Senin, 25 Agustus 2014

BELAJAR MENERIMA

Cerpen yang kubuat sewaktu duduk di kelas 8, sewaktu sedang menggebu-gebunya bercita-cita menjadi seorang penulis :-D meski sudah lama tapi semoga bisa menjadi refleksi untuk kita untuk tetap birul walidain. Selamat membaca! :-)

“Kemana kau akan pergi, nak?” Tanya Bu Minah kepada Tya, putri sulungnya.
“Ibu tak perlu tahu Tya akan pergi kemana, ini hidup Tya !” Jawab Tya dengan nada ketus.
“Tapi, ibu mengkhawatirkan keadaan kamu, nak, ayo pulanglah bersama ibu, ibu sangat mencintaimu, Tya ! Jawab Bu Minah dengan pancaran kasih sayang dimatanya.
“Tidaaaaaak, aku tidak akan kembali ke rumah yang isinya hampir seperti neraka bagiku” Kata Tya sambil melarikan diri menjauhi Bu Minah dan Putri, adik Tya.
Memang begitulah sikap Tya, yang selalu mengeluh akan keadaan ekonomi keluarganya selama ini. Tya seakan tidak mengerti bahwa keluarganya sedang terhimpit masalah ekonomi yang sangat serius. Padahal waktu itu Tya merupakan anak yang ekonominya bisa dikatakan lebih dari cukup, namun, setelah Bapak Diman, Bapak Tya, memiliki banyak hutang ke bank dan para rentenir di sekitar rumah Tya, hidupnya berubah, jangankan membeli baju atau aksesoris yang menjadi trend anak remaja masa kini, untuk kebutuhan sehari-hari saja, keluarganya harus bersusah payah mencari uang. ”Tya malu, bu, sama teman-teman Tya yang setiap hari diantar dan dijemput pakai mobil mewah, sedangkan Tya, Tya hanya naik sepeda yang sudah butut seperti ini” Keluh Tya pada Ibunya. ”Bersabarlah, nak, ibu sedang berupaya untuk melunasi hutang bapakmu, lihatlah apakah kamu tega melihat bapakmu yang setiap hari bekerja banting tulang untuk menghidupimu, belajarlah bersabar, Tya, insya Allah, Allah akan selalu dekat dengan orang-orang yang bersabar” Jawab Bu Minah dengan sabar disertai dengan senyum.  “Cukup, bu, cukuuup, sampai kapan kita harus bersabar, bu? Mana bantuan dari Allah itu, semuanya omong kosong !” Jawab Tya marah. Begitulah setiap hari yang selalu diucapkan Tya pada ibunya, dia malu akan kondisi ekonomi keluarga, maklumlah Tya bersekolah di SMA Tunas Bunga yang menjadi sekolah favorit di Jakarta, Tya bisa masuk SMA Tunas Bunga karena mendapatkan beasiswa dari sekolah SMPnya dahulu. Tya memang seorang anak yang cerdas, dia selalu mendapatkan gelar “bintang kelas” setiap tahun, baik di SD, SMP, maupun SMA Tunas Bunga sendiri. Tapi  sayang, dia memiliki sifat yang kurang baik, yaitu, tidah pernah bersyukur atas pemberian Tuhan selama ini.
Sudah 3 hari setelah kepergian Tya dari rumah, Bu Minah, Putri, dan juga Pak Diman, tidak pernah berhenti untuk mencari Tya, tetapi sampai saat ini Tya belum juga ditemukan. Sementara itu, Tya kebingungan akan pergi kemana, selama 3 hari ini Tya hanya tidur dan makan di rumah sahabatnya, Anggie. Anggie merupakan teman sekelas Tya, dia anak orang kaya tetapi memiliki sifat yang sangat ramah, baik, dan dermawan, bukan hanya terhadap sahabatnya, Tya, tetapi hampir ke semua orang.
“Apa kamu ga pingin pulang, Ty? Tanya Anggie suatu ketika.
“Tidak, Nggie, memangnya kenapa, kamu tidak suka aku tinggal di rumahmu? Jawab Tya keras.
“Bukannya seperti itu, apa kamu tidak kasian terhadap kedua orang tuamu, pasti mereka khawatir akan keadaanmu, Tya ! Jawab Anggie lembut.
 “Aku tidak perduli, mereka yang membuat hidupku susah seperti ini” Jawab Tya lebih keras.
“Kamu tidak boleh berbicara seperti itu, Tya, meskipun seperti itu, mereka tetap orang tuamu !” Jawab Anggie dengan amarah yang ditahan.
“Apa urusanmu? Aku lebih tahu siapa mereka, jika kamu memang tidak suka aku tinggal di rumahmu, baiklah, aku akan pergi dari sini ! Ucap Tya serasa berjalan meninggalkan Anggie.
Anggie hanya beristigfar dalam hati, dia tidak mengerti mengapa sahabatnya seperti itu. Anggie sangat prihatin akan keadaan Tya, Anggie sangat sayang terhadap Tya, tetapi dia tidak tahu harus berbuat apa.
Sementara Tya, dia pergi meninggalkan rumah Anggie, Tya tidak tahu harus melangkahkan kemana kakinya berjalan. Dia tidak mempunyai sanak saudara di Jakarta, Tya tidak tahu harus tinggal dimana, untuk kembali ke rumah Anggie? Itu tidak mungkin, karena Anggie mungkin sudah benci terhadap dirinya, jika ke rumah? Lebih tidak mungkin, pikirnya dalam hati. Sampai suatu ketika Tya merasa sangat lapar dan dia mencium aroma sate yang sangat menggoda lidahnya, kemudian dia terus berjalan menuju kedai sate tersebut, sesampainya di kedai sate tersebut dia hanya melihat para pembeli yang sedang menikmati satenya, sampai dia tersadar ada seseorang yg memanggilnya.
“Hei, nona apa yang sedang kau lakukan disini? Tanya pemilik kedai tersebut.
“Saya merasa perut saya sangat lapar, tetapi saya tidak punya uang untuk membeli sate itu ! Jawab Tya memelas.
“Baiklah nona, silahkan makan di kedai milikku !” Jawab pemilik kedai tersebut sambil tersenyum.
“Benarkah tuan? Terima kasih banyak tuan, terima kasih !”  Tya tidak percaya.
“Benar nona, silahkan duduk di meja pesanan itu, pelayan akan mengantarkan sate untukmu!” Ucap pemilik kedai sambil menunjuk salah satu meja.
Tya memakan sate itu dengan lahapnya, dia memang belum makan dari siang hari sejak pergi dari rumah Anggie. Bersama si pemilik kedai tersebut Tya memakan satenya, tanpa terasa air matanya menitik pelan.
“Apa yang terjadi pada dirimu nona?” Tanya pemilik kedai itu bingung.
“Saya tidak apa-apa, tuan, saya hanya teringat akan kedua orang tua saya.” Ucap Tya yang semakin deras tangisnya.
“Ada apa dengan orang tuamu, nona, sampai kau menangis?” Si pemilik kedai makin penasaran.
“Saya sangat heran terhadap orang tua saya, tuan, orang yang baru saya kenal seperti tuan saja,  sangat baik terhadap saya, tetapi mengapa orang tua saya seakan tidak perduli, menyia-nyiakan, bahkan merampas kebahagiaan anaknya.” Tangis Tya semakin menjadi-jadi.
Ketika mendengar ucapan Tya, si pemilik kedai hanya bisa tersenyum sambil berkata :
“Hei, nona, apa yang kau katakan tadi sangatlah salah, saya hanya memberi sepiring sate yang tidak ada artinya dengan kebaikan kedua orang tua nona selama ini, selama ini orang tua nona membesarkan,  mendidik, mendoakanmu bahkan menghidupkan nona sampai menjadi seorang gadis yang cantik dan cerdas seperti nona, tetapi mengapa kau balas dengan perlakuan seperti ini nona? Kau pergi dari rumah, padahal orang tuamu sangat cemas akan keadaan dirimu, apakah kau menyadari itu nona?” Tanya si pemilik kedai lembut.
Tya terenyuh akan perkataan si pemilik kedai tadi, dia berpikir yang dilakukan dirinya selama ini adalah kesalahan yang begitu besar. Dia berpikir apa yang dibicarakan oleh si pemilik kedai sangatlah benar. Tya beristigfar di dalam hati seraya berdoa kepada Allah untuk memaafkannya dan melindungi dirinya, kedua orang tuanya, dan adiknya, Putri.
Malam itu juga, Tya kembali ke rumahnya, Bu Minah langsung memeluk Tya, ketika Tya baru sampai di depan pintu, begitu pun dengan Pak Diman dan Putri. Tya pun menangis dan meminta maaf kepada kedua orang tuanya dan berjanji tidak akan melakukan hal yang dapat menyusahkan dirinya sendiri dan orang lain.
Depok, 16 Maret 2011

0 komentar:

Posting Komentar

 
;