
Pemikiran seperti itulah yang melatarbelakangi rangkaian rencana-rencana kebaikan yang ingin dibangun saat ini. Kebaikan yang bisa hidup meski umur manusia telah habis. Kebaikan yang terus mengalir meski jasad sudah dimakan cacing tanah. Biar habis tenaga, biar lelah pikiran, benar-benar tidak ada waktu untuk bersenang-senang mengingat kematian bisa datang kapan saja tanpa permisi.
Maka, kebaikan itu harus segera diwujudkan!
Tidak peduli bagaimana orang terpukau, tidak peduli bagaimana orang memuji, tidak juga peduli dengan yang mencaci. Sebab, tidak semua orang di dunia ini memahami bahwa setiap orang memiliki dunianya masing-masing. Dunia yang tenggelam menjadi masa lalu, menjadi kenangan, dan dunia yang juga menjadi masa depan.
Karena secara nyata, kita sadari bahwa kita tidak akan pernah bisa kembali ke masa lalu untuk memperbaiki keadaan, maka sudah sebaiknya kita segera turun tangan untuk melakukan kebaikan guna memperbaiki apa yang sudah terjadi. Biar bila nanti Tuhan menimbang kebaikan kita, itu lebih banyak daripada dosa kita. Biar bila nanti kita sudah tiada, tidak ada penyesalan di sana.
Benar-benar tidak ada waktu untuk bermain-main. Karena waktu terus bergerak, sedangkan kita tidak tidak pernah tahu kapan itu berhenti. Semoga Allah memberikan waktu untuk kita semua, anugerah yang paling sering kita lupakan dan syukuri bahwa Allah masih memberikan waktu untuk kita melakukan banyak kebaikan. Akankah kita siakan.
Repost: Kurniwan Gunadi.
Minggu, 21 Februari 2016 0 komentar

Cerpen: Rapi


Duhai…

Sungguh aku tak pernah menemukan seorang pun yang begitu rapi menyimpan perasaannya selain dia. Menyimpan rindu di dalam buku, mencipta berpuluh puisi dalam diary, menyapa cinta di balik goresan pena.

Bagaimana mungkin dia bisa? Satu hari, dua hari, tiga hari, seminggu, sebulan, setahun, bahkan bertahun-tahun dia menyimpan perasaannya. Pembawaannya tetap tenang, teguh, dan berpendirian. Diary itu menjadi saksi untuk setiap kisah cinta dan keluh kisah hidupnya.

Aku pun tidak mengerti. Apakah dia tidak punya rasa cemburu? Atau perasaan marah dan juga sedih?
Entah.

Satu hal yang kutahu pasti. Kini diary itu menjadi saksi bisu betapa dia begitu piawai menyembunyikan setiap gelagak perasaan yang hinggap di hatinya. Memang terkadang dia terlihat berjalan hanya bersama dunianya. Namun ternyata, dia menjadi orang yang paling teliti. Juga menjadi orang yang paling memperhatikan apapun yang ada di sekitarnya.

Dia menjadi orang yang begitu rapi. Begitu rapi menyimpan perasaannya.
Jumat, 05 Februari 2016 0 komentar

00.18

Relationship is a work hard.

I even came across this very thought once: love is a waste of time. (Let’s have you on the same page as I am, I’m not talking about love in friendship or in family, so if you know what I mean, hop on the boat and continue reading). But eventually I realized that it was too harsh of a thought.

Though as time goes by, I slowly start to pick up the scattered concept of “love” and “relationship” and begin to comprehend that though it’s not necessarily a waste of time (it really is a matter of perspective. Life is all about perspective), it is a serious, tough, hard work. No kidding. We put time and energy and effort to love, to relationships; we try to maintain good-everything (you name it), we appreciate and we trust and we watch for other’s heart and feelings, we make sacrifices, hell in same cases we even give up things, when at the same time we have our own lives to live. We have our own goals and dreams to pursue. We have our own wants and needs; we have our own ideals and wills; we have the whole world to explore. Along with that, there’s someone else’s world we try to get ourselves into, with his/her foreign language we try to learn and to understand and to speak with too, his/her whole ocean (and O.C.E.A.N, Pyschology student-ly speaking, if you know what I mean) we let ourselves swim in and sink into. And not just that, no, why would it be a hard work if it’s just that? We deal with their fears—darkest ones, possibly—and insecurities and histories when we too are in a constant struggle to deal and fight with our owns. All that can be too much, apparently, really. I guess it finally has come to me in one clearer picture now. 

And if you, whoever you are, my friend, can relate to all this, I am virtually shaking your hand very firmly now, and I also have my other hand on one of your shoulders, and my eyes are staring at yours in a way only you, and other people like us can understand. I am virtually handing you a glass of sparkling apple cider and I’m raising mine for a toast (and I’m going to quote myself, shamelessly, because why not): here’s to the hearts who have learnt their lessons, both in the best ways or the worst ways; may peace be with us eventually. Here’s to all of us who have been struggling to forgive, to befriend the past, to find our lost selves and to love them again. Here’s to us.

As Buble once said, “…you’re made of strength and mercy.” 

And we are.

Repost: Sri Izzati
 
;