Rabu, 06 Mei 2015

Turn her into literature.

Waktu dhuha ini, aku sengaja menyempatkan waktu untuk menulis. Setelah melapangkan hati dengan sholat dhuha serta sholat hajat, aku ingin memberikan kenyamanan untuk diriku sendiri dengan menulis. Tiga hari menjelang pengumuman SNMPTN, bagiku adalah malam-malam panjang. Alasan lain, karena baru-baru ini aku sering begadang menekuri kata-kata dari Henry Miller yang kayaknya (pas) banget sama aku.

Henry Miller says; “there are only three things to be done with a woman. You can love her, suffer for her, or turn her into literature.”

Kalau ditodong pertanyaan; susah move on atau susah membuka hati?

Aku akan menjawab: susah membuka hati. Kenapa?

Aku termasuk orang yang (alhamdulillah) gampang gampang aja kok buat move one. Menurutku, menyayangi tidak selalu membuat kita bahagia, ada pahit, ada getir, tapi aku tetap percaya kalau semua itu terjadi karena memang harus terjadi.

Dari kecil, aku dibiasakan tidak terlalu ngoyo, aku pantang banget mengejar abis abisan jika memang itu sudah harus dilepaskan. Bagiku: aku akan mempertahankan yang memang baik untukku. Tapi kalau memang engga, ya udah. Akan aku lepas. Berarti bukan hak aku. Bukan rezeki aku. Bukan jodoh aku. Bukan takdir aku.

Tapi, penyembuhan ini perlu waktu yang lama untuk membuka hati lagi. Sebagai orang yang mempunyai kecenderungan sifat golongan darah B, berhati hati ketika sudah dikecewakan memang wajib. Masalahnya, aku ditakdirkan pernah dekat lalu bubar dengan orang-orang yang baik. Sedihnya pasti beda. Ini sedih banget dan susah banget buat nerima lagi, ketika laki-laki itu memang sudah ada tapi kriterianya “under him”.

Kurniawan Gunadi dalam bukunya Hujan Matahari, mengajariku satu hal “aku akan sangat berhati-hati untuk pulang ke rumah yang dipenuhi banyak kenangan. Dan kehilangan selalu mengajariku banyak hal, terutama menghargai.”

Membuka hati tidak sekedar mencari sosok pengganti. Kalau mau, kenapa aku tidak memilih saja sekian dari cowok yang mau sama aku dan masalah selesai. Bukankah begitu?

Nyatanya masalah hati tidak pernah bisa se-klise itu. Dalam buku Mas Gun, banyak sekali yang dia ceritakan, tentang bagaimana cara laki laki menyakiti hati wanita dengan sikap baiknya. Dan, itu benar. Laki-laki yang dekat denganku memang lebih banyak yang bersikap baik, pergi lalu tanpa kepastian.  Bukankah wanita adalah makhluk kepastian?

Sejak saat itu, aku berpikir: (mungkin) hanya Mas Gun saja yang peka. Dia seperti tukang ramal yang mengetahui seluk beluk hati perempuan yang selama ini selalu perempuan tutup-tutupi. Seperti suara hati.
Laki-laki itu banyak yang datang seperti salah satu kutipan dalam buku Hujan Matahari, seperti ini:

Apakah harus jatuh cinta terlebih dahulu?
Ternyata bukan. Aku menyukai caramu mendatangiku.
Kau tahu, aku terkesan pada penghormatanmu kepadaku.
Ah, ternyata aku hanya butuh didatangi terlebih dahulu dengan kebaikan
Cinta itu akan tumbuh dan berkembang kemudian
Terima kasih telah datang

Aku merasa laki-laki mendatangiku dengan cara yang disebutkan diatas. Itulah alasan mengapa aku sulit membuka hati untuk laki-laki. Sungguh aku sangat berhati-hati sekarang. Karena selain baik, satu hal yang pasti. Aku butuh sebuah kepastian. Baik saja tak cukup. Bahkan terkadang, kebaikannya yang akan menjadi sembilu yang mengiris hati ketika dia pergi.

Dan bagaimana cara terbaikku melupakan sudah disebutkan diatas. Cara terbaikku adalah dengan menceritakan lewat sebuah cerita. Karena aku juga bukan termasuk orang yang suka curhat sana-sini, aku cenderung menutup cerita pribadi kecuali dengan orang yang benar-benar bisa aku percaya.

Ya, cara terbaik untuk melupakan (supaya tidak cinta dan tidak kangen) hanya dengan menuliskannya melalui sebuah cerita. Meski terkadang, aku tersedu sendiri membaca tulisan-tulisan tapi setidaknya rindu bertemu bisa ditahan dengan membaca tulisan itu sendiri.

Ya, semua itu adalah pilihan. Dan pilihan mempunyai konsekuensi yang harus diambil. Biarlah, aku memilih bersama dia yang baik, penuh kepastian, dan bisa membuka pintu hatiku (kembali) dengan caranya meski dalam waktu yang gak sebentar.
Dan bukankah, dengan memilih kita belajar untuk menjadi bijaksana? Bukankah dengan berjuang melawan keinginan itu sekarang ini, kita juga belajar untuk menjadi sabar?


0 komentar:

Posting Komentar

 
;