Rabu, 09 Mei 2018

Sudahkah kamu selesai dengan dirimu sendiri?

“Aku berterima kasih, kamu mau mengantarku pergi jalan-jalan keliling kota Bogor.” Ujar seorang perempuan berkerudung coklat muda yang duduk tepat disamping tempat dudukku.

Aku tersenyum. Dia keliatan ceria sekali. Rasanya dia memang benar-benar butuh merefresh pikirannya setelah berkuliah sepanjang minggu ini. Begitu juga aku. Senyumnya merekah, beda sekali dengan keadaan dirinya sekitar 5 bulan yang lalu. Dia menangis tergugu di hadapanku, mukanya pucat sekali karena kurang makan dan kurang tidur. Tentu saja karena semalaman menangis. Sekarang yang kulihat dia tersenyum manis, kurasa luka-luka hatinya yang begitu parah itu hampir sembuh. Kali ini, semoga saja aku benar.

“Kamu terlihat bahagia sekali. Bagaimana nilai UTS-mu?” aku bertanya antusias kepadanya.

Dia tersenyum cerah, “Alhamdulillah..”

Trans Pakuan yang aku tumpangi bersamanya mulai berjalan. Aku senang sekali menemukan dirinya yang hampir sudah seperti dulu, selalu menyenangkan berdiskusi dengan orang seperti dirinya. Aku rasa dia memiliki daya dimana orang akan antusias dan senang sekali berbicara dengannya. Dia seperti menguasai bermacam-macam topik pembicaraan, dan sesekali kami berdiskusi tentang tugas akhir karena kini, kami sama-sama duduk di semester 6.

Tak terasa hampir separuh perjalanan kami, aku pun tertidur. Praktikum yang melelahkan mungkin telah menghabiskan banyak sekali energi, belum lagi aku harus membetulkan revisi proposal penelitianku. Namun, belum sampai 10 menit aku tertidur, aku dikagetkan oleh suara isak tangis perempuan. Aku kaget setengah mati mengetahui orang yang menangis itu adalah perempuan di sampingku, perempuan berjilbab coklat muda itu.

Aku sentuh bahunya, sembari bertanya “Are you okay?”

Dia tidak menjawab. Aku semakin khawatir. Mungkinkah dia sakit? Atau ada masalahkah? Aku lihat jalanan di sampingku, macet dan crowded sekali. Pantas saja, sudah masuk jalanan paling utama di
Kota Bogor. Aku tanya sekali lagi, apakah dia sakit? Melihat begitu padatnya jalanan, aku semakin yakin untuk turun saja jika memang dia sakit.

“Kamu sakit?” aku menunggu jawabannya dengan harap-harap cemas.

Di luar dugaanku, dia justru mengalihkan badannya ke arahku. Perlahan dia menghapus air matanya. Aku memeluknya erat-erat. Diantara peluknya, dia berkata lirih, bahwa dia tidak sakit. Sembari meminta maaf telah membuatku khawatir.

“Aku minta maaf. Aku sudah membuatmu khawatir. Kukira memang sudah selesai. Setelah kejadian 5 bulan kemarin, aku mati-matian menyembuhkan luka lebam diseluruh penjuru hatiku. Tapi kali ini, aku sungguh tidak kuat menangis. Aku kira, luka itu telah menemukan kuncinya. Tiba-tiba saja, kuncinya terbuka dan seperti memukulku kembali untuk mundur dan menyerah.” Ucapnya serius.

Oh ya Allaah, ternyata dugaanku salah. Aku tahu, perempuan ini sedang berjuang habis-habisan menyembuhkan lukanya. Perempuan ini sedang berusaha keras untuk bisa berdamai dan memaafkan dirinya sendiri. Aku paham sekali bahwa ada yang belum selesai dengan urusan hatinya.

Aku mencoba memulai percakapan kembali dengan hati-hati, “Kamu tau apa yang harus kamu lakukan bukan?”

Dia mengangguk, sambil tersenyum tipis dia berkata kepadaku, “Aku hanya perlu didengarkan dan mengalirkan perasaan. Selebihnya insyaAllah aku akan berusaha berdamai dengan diriku sendiri. Aku memulai untuk memaafkan diriku sendiri. Memaafkan diriku sendiri bukan berarti aku harus mengembalikan semua salah kepadaku, terlebih yang paling penting aku berhak hidup tenang bukan? Mengingat setiap kebaikannya, agar aku tak perlu berat untuk memohon ampun untuknya. Aku juga berdoa supaya ketika bertemu kelak, dia akan menunjukan sikap yang lebih menyenangkan. Meskipun (mungkin) pada kenyataannya nanti, dia akan melakukan sebaliknya; tapi setidaknya aku merasa menang, karena aku tidak membalas keburukan dengan keburukan.”

“Dan masya Allaah tabarakallah, bukankah di Al-Qur’an dikatakan fa’fu’anhum wastagfirlahum, maafkan mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allaah. Kamu benar banget, Nab. Memaafkan dan memohonkan maaf membuat hidup kita terasa lebih ringan, aku pernah melakukannya dulu. Dan kamu juga benar, aku harus selesai dengan diriku sendiri karena banyak orang menungguku di luar sana.”

Mendengar jawaban itu, aku tersenyum dan bernafas lega. Semoga Allaah, selalu menetapkannya dalam kebaikan. Diskusi kami akhirnya terhenti setelah kami turun dari Trans Pakuan.

Tapi entah mengapa, perempuan itu selalu mengikutiku sepanjang hari. Entah itu, ketika aku makan, ia ada disana. Ketika aku sholat, dia ada. Saat perjalanan pulang, ia ada. Saat di perjalanan, ia ada. Ketika aku di rumah, ia ada. Bahkan ketika aku membuka laptop dan menulis cerita ini, dia pun ada. Aku baru menyadari, bahwa dari tadi akulah yang berbicara kepada diriku sendiri.


Bagaimana, kini hatimu telah lebih lapang bukan? Semoga kamu bisa cepat selesai dengan urusanmu sendiri pula.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;