Kamis, 02 Juli 2015

Si Cantik Dina dan Hanami Sakura


November, 2013.

“Bila, ada telpon dari Ibu!” ucap Nenek-ku dari balik pintu kamar.

Aku bergegas bangkit dari tempat tidur dan mengambil telpon. “Ya, hallo, Bu?”

“Bila! Dina meninggal.”

Deg!

“Innalillahi wainnaillahi raji’un.” Ucapku spontan dan masih tak percaya jika gadis cantik itu benar-benar sudah tiada.

“Kapan meninggalnya, Bu? Ibu lagi dimana sekarang?” aku memberondong Ibuku dengan banyak pertanyaan waktu itu.

“Tadi jam 11 siang. Ibu baru pulang ngelayat.”

Pesan kematian datang lagi kepadaku. Kali ini, aku baru saja mendengar berita kematian, dari salah seorang murid Ibuku. Anak teman Ibu sesama guru juga. Bukan waktu meninggalnya yang membuat aku (jujur) tak bisa tidur dua hari dua malam (karena gadis itu selalu datang di mimpiku) (atau hanya sugesti karena terlalu memikirkannya?) intinya; hal yang menyebabkan dia meninggal yang meraung-raung di otakku.

Kurang tepat sih sebenarnya, kalau ditanya penyebabnya, ya jelas karena Allah sudah berkehendak. Tapi, apa yang Dina alami 2 tahun sebelum kepergiannya.

Saat menuliskan kisah ini, hampir saja air mata meluncur membasahi pipiku. Karena perjuangan dan semangat gadis itu dalam memperjuangkan hidup begitu besar. Aku begitu ingat, 4 tahun sebelum meninggal, aku masih mengenal Dina sebagai gadis yang cantik, lincah, riang, murah senyum, dan montok.

Tapi, tumor otak yang dideritanya habis membabat tubuh Dina yang montok dan sekal itu. Bukan hanya tubuhnya tapi Dina juga kehilangan penglihatan dan pendengarannya. Ya Rabbi, aku sungguh-sungguh tak percaya dengan apa yang Ibu ceritakan. Benarkah? Dina yang cantik dan aktif di seluruh ekstrakulikuler harus sakit terbaring di tempat tidur.

Untung aku tidak pernah punya kesempatan bertemu dengannya. Bukan. Bukan aku tak mau. Tapi lebih tepat aku tak akan tega. Selain itu, dulu aku sedang sibuk mempersiapkan ujian nasional SMP-ku.

Aku hanya bisa mendengar perkembangan kesehatan Dina dari Ibu. Aku selalu mendoakan semoga Dina cepat sembuh dan bisa bersekolah sepertiku. Seharusnya tahun ini, dia duduk di kelas 12. Satu tahun dibawahku. Tapi sepertinya Allah berkehendak lain. Bukan kabar baik, aku justru mendengar kesehatan Dina semakin memburuk. Dimulai dari kehilangan penglihatan, lalu ke pendengaran, hingga mungkin dia putus asa. Dia sudah tidak mau makan. Ya Allah, lapangkanlah hatinya dengan cahaya-Mu.

Namun, hal yang membuatku kagum, setiap malam Dina tak pernah lupa untuk sholat malam. Dia selalu minta digendong ayahnya untuk berwudhu. Subhanallah.

Dan, mungkin... November 2013 kemarin, Allah punya rencana yang lebih indah. Dina lebih dahulu menghadap-Nya. Semoga amal sholihmu memberatkan amal kebaikanmu, Din. Kakak mendoakanmu dari sini! :’)

Bagiku, Dina itu seperti hanami sakura.

Apa itu hanami sakura? Hanami secara bahasa adalah melihat bunga, namun sering diartikan sebagai kebiasaan orang Jepang dimana orang-orang Jepang tersebut berbondong-bondong datang dan menggelar tikar di bawah pohon untuk menikmati gugurnya bunga sakura.

Orang Jepang umumnya tak mau melewatkan kesempatan ini sedikitpun, karena hanami sakura hanya berlangsung selama 30 detik dan itu hanya terjadi setiap satu tahun sekali saja.

Ya, meski tak ada hubungannya dengan Dina. Tetapi bagiku, kehidupan Dina layaknya hanami sakura. Singkat memang. Tapi begitu meninggalkan kesan mendalam bagi kami yang mengenalnya. Meninggalnya begitu indah dan khusnul khatimah.

Ah, Dik... aku yakin sekali sakitmu kemarin adalah untuk menghapus dosa-dosamu di masa lalu. Aku yakin surga telah menunggumu. Semoga Allah menyediakan tempat tertinggi-Nya untukmu ya, Dik. Amiiiin.


0 komentar:

Posting Komentar

 
;