Sabtu, 04 Juli 2015

Yes, i am free in the true sense.

Aku begitu mengingat masa kecilku. Semuanya terekam jelas dalam hati dan ingatan. Dulu sekali, sewaktu aku kecil, aku begitu sering berlinang air mata sambil menempelkan hidungku yang merah dan berair karena menangis di jendela.

Alasannya apa lagi kalau bukan dikurung di rumah oleh Ibu. Dilarang bermain siang-siang ketika suhu udara di luar sana sedang panas-panasnya. Kata Ibu, selain nanti malam tidak bisa belajar dan mengerjakan PR, alasan lainnya karena aku kerap rewel dan pegal-pegal kalau main siang-siang.

Begitupun ketika hujan deras sedang turun. Bisa dihitung dengan jari lah, berapa kali aku diizinkan mandi hujan. Pokoknya, pasti berujung dengan linangan air mata di balik jendela. Rasanya iri dan cemburu melihat teman-teman sebayaku tertawa sambil bermain diantara derasnya guyuran air hujan.

Singkat kata ketika SMP dan SMA juga begitu. Sudah kukatakan kan, aku tidak boleh naik angkot oleh ayahku. SMA-pun sebenarnya, secara isyarat aku diberi “lampu merah” untuk masalah pacaran. Yang terakhir aku justru senang. Hahahaha. Karena aku tahu, pacaran memang tidak baik dan ujung-ujungnya merugikan *eh, kok curhat*

Kalau boleh jujur, sejak masuk TK, SD SMP, SMA, hingga memilih program study kuliah (pun), semuanya adalah pilihan Ibu dan Ayah-ku. Beneran. Teman-teman pasti berpikir ya? Ih gak bebas banget kayaknya. Aku juga berpikir, “duh, jangan-jangan nanti jodoh (pun) dipilihkan oleh kedua orang tuaku.” Hahahaha.

Sepertinya memang begitu.

Kesannya terkungkung. Atau terlalu memaksakan keinginan Ibuku sendiri dan lain-lain pikiran negatif lainnya. Kuakui, setiap mau masuk sekolah baru tuh, rasanya galaaaau. Maunya kesini, tapi ayah dan ibuku bilang “kesini aja” dengan segala macam propaganda yang membuatku akhirnya nyerah dan berkata “iyaaa, deh…” padahal dengan nem yang ku punya, aku bisa masuk sekolah impianku.

Awalnya aku memang merasa “it’s cheat!” ini curang dan tak adil. Tapi kejadian tadi malam membuatku berpikir. How care and love my parents! Betapa peduli dan sayangnya orang tuaku.

Bukan kejadian semalam saja yang membuatku merasa rindu dengan kebawelan, suka diatur-atur, atau kemarahan orang tuaku saat aku tak nurut. Sejak di Pangandaran dulu, aku sering sekali merindukan hal yang sebenarnya paling aku sebal itu karena (mungkin) di Pangandaran dulu aku tidak terlalu (diwaro) seperti yang selalu orang tuaku lakukan.

Sewaktu masuk sekolah, semua keperluanku sudah disiapkan. Paling hanya ditanya “NISN dimana?” “ijazah sudah ada belum?” dan selanjutnya selalu sudah siap dan beres.

Lalu yang membuatku terkaget-kaget, tiba-tiba orang tuaku sudah membangunkanku untuk ke sekolah baru.

Untuk apa?

Untuk daftar ulang!

Hah? Bahkan aku saja kaget, dari mana orang tuaku mendapat semua dokumen itu tanpa bertanya kepadaku. Sampai hal terkecil-pun semisal sertifikat prestasi akademik yang sudah terjilid dan terfoto-copy rapi. Padahal aku saja terkadang lupa, dimana aku menyimpan dokumen-dokumen pribadiku.

Aku sedemikian malu pada diriku sendiri. Aku teringat dengan temanku di PNJ saat mengajukan UKT I dan UKT II, dia kekurangan syarat dan tampak bingung. Mau pulang, mepet karena hari itu adalah hari terakhir pengajuan beasiswa dan mungkin dia tak tahu apa yang harus disertakan karena memang banyak surat-surat yang harus direkomendasikan dari lurah, RT, RW, dan lain-lain. Selain itu orang tuanya pasti tak sepenuhnya aktif seperti orang tuaku.

Seharusnya aku lebih bersyukur karena aku memiliki orang tua yang begitu care, active, and ekstrovert. Dan berkat kejadian semalamlah, aku berani menuliskan kisah ini. Ternyata semalam orang tuaku membangunkanku untuk menanyakan sesuatu, yaitu beasiswa. Dan semalaman pula, kedua orang tuaku bolak-balik memburu informasi, bahkan sampai mengirimi si sponsor beasiswa email. Ya Allah!

Seharusnya siapa yang lebih aktif? Aku kan? Ya, seharusnya aku. Sejak saat itu aku sangat-sangat tersentuh dan bersyukur, betapa Allah Maha Rahman dan Maha Rahim sudah memberiku orang tua yang (terkadang) aku tak mengerti jalan pikirannya, tapi selalu punya cara untuk membuatku merasa penting dan di-prioritaskan.

Intinya; pesan yang ingin kuselipkan dalam tulisan ini adalah ketika impian kita tidak sejalan dengan apa yang orang tua kita inginkan, jangan dulu berburuk sangka! Tetaplah berpikir positif. Karena setiap orang tua menginginkan yang terbaik dari anaknya.

Satu hal yang terpenting adalah ridho orang tua. Ya, antara impian dan ridho orang tua. Sungguh aku belajar banyak tentang ini. Ridho orang tua adalah ridhonya Allah. Mungkin bisa saja, aku mengikuti ingin dan impianku, tapi apa mungkin orang tuaku ridho, Allah ridho, dan impianku bisa dengan mudah dicapai dan yang terpenting (berkah) kah itu untuk diriku sendiri? Belum tentu.

Tapi jika kita berusaha untuk menunjukan bakti terbaik yang kita punya dengan (nurut) dan patuh serta mewujudkan semua mimpi orang tua. Insya Allah, Allah akan ridho dan mempermudah impian (baru) kita, dan yang terpenting keputusan kita akan menjadi berkah serta membawa manfaat tersendiri untuk diri kita, karena keputusan dan impian itulah yang terus didoakan orang tua kita hingga mengetuk pintu-pintu arsy-Nya.

Tidak percaya? :)

Aku sudah merasakannya. Dan aku sangat bersyukur sudah dipilihkan sekolah dari TK sampai SMA. Mengapa? Karena aku justru menemukan, diriku tangguh dan berkembang dari seluruh keputusan yang telah dibuatkan oleh kedua orang tuaku di masa yang dulu.



0 komentar:

Posting Komentar

 
;