Menulis.
Menulis
menurutku adalah suatu keasyikan tersendiri. Kenapa? Soalnya aku suka senang
kalau temen-temenku ngebaca tulisan aku, terus mereka penasaran dan bertanya-tanya,
loh kok alurnya jadi gini? Kok tokohnya ga bisa ketebak? Kok si dia jadiannya
malah sama ini sih? Hahaha.
Serius
deh. Kalau kalian banyak baca buku-buku dengan genre bermacam-macam terus kamu
mikir dalam hati “Ih, gila banget ya nih orang bisa nulis cerita sekeren ini!”
kebayang ga sih sama kalian, penulisnya itu gimana? Mereka baca buku apa aja
ya? Kenapa tulisannya bisa mengalir dan mampu meletupkan semangat kita, atau ga
kita bisa kebawa suasana melankolis, bisa ikut mengimajinasikan pikiran kita?
Kira-kira
analis apa yang mereka gunakan? Apakah ada tips supaya diksinya bagus dan
nyastra tapi tulisan tetap jernih dan mengalir?
Akhir-akhir
ini selain sibuk belajar buat SBMPTN, aku juga sering bolak-balik baca blog
orang. Contohnya blog kak Cahyo di cahyoichi.blogspot.com atau blognya Kak
Dijeh yang koplak, unpredictable (kadang-kadang kita sering kena jebakan
batman) di dijehtheory.blogspot.com. Role models aku dalam ngeblog akhir-akhir ini
tuh kaya ga pernah kehabisan ide dan pas banget sama judul blog yang aku tulis
sekarang. Serius. They can write about anything.
Jadi kalau
Kak Cahyo, aku suka tulisannya karena dia itu nulis sesuatu yang serius tapi
emang bener dan itu menyangkut hal-hal yang sepele. Contoh: kenapa sih kita
males nulis. Mungkin menurut kamu, ya elah ngapain sih nulis? But, do you know ternyata
ilmuan ilmuan besar itu adalah penulis hebat di masanya. Thomas Alfa Edison
bahkan dikenal sudah menulis 3000 jurnal harian yang menyangkut penemuan maha
agungnya. Ibnu Sina pun begitu, dia ga mungkin dinobatkan jadi “The Father of
Doctor” kalau buku yang ditulisnya ga mampu diterjemahkan oleh bangsa-bangsa
barat yang berjudul “Canon of Medicine.” Bahkan kalau Umar Bin Khatab ga maksa
Khalifah Abu Bakar Ash Shidiq supaya membukukan al-quran, aku bener-bener ga bisa
bayangin gimana dunia ini jadinya. Secara yang hafal al quran akhir zaman gini kan dikit banget.
Pernah
baca buku The Five Land of Tower atau Negeri 5 Menaranya A. Fuadi? Kalau
pernah, mari kita lihat. Apa bedanya sih sama kita ini? Aku yakin kok, ga
sedikit dari kita pasti ada yang ngalamin persis seperti yang Fuadi rasain. Contohnya:
kita dipaksa sekolah ke tempat yang bukan kita pengin. Terus dia nulis buku
tentang pengalamannya di Pondok Madani, merasakan kegelisahannya ga bisa
seperti B.J Habibie, sampai dia bisa jadi wartawan VOA.
Terus aku
mikir: tapi kenapa Fuadi bisa menulis sebagus itu? Tapi kenapa bukunya Fuadi
bisa sampe best seller? (Novelnya yang aku koleksi waktu itu cetakan ke 23.)
padahal yang dia ceritain sebenarnya kehidupan umum yang sudah aku bilang
mungkin terjadi juga sama kita.
NAH! Jadi
itulah bedanya penulis dan bukan penulis. Seorang penulis biasanya bisa
memanfaatkan kesempatan untuk menulis didukung dengan kemampuan dia menginterpretasikan
kata-kata meski yang dia tulis sebenarnya bertema sederhana. Lain halnya kalau
kita bukan penulis, rasanya sulit banget buat nulis meski (mungkin aja) kita
punya cerita yang bertema fantastis. Jadi sebenarnya, tujuan utama penulis itu
bukan untuk membuat orang lain terkesan, melainkan bagaimana mereka bisa
membukukan kenangan dengan cara terbaik yang mereka bisa.
Aku juga
akhir-akhir ini baru menamatkan dwiloginya Andrea Hirata yang Padang Bulan dan
Cinta dalam Gelas. So, di novel ini, dia ngejelasin tentang apa? Warung kopi.
Serius?
Iya. Aku serius
dia menceritakan warung kopi dan budaya minum kopi orang-orang Melayu. He wrote based what he saw, he hear, he felt.
Gila kan,
keren banget. Cerita tentang warkop aja bisa se-keren dan se-gila itu. Padahal untuk
kita mah apa atuh, warkop. Warkop yang paling kita inget ya tempat orang-orang
pada nongkrong sama bikin indomie (yang katanya menurut mitos bikinan kang kang
indomie di warkop selalu lebih enak) hahaha.
Aku juga
baru baca tulisan di blognya Kak Dijeh. Dia juga menyebutkan tips menulis ala
dia, dan salah satunya ada tips: mematangkan ide. Dia juga bilang kok,
sebenarnya dapet ide dari mana aja. Contohnya pas lagi naik motor. Dia lagi
dengerin lagu Sugarnya Maroon 5 terus lewat rumah yang lagi bikin hajatan. Terus
dia bikin tulisan deh: “Untung VC sugar ga dibuat di Indonesia.” WQWQWQWQ yakali kan Video Clip Sugarnya Maroon 5 dibuat di kondangan ala Indonesia :v
*ditoyor marooners*
Aku juga
gitu kok. Menulis dari pengalaman-pengalaman patah hati atau pengalaman
ngamatin sesuatu. Pacar Baru di Facebookku jadi bukti, gimana aku pengen banget
ngebukukan kenangan cinta pertama plus patah hati pertama di SMA dengan sebaik
cara yang aku bisa :’)
The Lives
Green pun begitu. Mungkin banyak penulis ingin dikenal dunia lewat tulisannya. Tapi
sungguh, aku cuma nulis The Lives Green hanya untuk dikenang dan dikenal sama
sahabat-sahabatku :’)
Mbak Dee
Lestari pernah bilang: langkah pertama untuk menulis itu hanya perlu kekuatan
untuk memulainya. Perlu niat aja kok. Terus kita bisa mengembangkan sendiri
ide-idenya. Seperti Andrea Hirata, A. Fuadi, atau Mbak Dee sendiri. Justru
menurut Mbak Dee, kalau kebanyakan melihat roles of write kita akan terus takut
dan akhirnya ga jadi nulis deh.
Bener kan? So, you can write
about anything and LET’S WRITE! :)
(btw,
selamat hari buku nasional, para pencinta buku!) mari terus membukukan kenangan
dengan cara terbaik yang kita bisa! :D
Nabil
2 komentar:
duh.. nemu kayak gini. Aku nyesel udah lama "berhenti" nulis. :'(
Ayo kak, nulis lagi... selalu kutunggu tulisan tulisannya
Posting Komentar