Jumat, 07 Agustus 2015

Menghargai Keputusan

Selepas solat ashar tadi, aku sengaja menyempatkan diri berkunjung ke bimbel Cerdas Insani, bimbel yang pernah mengenalkanku pada dede-dede gemes yang kritis nan manis.

Aku sengaja berjalan kaki, entah kenapa rasanya aku sedang ingin berjalan kaki dari pada sekedar naik angkot. Rasanya tak ingin melewati setiap kelok jalan yang mungkin saja terlewat di setiap sudut jalan. Ketika naik angkot, mungkin aku melewatkan hal-hal yang terlihat biasa saja. Tapi ketika aku berjalan kaki, pikiranku lebih terbuka. Beberapa kali kuperhatikan berbagai profesi yang ada di sekitar jalan, sampai melewati perumahan yang membuatku harus berkali kali berkata “permisi bu” “punten”. Ku perhatikan tukang sol sepatu di pinggir jalan, tukang steam motor, tukang las besi, anak kecil yang sedang jalan-jalan bersama ibunya, jajanan di pinggiran jalan dan lain-lain. Selain itu, aku memang lagi merasakan pegal hati yang luar biasa. Hidup memang tak selalu berjalan sesuai ekspektasi kita. Dan itu betul-betul membuatku sedih. Hahaha. Kok malah curhat?

Ah, biarin aja deh. Kenyataannya memang gitu kan?

Satu hal yang sering dilontarkan dalam hati ketika sedang galau: KENAPA?

KENAPA AKU GA DAPET INI? KENAPA AKU DIDATENGIN PAS LAGI BUTUH DOANG? KENAPA DIA NINGGALIN SAAT LAGI SAYANG-SAYANGNYA? KENAPA MEREKA SELALU GAK AVAILABLE SAAT AKU BUTUH? KENAPA AKU GA BISA IKUTAN SELEKSI BEASISWA? KENAPA? KENAPA? DAN KENAPA?

Disitu aku langsung melakukan introspeksi terhadap diri-ku sendiri. Apa yang salah? Apa yang kurang?

Aku tahu, Tuhan memang menjawab doa-doa kita dengan 3 jawaban;
1)      Ya.
2)      Ya, tapi bukan sekarang.
3)      Aku akan mengganti dengan yang lebih baik.

Tapi aku menyadari, aku cuma manusia biasa yang tentu saja kecewa jika apa yang aku mau tak dapat kudapatkan. Yee manusia emang ngeyel jeung merekedeweng ceuk bahasa sunda na mah. Ya begitulah, sulit sekali nerima ketetapan yang sudah ditentukan. Tapi jika aku tidak berdamai dengan diriku sendiri, aku justru semakin terpuruk.

Seperti kata Kak Kurniawan Gunadi:

“Kita akan belajar tentang menempatkan rasa tulus sebagai pondasi kita menjadi seorang manusia, menjadi hamba-Nya yang lahir sudah disertai dengan berbagai macam keputusan pasti. Seperti rejeki, jodoh, dan kematian. Adalah tugas kita hari ini untuk terus menerus belajar tentang mempercayakan urusan-urusan itu kepada Allah dan senantiasa bersiap setiap hari. Kita akan menghargai setiap keputusan-Nya yang Dia sampaikan melalui orang-orang terdekat kita. InsyaAllah yang terbaik. Karena jawaban Allah atas doa dan harapan kita itu selalu iya; Iya, Aku kabulkan. Iya, nanti. Dan iya, Aku kabulkan dan ganti dengan yang lebih baik.”

Rasanya, apapun yang terjadi, aku haruslah pandai menghargai setiap keputusan yang diberikan Allah. Karena apabila kita tidak menerima sampai-sampai tidak tulus menjalankan sesuatu, aku khawatir akan menutup mata selamanya. Kurang pandai bersyukur padahal banyak orang lain yang lebih tidak beruntung dari diriku. Semoga aku lebih bisa mensyukuri setiap nikmatnya, biar tak ada kekecewaan ketika segala sesuatu tak sesuai harapan.


0 komentar:

Posting Komentar

 
;