Minggu, 17 Mei 2015

You can write about anything.



Menulis.
Menulis menurutku adalah suatu keasyikan tersendiri. Kenapa? Soalnya aku suka senang kalau temen-temenku ngebaca tulisan aku, terus mereka penasaran dan bertanya-tanya, loh kok alurnya jadi gini? Kok tokohnya ga bisa ketebak? Kok si dia jadiannya malah sama ini sih? Hahaha.

Serius deh. Kalau kalian banyak baca buku-buku dengan genre bermacam-macam terus kamu mikir dalam hati “Ih, gila banget ya nih orang bisa nulis cerita sekeren ini!” kebayang ga sih sama kalian, penulisnya itu gimana? Mereka baca buku apa aja ya? Kenapa tulisannya bisa mengalir dan mampu meletupkan semangat kita, atau ga kita bisa kebawa suasana melankolis, bisa ikut mengimajinasikan pikiran kita?

Kira-kira analis apa yang mereka gunakan? Apakah ada tips supaya diksinya bagus dan nyastra tapi tulisan tetap jernih dan mengalir?

Akhir-akhir ini selain sibuk belajar buat SBMPTN, aku juga sering bolak-balik baca blog orang. Contohnya blog kak Cahyo di cahyoichi.blogspot.com atau blognya Kak Dijeh yang koplak, unpredictable (kadang-kadang kita sering kena jebakan batman) di dijehtheory.blogspot.com. Role models aku dalam ngeblog akhir-akhir ini tuh kaya ga pernah kehabisan ide dan pas banget sama judul blog yang aku tulis sekarang. Serius. They can write about anything.

Jadi kalau Kak Cahyo, aku suka tulisannya karena dia itu nulis sesuatu yang serius tapi emang bener dan itu menyangkut hal-hal yang sepele. Contoh: kenapa sih kita males nulis. Mungkin menurut kamu, ya elah ngapain sih nulis? But, do you know ternyata ilmuan ilmuan besar itu adalah penulis hebat di masanya. Thomas Alfa Edison bahkan dikenal sudah menulis 3000 jurnal harian yang menyangkut penemuan maha agungnya. Ibnu Sina pun begitu, dia ga mungkin dinobatkan jadi “The Father of Doctor” kalau buku yang ditulisnya ga mampu diterjemahkan oleh bangsa-bangsa barat yang berjudul “Canon of Medicine.” Bahkan kalau Umar Bin Khatab ga maksa Khalifah Abu Bakar Ash Shidiq supaya membukukan al-quran, aku bener-bener ga bisa bayangin gimana dunia ini jadinya. Secara yang hafal al quran akhir zaman gini kan dikit banget.

Pernah baca buku The Five Land of Tower atau Negeri 5 Menaranya A. Fuadi? Kalau pernah, mari kita lihat. Apa bedanya sih sama kita ini? Aku yakin kok, ga sedikit dari kita pasti ada yang ngalamin persis seperti yang Fuadi rasain. Contohnya: kita dipaksa sekolah ke tempat yang bukan kita pengin. Terus dia nulis buku tentang pengalamannya di Pondok Madani, merasakan kegelisahannya ga bisa seperti B.J Habibie, sampai dia bisa jadi wartawan VOA.

Terus aku mikir: tapi kenapa Fuadi bisa menulis sebagus itu? Tapi kenapa bukunya Fuadi bisa sampe best seller? (Novelnya yang aku koleksi waktu itu cetakan ke 23.) padahal yang dia ceritain sebenarnya kehidupan umum yang sudah aku bilang mungkin terjadi juga sama kita.

NAH! Jadi itulah bedanya penulis dan bukan penulis. Seorang penulis biasanya bisa memanfaatkan kesempatan untuk menulis didukung dengan kemampuan dia menginterpretasikan kata-kata meski yang dia tulis sebenarnya bertema sederhana. Lain halnya kalau kita bukan penulis, rasanya sulit banget buat nulis meski (mungkin aja) kita punya cerita yang bertema fantastis. Jadi sebenarnya, tujuan utama penulis itu bukan untuk membuat orang lain terkesan, melainkan bagaimana mereka bisa membukukan kenangan dengan cara terbaik yang mereka bisa.

Aku juga akhir-akhir ini baru menamatkan dwiloginya Andrea Hirata yang Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas. So, di novel ini, dia ngejelasin tentang apa? Warung kopi.
Serius?
Iya. Aku serius dia menceritakan warung kopi dan budaya minum kopi orang-orang Melayu. He wrote based what he saw, he hear, he felt. Gila kan, keren banget. Cerita tentang warkop aja bisa se-keren dan se-gila itu. Padahal untuk kita mah apa atuh, warkop. Warkop yang paling kita inget ya tempat orang-orang pada nongkrong sama bikin indomie (yang katanya menurut mitos bikinan kang kang indomie di warkop selalu lebih enak) hahaha.

Aku juga baru baca tulisan di blognya Kak Dijeh. Dia juga menyebutkan tips menulis ala dia, dan salah satunya ada tips: mematangkan ide. Dia juga bilang kok, sebenarnya dapet ide dari mana aja. Contohnya pas lagi naik motor. Dia lagi dengerin lagu Sugarnya Maroon 5 terus lewat rumah yang lagi bikin hajatan. Terus dia bikin tulisan deh: “Untung VC sugar ga dibuat di Indonesia.” WQWQWQWQ yakali kan Video Clip Sugarnya Maroon 5 dibuat di kondangan ala Indonesia :v *ditoyor marooners*

Aku juga gitu kok. Menulis dari pengalaman-pengalaman patah hati atau pengalaman ngamatin sesuatu. Pacar Baru di Facebookku jadi bukti, gimana aku pengen banget ngebukukan kenangan cinta pertama plus patah hati pertama di SMA dengan sebaik cara yang aku bisa :’)

The Lives Green pun begitu. Mungkin banyak penulis ingin dikenal dunia lewat tulisannya. Tapi sungguh, aku cuma nulis The Lives Green hanya untuk dikenang dan dikenal sama sahabat-sahabatku :’)

Mbak Dee Lestari pernah bilang: langkah pertama untuk menulis itu hanya perlu kekuatan untuk memulainya. Perlu niat aja kok. Terus kita bisa mengembangkan sendiri ide-idenya. Seperti Andrea Hirata, A. Fuadi, atau Mbak Dee sendiri. Justru menurut Mbak Dee, kalau kebanyakan melihat roles of write kita akan terus takut dan akhirnya ga jadi nulis deh.

Bener kan? So, you can write about anything and LET’S WRITE! :) 

(btw, selamat hari buku nasional, para pencinta buku!) mari terus membukukan kenangan dengan cara terbaik yang kita bisa! :D

Nabil





2 komentar:

Cahyo Adi Nugroho mengatakan...

duh.. nemu kayak gini. Aku nyesel udah lama "berhenti" nulis. :'(

Putri Nabil mengatakan...

Ayo kak, nulis lagi... selalu kutunggu tulisan tulisannya

Posting Komentar

 
;