Kamis, 31 Agustus 2017

RTM: Tidak Bisa Apa-Apa


Membaca tulisan dari para bloggers favorite saya di tumblr dengan tagar RTM atau Rumah Tangga Muda jadi berhasrat untuk ikutan juga :D

Iya, saya memang belum menikah. Tapi tidak salah kan kalau saya sudah mulai mempersiapkan dari sekarang. Soalnya di IPB juga ada tuh jurusan Ilmu Keluarga dan Konsumen. Jadi, membangun keluarga yang kuat, sejahtera, dan harmonis memang perlu ilmu dan persiapan. Sekali lagi saya dengar, menikah adalah ibadah terlama yang dijalankan oleh manusia di dunia ini. Katanya juga seni terumit adalah seni berumah tangga. Yang perempuan harus mampu menurunkan ego untuk dipimpin dan dibimbing oleh laki-laki yang awalnya asing. Yang laki-laki harus tahan banting dalam memimpin dan membimbing perempuan yang mungkin punya paradigma lain di pikirannya.

Berbicara tentang rumah tangga muda, pasti kita semua butuh beradaptasi. Sebagai perempuan, tentu saja kita nanti yang akan mengurus rumah kita. Dari tidak bisa apa-apa menjadi bisa segala. Dari yang mengerjakan satu jenis, jadi bermacam jenis. Dari mengerjakan dengan waktu yang banyak, menjadi multitasking di satu waktu. Masak sambil nyuci piring. Masak sambil nyapu. Nyapu sambil teriak-teriak bangunin anak yang masih tidur, dll.

Ngomong-ngomong, saya sama sekali tidak mengenal pekerjaan seperti mencuci, memasak, menyetrika sebelum berumur 16 tahun. Pekerjaan rumah yang saya bisa waktu itu mungkin hanya menyapu dan mengepel lantai. Maklum, dari saya lahir sampai umur 15 tahun di rumah saya ada asisten rumah tangga karena ibu dan ayah saya bekerja. Jadilah, kerjaan saya waktu SMP itu hanya sekolah, belajar, baca buku, dan jalan-jalan sama teman :D

Saya yakin, hal itu sangat berbeda dengan teman-teman saya di Pangandaran, mereka tentu saja mampu mengerjakan ini itu sewaktu SMP bahkan SD. Soalnya ibu saya bercerita seperti itu. Katanya beliau bisa mencuci dari kelas 5 SD. Sudah membantu memasak dari kelas 3 SD. Saya waktu seumuran itu? Uh, masih jauh. Saya selalu mengatakan pada Ibu “Mom, this erra was changed. I am tired for the school, for doing the tasks.” Hahaha.. parah banget ya saya waktu itu. Alasannya sudah beda zaman. Padahal kan pekerjaan rumah tangga itu tak pernah lekang oleh zaman. Tapi tentang sekolah di zaman sekarang memang sangat melelahkan itu benar dan no drama. Karena adek saya yang kelas tiga SMK, memang temperamental banget kalau pulang sekolah. Belum lagi, dia harus begadang sampai jam satu pagi untuk ngerjain tugas. Ya, mirip-mirip saya pas musim ujian di tingkat pertama kemarin lah. Selalu begadang karena sistem kebut semalam :p *sekarang enggak dong, kan manajemen waktu saya sudah lebih baik :p

Tentu semuanya berubah ketika di rumah saya sudah tidak ada lagi ART. Saya jadi menyetrika sendiri. Nggak tanggung-tanggung, nyetrika untuk lima orang. Itu rasanya kesel banget. Kesel karena bingung harus mulai dari mana. Dan juga, kesel karena nggak bisa. Pokoknya menyetrika asal saja, asal panas bajunya. Begitupun ketika di Pangandaran, saya yang tinggal dengan nenek juga tidak mungkin kan menyuruh nenek untuk mencuci dan menyetrika baju saya. Alhamdulillah karena sedikit terbiasa menyetrika sebelum pindah, akhirnya kegiatan menyetrika itu menjadi lebih rapih dan tersusun. Saya jadi tahu, mana yang harus didahulukan. Bagian mana dulu yang harus disetrika. Baju apa saja yang harus digantung. Kalau mencuci? Felt so blessed, karena di rumah nenek sudah ada mesin cuci. Hehe.. Kalau memasak kayaknya nanti dulu. Saya trauma sambal goang saya gosong tak bersisa. Heuu..  saya juga belum bisa membedakan mana kemiri mana ketumbar (calon suami, maafkan aku yang dulu yaa). Saya juga selalu dibilangin seperti ini, “Bila, you are impossible to give your spouse just only with books.” tentu dalam sundanese ya, hehe.. Intinya, saya pernah diomelin gara-gara saya baca buku doang kerjaannya. Dari situ sih saya sadar, bahwa kelak suami saya nggak mungkin saya kasih makan dengan tumis buku pelajaran dan sayur novel remaja saya :’D

Dan tiba saatlah ketika saya pindah ke Bogor. Saya merasa semakin dewasa saja. Dan entah bagaimana saya jadi ingin bisa masak dan bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah. Entahlah, mungkin karena pengaruh tentang jodoh dan nikah yang dulu familiar sekali di telinga ABG macam saya. Siapa tahu ada yang melamar tiba-tiba kan :D *enggaklah, ini bercanda.

Begitu juga di asrama, saya bisa saja pakai bibi cuci setiap bulan. Tapi kok, saya jadi kehilangan esensi mandiri sewaktu di asrama ya kalau saya pakai bicu (bibi cuci). Kan anak rantau. I want to manage all about my self. Entah itu kuliah, keuangan dari ortu, persiapan diri saya sendiri, sampai itu perasaan termehek-mehek entah karena masalah apapun. Saya nggak pernah cerita lagi mengenai UTS saya yang mungkin dapat nilai 5. Beda banget sewaktu UN SMA dimana saya shock dan histeris berat pas ditelpon Ibu.

Dan ketika itulah saya memulai untuk belajar masak. Hihi, saya punya pengalaman yang saya simpan rapat-rapat selama dua tahun namun akan saya ceritakan disini. Pengalaman yang menyakitkan tapi memacu diri saya untuk bisa masak dengan benar. Waktu itu tahun 2015, saya yang sedang libur karena kuliah baru masuk di bulan September mendatang memutuskan untuk masak sayur sop dan mendoan, masakan favorit saya. Nggak tahu kenapa sayur sop nya udah enak (menurut saya) tapi mendoannya hambar, walah saya ingat saya lupa kasih garam. Baru saya kasih ketumbar bubuk, bawang putih, lada, juga kunyit bubuk. Dan itu saya sadari setelah semua masakan matang. Ah, syedih. Tapi berdoa aja semoga masih pada mau makan.

Sepertinya adik pertama saya tahu ada yang salah dengan mendoan itu, lalu pemicunya muncul dan mulailah kata-katanya menyakiti hati lalu membuat mata berair.

“Mending masak bener. Ini mah ga becus. Gak ada rasanya.”

“Emang ga akan gue makan!”

Deg! Saya menangis tertahan-tahan disitu. Saya yang lelah dari pagi dengan mencuci, nyetrika, menjemur, beres-beres rumah, dan niatnya memasak agar ketika Ibu dan adik-adik saya pulang sekolah bisa langsung makan siang namun mendapat kata-kata seperti itu, rasanya sangat sedih dan terpukul. Ibu saya juga dengar. Dan tidak berkata apa-apa. Saya yang sedang bikin kue putu ayu segera berbalik arah. Menangis. Lalu buru-buru mengelap air mata saya kembali. Meski menyakitkan, tapi saya langsung berkaca. Alhamdulillah, kata-kata itu masih terlontar dari keluarga dekat saya. Dan mulai saat itu, saya bertekad bahwa suami saya “tidak akan” mengatakan itu kepada saya. In the means, saya harus bisa masak dengan baik dan benar!

Dari pelajaran diatas saya mendapat banyak sekali hikmah. Tidak bisa memasak, mencuci, menyetrika, beres-beres rumah adalah lumrah adanya. Karena itu semua membutuhkan jam terbang. Saya ingin mengatakan kepada para laki-laki, “Mas, abang, uda kalau calon/pasangannya belum bisa ngerjain pekerjaan rumah tangga. Sabar-sabarin yaa.. kalau nggak bisa masak, coba deh antar ke pasar, kasih kado resep makanan, modus-modus minta dibikinin nasi goring atau apapun. Puji jika ada semangat dari pasangan buat belajar masak. Jujur dan beri saran yang membangun. Ingat, jangan berkata yang menyakitkan. Dia tulang rusukmu bukan tulang kepalamu.” Juga untuk para perempuan yang belum atau akan menikah. Mari kita sama-sama belajar menjadi perempuan yang multitalent. Perempuan yang kuat dan bisa diandalkan. Tidak hanya  pintar saja tapi juga mampu mengurus rumah. Karena dari rumahlah kita akan membangun peradaban manusia. Tidak semua laki-laki bisa lama-lama bersabar. Bisa-bisa kita nggak bisa mudik gara-gara makan di restoran terus karena nggak bisa masak :’) bisa-bisa kita nggak bisa beli make up gara-gara nge-laundry baju berkilo-kilo karena nggak bisa mencuci dan menyetrika *hahaha, enggak deng..

Kita adalah perempuan-perempuan modern zaman milenials yang mengenal kata emansipasi, tapi tetap menjadi ibu dan istri adalah fitrah kita. Kita adalah perempuan-perempuan modern yang dicekoki berbagai teknologi dan istilah relationship goals namun apa artinya bila kita gagal membentengi keluarga kita dari itu semua. Kamu boleh menjadi professor lulusan Inggris atau Jerman, tapi fitrah kita akan tetap menghantarkan kita kembali ke kasur, dapur, dan sumur. So, yuk kita sama-sama persiapkan dan belajar dari sekarang. Kita biasakan dari sekarang. Karena masalahnya, bukan ketika kita tidak bisa apa-apa, tetapi ketika kita tak mau belajar apa-apa. Semoga hal ini bisa menjadi ladang pahala dan lahan belajar untuk kita semua :)

“Whatever you do, do with determination. You have one live to life; do your work with passion and give your best. Whether you want to be a chef, doctor, actor, or even a mother. Be passionate to get the best result.” –Alia Bhatt-

Doakan saya juga ya. Semoga masakan saya lebih beragam dan bergizi. Alhamdulillah, semua macam tumis sudah bisa juga olahan daging, sambal, sedikit masakan bersantan. Rekor masak tersulit mungkin soto ayam kali ya, hahaha.. maklum ada beberapa tahap, siapin ayam, sayuran, bihun dan kuahnya. Mencuci dan menyetrika alhamdulillah :) semoga Allah selalu merendahkan ego saya untuk mau terus belajar memberikan yang terbaik untuk dia yang Allah siapkan untuk saya. Karena tetap bagi saya, masalahnya bukan karena kita tidak bisa apa-apa tetapi karena tidak mau belajar apa-apa.

Selamat Idul Adha 1438 Hijriah. Yuk istirahat, besok bangun pagi untuk belajar bikin opor dan bikin rendang :D

#rumahtanggamuda #tidakbisaapaapa #keeplearningdoing

0 komentar:

Posting Komentar

 
;