Kamis, 12 April 2018

(Ambisi) Siapa Yang Lebih Hebat?

Ada satu hal yang baru aku sadari, yaitu tentang kebenaran sebuah ungkapan. Dulu, orang-orang ramai berkata bahwa ibu kota lebih kejam dari ibu tiri. Sekarang ada yang berkata, bahwa ibu jari netizen lebih kejam dari apapun di dunia ini. Tanpa sadar, aku sangat setuju dengan perkataan itu. Media sosial masa kini telah menjelma menjadi arena sindir, bully, atau bahkan pengingat diri yang tanpa sengaja menyakiti orang lain. Bagiku, subjeknya juga macam macam. Dari yang tak tahu etika bermain media sosial, namun ada juga mereka yang berpendidikan namun tetap saja berlaku demikian. Body shaming sepertinya sudah menjadi hal yang wajar. Mengomentari fisik seperti badannya gendut, alisnya tipis, hidungnya pesek sudah menjadi hal yang lumrah. Makan di warteg diintimidasi karena miskin dan bangkrut. Sedikit pipi tirus menjadi alasan untuk dikomentari stress dan depresi. Ibu-ibu sibuk berkarya, bekerja, dan berkontribusi di luar rumah cukuplah menjadi serangan bahwa mereka-mereka telah menyalahi kodratnya sebagai perempuan yang seharusnya mengurus suami dan anak di rumah.

Cukuplah kita semua memaafkan sifat-sifat mereka yang tidak mengetahuinya. Namun, sebagai orang-orang yang paham bahwa hal tersebut membahayakan, sadarkah kita bahwa bisa saja kita yang melakukan hal tersebut? Tegakah kita bila sama-sama menyakiti hati saudaranya meski tidak sengaja? Berawal dari bercanda, memberikan saran dengan cara, waktu dan tempat yang tidak tepat, lalu mengingatkan diri sendiri namun menyisakan luka di hati saudara kita. Contoh kecil, bisa saja kita memposting keinginan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya, meninggalkan pekerjaan kita meski pekerjaan tersebut sudah bertahun-tahun kita jalani, lalu memposting tentang bermacam-macam hadist dan ayat Al-Qur’an yang mendukung keinginan kita tersebut. It’s okay you do that. Tapi, terpikirkah kita bisa saja hal-hal tersebut menyakiti sesama ibu pekerja? Aku memang masih single dan belum mempunyai keluarga kecil sendiri, tapi aku tahu betul bagaimana perasaan ibuku yang wanita karir setiap kali melihat kalimat-kalimat itu di laman facebooknya.

Mereka banyak sekali yang mengunggah penyesalannya, kekhawatirannya, lengkap dengan dalil juga firman-firman ayat Al-Quran yang memperkuat keinginan mereka. Perlu digaris bawahi disini, bahwa itu tidaklah salah, itu adalah benar. Tapi bisakah kita belajar menjadi pribadi yang sedikit lebih bijaksana lagi? Bagaimana kita bertutur kata di media sosial jelas sangat berbeda ketika kita bertutur kata di dunia nyata. Berbicara di dunia nyata akan lebih mudah diluruskan ketika salah paham. Namun, berbeda halnya ketika kita berbicara dan beretika yang tak sesuai ketika di linimasa. Akan sulit sekali meluruskannya. Bukan hanya masalah ibu pekerja atau ibu rumah tangga, hal-hal seperti membagikan romansa pernikahan di linimasa juga kerap menjadi nafas tertahan bagi orang-orang yang belum menikah, unggahan-unggahan manis foto-foto kehamilan menjadi sesuatu yang menyakitkan bagi pasangan yang sejak lama mendamba seorang anak. Sekali lagi, itu tanpa berniat menyakiti mereka. Tapi alangkah lebih elok lagi, apabila kita mengetahui apa yang kita inginkan telah Allaah kabulkan, lebih baik kita banyak bersyukur dan memilih diam. Bukan. Bukan karena aku iri. Tapi mungkin lebih kepada menjaga perasaan saudara-saudara kita. Bukankah kemarin-kemarin kita pernah ada pada posisi seperti mereka?

Ibuku sendiri bangun sebelum jam setengah 5 pagi, memilih meninggalkan kamarnya dan mengurangi jatah tidurnya padahal sehari sebelumnya ibuku memasak untuk catering, mencuci, menyetrika baju, membersihkan rumah, hanya untuk menyiapkan sarapan dan camilan sehat untuk adik-adikku. Lalu bagaimana dengan mengandung 9 bulan, 3 kali melahirkan menyambung jiwa dan raga demi aku dan adik-adikku, belum lagi membesarkan dan menyusui demi menyambung kehidupanku dan kedua adik-adikku, membiayai full kehidupan dan pendidikan ketiga anaknya, begadang sepanjang malam ketika anak-anaknya sakit, mengerahkan semua kekuatannya, merapal semua doa-doa untuk kesuksesan, kesehatan, dan kebahagiaan anak-anaknya. Tidakkah itu semua cukup membuktikan bahwa sebenarnya ibu pekerja seperti ibuku juga tetap hebat seperti ibu-ibu rumah tangga?

Ada berjuta alasan, mengapa perempuan memilih menjadi wanita pekerja begitupun dengan konsekuensinya. Entah itu karena suaminya sakit, suaminya meninggal, atau menjadi single parent. Lalu, aku ingin bertanya? Bagaimana dengan dosen-dosen perempuanku yang berpendidikan tinggi sampai S3 bahkan menjadi profesor atau amrita? Mereka semua adalah seorang ibu. Berangkat pukul 06.00 pagi menuju kampusku, lengkap dengan sarapan yang sudah tersedia juga pekerjaan rumah tangga yang sudah rapih dan selesai. Pantaskah mereka mendapat sindiran atau setidaknya dilukai hatinya meski postingan itu berawal untuk mengingatkan kita saja? Bukankah mereka-mereka semua yang mendidik dan mengajarkan anak-anak kita kelak menjadi orang-orang yang berbudi pekerti juga berwawasan luas?

Jadi siapa yang lebih hebat? Siapa yang paling merasa menjadi seorang ibu sesungguhnya? Siapa yang lebih mulia?

Ibu rumah tangga, ibu dosen, ibu guru, ibu dokter, ibu penulis, ibu karyawan, ibu penjual online, ibu tukang sampah, ibu pemulung, ibu direktur, ibu penyapu jalan, ibu penjaga soto, semuanya mulia. Tidak ada rumus sekalipun yang mampu membandingkan mana lebih tinggi dan lebih rendah atas pilihan kita dibandingkan dengan pilihan orang lain. Karena sekali lagi, setiap perempuan memiliki berjuta alasan mengapa dirinya memilih untuk bekerja. Jadi, bisakah kita saling menghargai? Bisakah kita saling menghormati pilihan masing-masing?

Tolong ya ibu-ibu yang sudah berumur, ibu-ibu muda, juga shalihah (yang insyaAllaah akan segera berkeluarga) jangan lukai keikhlasan ibu-ibu pekerja dengan postingan-postingan yang tanpa sadar menyakiti hati perempuan lainnya, meski kita sering memberi alasan bahwa itu hanya untuk pengingat kita seorang :’)


Karena meskipun mereka-mereka semua adalah ibu ibu pekerja, tapi mereka tetaplah seorang ibu.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;