Rabu, 28 September 2016

Tulisan : Menjaga Komitmen

Sampai hari ini, saya sudah memasuki minggu ke-4 perkuliahan di semester 3. Dan hari minggu di minggu ke-3, saya pun jatuh sakit. Tak jauh dari sakit yang biasa menyerang mahasiswa. Terlalu letih, demam, dan gastronitis karena mungkin terlalu sering telat makan.

Berbeda seperti kehidupan saya di TPB atau Tingkat Persiapan Bersama (tahun pertama dimana mahasiswa mahasiswi IPB mempelajari dan mengulang pelajaran SMA) yang  begitu menjenuhkan karena kegiatannya tak lebih dari kuliah dan praktikum. Di semester 3 ini saya mulai menemukan dinamika kehidupan kampus yang berbeda sama sekali dengan masa masa TPB dulu.

Beberapa kali saya begadang mengerjakan artikel, juga mengebut laporan agar bisa selesai malam itu karena saya tipikal orang yang tidak bisa belajar dan mengerjakan tugas setelah berletih-letih kuliah sampai menjelang senja. Kadang saya mengeluh lelah, kesal, tugas seakan tidak pernah berhenti juga praktikum yang sudah seperti jadwal harian yang tak terpisahkan.

Belum lagi dosen-dosen yang mengajar saya sekarang banyak sekali lulusan Jepang bergelar Doktor dan Professor, bagaimana disiplinnya, bagaimana mahalnya waktu mereka. Pernah suatu waktu, ketika saya terlambat datang ke kampus dan waktu yang tersisa tinggal 5 menit, saya lari sekencang-kencangnya memburu lantai 5 dengan gedung kuliah berbentuk heksagonal yang membingungkan. Sekali lagi harus saya katakan, dosen praktikum saya pernah menuntut ilmu di Jepang dan tak ada kata "toleransi" untuk sebuah keterlambatan. Temen terdekat saya pun, tak luput dari sasaran kedisiplinannya karena tiba-tiba sepatu sandalnya hilang atau di buang oleh beliau.

Meski saya harus berlelah-lelah, namun alhamdulillah pada akhirnya saya menikmati dan mulai terbiasa dengan kehidupan saya yang sedikit lebih padat ini. Meski sekarang saya sering sekali mengoleskan minyak angin atau krim ke kedua betis saya karena terasa pegal, namun pada akhirnya saya tetap berbahagia dengan apa yang saya putuskan dan bahkan saa jadikan sebagai "life goals" sejak saya berumur 17 tahun.

Beruntung dan kebetulan, karena setiap hari Senin sore, departemen kuliah saya sengaja memasukkan mata kuliah Pengembangan Jati Diri Sarjana Perikanan dan Kelautan sebagai mata kuliah penutup di hari Senin yang melelahkan. Mata kuliah yang khusus membahas motivasi, sukses, goals, dan juga cinta yang membawa kami ke kampus hijau ini.

Namun, saya sungguh menangis sore ini. Kelelahan, kesepian, juga beban mengisi penuh tubuh, hati, dan pikiran.

Ya Allah, seharusnya saya malu ketika saya lupa bersyukur. Seharusnya saya malu ketika mengetahui tak semua orang berkesempatan untuk kuliah. Benar, setiap hamba pasti mempunyai bentuk cobaan yang berbeda. Namun, jika diteliti lebih cermat lagi, ini bukanlah suatu cobaan. Melainkan nikmat yang perlu disyukuri. Duduk manis mendengarkan dosen mengajar, berkesempatan diajar oleh guru besar, menerima ilmu berharga dari mana saja, belajar di ruangan nyaman dengan fasilitas sangat baik, bebas berorganisasi, bebas memulai bisnis kecil-kecilan, bebas berargument positif. Seharusnya itu membuat saya lebih bersyukur :')

Mungkin memang benar, setiap niat harus selalu disertakan dengan komitmen. Karena tanpa komitmen niat hanyalah sebatas niat. Sama sama seperti orang yang berniat baik namun tak ada aksinya. Sama seperti keinginan yang hanya diimpikan saja. Ah, saya seperti ini mungkin karena saya mulai mengendurkan komitmen.

Bukankah komitmen yang akan terus menjaga niat tepat pada tempatnya?

Darmaga, 28 September 2016
(Pojok Al-Hurriyah, menjelang senja dengan tangis)





0 komentar:

Posting Komentar

 
;