Senin, 25 Agustus 2014

Aku dan Pesantren


Ponpes Modern Ummul Quro Al-Islami, Bogor
(Pesantren Dimana Awalnya Saya Akan Menuntut Ilmu)
Sebelum Mendapat Full Scholarship dari SMA RSBI di Depok

Agaknya kisahku memang berbanding terbalik dengan kisah Alif Fikri, tokoh rekaan utama dalam novel “Negeri  5 Menara” karya A. Fuadi. Ya, jika dia harus melanjutkan pendidikannya ke pesantren sedangkan keinginan terbesarnya masuk sekolah formal non agama, lain halnya dengan aku. Aku harus masuk SMA sedangkan hatiku menjerit-jerit ingin masuk ke sekolah agama itu.

Jujur saja, sejak jilbab ini menempel di kepalaku sekitar satu tahun yang lalu, perlahan-lahan pola pikir dan sikapku juga mulai berubah. Mulai dari bagaimana aku harus bersikap, berbicara, berhubungan dengan sesama, pandanganku tentang cinta berdasarkan islam, dan ya, tentu saja cita-citaku di masa yang akan datang.

Sebenarnya hanya butuh waktu singkat memutuskan ini semua. Awal ketertarikanku terhadap dunia pesantren diawali oleh sebuah perkenalanku di dunia maya. Ketika itu aku belum berjilbab, dan karena itu pula aku semakin tertarik terhadap ajaran islam yang lebih mendalam, kaffah, dan istiqomah. Tiba-tiba muncul sebuah kotak chatting di layar laptopku, dari “Greeny de Amora”, nama yang tak aku kenal,

Dengan percaya diri aku langsung menjawab memakai bahasa arab jelekku “Afwan, terima kasih… salam ukhuwah islamiyah ya…”

Namun, tanpa kuduga, orang itu langsung membalas chatku dengan bahasa arab yang fasih luar biasa, aku melongo, dan tanpa berpikir panjang aku langsung mengklik link namanya. Dan, masya Allah! Ternyata dia mahasiswi Universitas Al-Azhar! Dan dia lulusan pondok pesantren. Nyaliku langsung ciut ketika aku ingin membalas kembali chat darinya.

Disitulah aku pertama kali merasa tertampar akan sebuah realita, merasa begitu bodoh jika ditanya masalah agama. Aku tak mengerti ketika dia berbicara bahasa arab, sudah aku coba menggunakan translate, tapi tetap saja aku merasa kesulitan! Sungguh, aku menangisi diriku sendiri. Ternyata anak-anak pesantren tidak bisa diremehkan, bahkan aku berpikir mereka lebih hebat dari lulusan SMA favorit.

Sejak saat itu, aku mulai berpikir positif dan open minded tentang islam. Aku belajar dan terus belajar dari suatu komunitas di jejaring social, buku-buku islam, dll. Ternyata islam begitu indah, selama ini aku memang menjalankan shalat, puasa, dan ibadah lainnya, tetapi jujur, aku melakukan itu hanyalah sebagai rutinitas tanpa diiringi oleh penghayatan.

Sampai akhirnya, pada suatu pagi aku memutuskan untuk memakai jilbab ini. Semuanya terasa cepat, aku melakukan itu karena aku tak ingin hidayah Allah pergi dariku begitu saja. Orang-orang disekitarku merasa senang melihatku dengan jilbab ini. Katanya aku sudah pantas mengenakannya, aku hanya bisa mengucapkan terima kasih. Mereka juga mendoakan aku agar bisa istiqomah dengan jilbabku, ahhhh aku bahagia sekali dan mengamininya.

Tak lupa aku kabari tentang peristiwa berjilbab ini kepada orang yang telah membuatku berpikir, ya! Ka Greeny De Amora itu, kami menjadi akrab setelah peristiwa itu dan aku banyak bercerita kepadanya jika ada masalah. Dan dia sangat senang, dia menyambutku dengan ucapan mabruk yang artinya selamat.

Dengan berjilbab, aku merasakan hidupku semakin dinaungi cahaya Illahi, tenang dan damai rasanya. Aku sama sekali tidak merasa kepanasan dengan jilbab ini, justru ketika aku belum berjilbab aku malah sering kepanasan. Bukankah ini suatu keajaiban dari Allah?

Dan entah apa penyebabnya, setiap waktu dhuha aku selalu saja rindu dengan Rabbku, dan ya, untuk mengobati rinduku, aku selalu solat dhuha di sekolah walaupun tanpa teman. Ketika sedang sujud, aku merasa dekat dengan Tuhanku, rasanya kepalaku seperti dibelai-belai angin kesejukan. Aku sudah terlalu sering solat dhuha sendiri tanpa teman, dan untuk pertama kalinya aku mulai berpikir, alangkah bahagianya aku jika memiliki teman dan lingkungan yang lebih kondusif dengan diriku yang sekarang ini.

Aku masih belum menemukan jawaban tentang lingkungan yang menurutku tidak kondusif ini, lalu aku teringat akan pondok pesantren! Ya, itu dia. Aku rasa aku akan kesana setelah lulus nanti, aku membayangkan diriku yang hafal al-qur’an, fasih berbicara bahasa Arab dan Inggris. Asyik sekali! Batinku dalam hati.

Setiap hari aku selalu menguatkan tekadku untuk kesana, aku usir segala keraguanku, tentang bagaimana masa depanku nanti. Aku mencoba menghibur diriku sendiri dengan melihat kenyataan bahwa lulusan pesantren memang memiliki 2 komponen penting yang harus aku miliki di dunia yang fana ini. Itu adalah ilmu dan agama.

Aku mencoba membuka pikiranku lebih lebar lagi, sampai akhirnya hatiku sendiri mengakui bahwa sebenarnya apa yang aku cari di dunia ini selain ridho dari Allah subhanahu wata’ala. Maka saat itu aku putuskan, “Bismillah, aku akan pindah dari takdir yang baik ke takdir yang lebih baik! Dan insya Allah, aku akan menemukan takdir yang lebih baik itu di pesantren.”

Ya, aku bahagia sekali dengan keputusanku itu. Setiap ditanya oleh teman-temanku, kemana aku akan melanjutkan sekolah setelah lulus SMP ini, dengan sangat antusias aku menjawab “Ingin masuk pesantren, insya Allah…”

Aku heran dan juga bingung, ternyata lebih banyak orang-orang yang menentang keputusanku, meskipun aku tahu mereka tentu saja tidak secara blak-blakan mengatakannya. Awalnya sedih, sangat sedih. Kenapa mereka bisa berpikir seperti itu? Mereka tidak pernah bisa memandang pesantren secara objektif, mereka terlalu subjektif! Atau aku yang salah? Oh tidak, aku seperti ini karena aku ingin lebih dekat dengan Tuhanku, salahkah aku?

***

Baiklah! Aku sungguh tidak perduli dengan mereka, aku ingin terus maju dengan pilihan yang aku yakini benar ini. Banyak yang terang-teranganan mengatakan “Kenapa memilih pesantren, Nabila? Kamu bisa daftar dan pasti masuk sekolah umum paling favorit di kota kita!” Oh Tuhan, aku ingin menangis mendengarnya. Apa mereka benar-benar tidak tahu, kalau aku butuh teman-teman yang seprinsip? Entahlah…

Hmmmmm, masalah juga datang ketika aku menyampaikan keinginanku untuk melanjutkan sekolah di pesantren kepada orang tuaku. Mereka sedih, terutama ibuku. Aku mengerti, aku adalah anak perempuan satu-satunya. Tapi aku tetap bersikukuh untuk tetap pada pendirianku. Masuk pesantren!

Aku selalu memberi pengertian kepada ibuku, bahwa aku ingin menjadi anak yang sholehah, kuliah di Mesir, hafal Al-Qur’an, fasih bahasa Arab, dan berbagai alasan yang bisa memperkuat argumentasiku beberapa hari yang lalu.

Masih belum berhasil! Aaaaah, never give up… terus mencoba dan mencoba, dan yessssss! Akhirnya ibuku mengizinkan aku, aku tau beliau berat hati, tapi…. Aku ingin melanjutkan pendidikanku kesana.

Setelah semua yang aku inginkan dikabulkan, aku merasa sangat menikmati hari-hariku sebagai gadis berjilbab, ditambah nilai akademikku yang bisa dikatakan baik. Aku juga punya sahabat-sahabat yang care dan baik sekali, hanya sayang mereka tak seprinsip denganku. Aku belajar giat, ikut les tambahan untuk semester 5 ini.
Aku terus mempelajari islam juga tentunya, aku paling senang belajar di dunia maya, karena itu sangat menarik dan bisa langsung bertanya apabila tidak mengerti. Aku juga berteman dengan beberapa mahasiswa mahasiswi Al-Azhar, bahkan ada orang Mesir langsung, dan juga dengan muslim yang lain dari berbagai Negara, sepertinya Malaysia. Aku begitu bahagia mengenal mereka. Mereka baik, pintar, dan tentunya dapat menambah kecintaanku terhadap Robbku.
Oh ya, kalau ditanya, apakah aku pernah merasakan jatuh cinta di masa remajaku ini? Tentu saja aku pernah . Memang rasanya indah dan aku tahu ini fitrah dari Tuhanku, tapi aku tak ingin terlalu memikirkannya. Dia membuatku selalu memikirkannya, membuatku ingin tersenyum senyum sendiri, dan membuat sholatku tak khusyuk. Aaaaaah! Beginikah rasanya jatuh cinta?

***
            Semester ini aku lewati dengan baik, sangat baik! Senang sekali rasanya, nilai raport ku bagus dan rata-rata 8,9. Aku peringkat pertama di kelas dan yeah! Aku juara umum di sekolahku. Aku benar-benar merasakan efek dari mantra sakti “MAN JADDA WAJADDA”. Belajar sampai tengah malam, mengerjakan setumpuk latihan soal, berangkat sekolah dari pagi hingga matahari tenggelam. Rasanya terbayar sudah, Alhamdulillah…
            Tapi di semester 6 ini agaknya aku menemukan sedikit masalah, ini semester terakhir. Sebentar lagi aku melaksanakan ujian nasional dan lulus. Mantapkah hatiku untuk sekolah di pesantren? Tiba tiba aku ragu, aku sungguh menjadi ragu dengan keputusanku… Aaaaaa, ada apa denganku? Bukannya 6 bulan yang lalu aku merasa yakin dengan itu? Dengan percaya dirinya ingin sekolah di Mesir?
            Baiklah, kuakui, aku merasa galau, bukan galau memikirkan cinta layaknya remaja yang lain. Aku galau karena sekolah. Lucu sekali memang terdengarnya.
            Ya Tuhan, aku masih bingung. Bagaimana ini? Oh ya, aku teringat dengan orang yang membuatku tertarik pada pesantren! Ka Greeny De Amora! Tanpa berpikir panjang aku langsung mengirim pesan kepadanya. Aku berterus terang saja tentang apa yang aku rasa. Dengan bijaknya dia memberi pengertian kepadaku kalau masuk pesantren bukanlah suatu keputusan yang salah. Tapi itu suatu keputusan yang berani. dan aku mulai merasa mantap kembali dengan keputusanku.
***
Aku menjalani kehidupanku seperti biasa kembali, sekolah, belajar, les, dll. Begitulah aktivitas sehari-hari  anak  kelas 9 yang sebentar lagi akakn menghadapi Ujian Nasional. Ada yang santai kelewat batas, tapi ada pula yang stress sampai-sampai memforsir waktu belajarnya.
Aku cenderung masuk kepada anak yang sersan, serius tapi santai. Aku tak mau jadi gila hanya karena Ujian Nasional. Konyol sekali bukan? Aku hanya banyak banyak mengerjakan soal latihan dan tentu saja bertanya apabila ada yang tidak mengerti. Dan satu hal yang tidak pernah mau aku tinggalkan untuk kesuksesan Ujian Nasionalku, banyak banyak berdoa dan meminta ampun kepada Tuhan.
Untuk percobaan atau istilah kerennya try out, aku juga mengalami pasang surut. Try out pertama buruk sekali! Peringkat 16 se-sekolah! Aku mencoba menghibur diriku sendiri, belajar dan terus belajar! Try out 2, yessssss! Nilaiku menembus rata-rata 9, dan try out ketiga bisa dikatakan “aku siap mengikuti ujian nasional”!
Ujian nasional sebulan lagi! Oooooh tidaaaaaak, aku galau lagi menentukan sekolah. Aku seperti ini karena teman-temanku mulai mendaftarkan diri mereka ke sekolah RSBI. Jujur, sedikit iri juga melihat teman-temanku mengurus berkas ini berkas itu, hmmmm…. Aku tahu ilmu umumku pasti akan sangat tertinggal dengan mereka. Tapi, akankan aku rela mengorbankan hidayah ini hanya untuk pelajaran matematika dan IPA? Aku rasa tidak!
***
Rabu, 11 April 2012…
Bismillah tawakaltu ‘ala Allah, aku daftar pesantren. Pesantren di daerah Bogor, aku suka, system pembelajarannya mirip Gontor. Aku sendiri tidak diizinkan mondok di Gontor. Ibuku bilang aku anak perempuan satu-satunya, aku punya penyakit dalam, di Jawa Timur aku tak punya saudara, dan lain lain. Hmmm….. Baiklah, untuk kali ini aku yang mengalah.
Yaaa, aku senang sekali. Al-Azhar semakin mendekat, semakin dekat di mataku, di hatiku. Di aliran darahku, Al-Azhar selalu mengalir lembut. Ya, aku rasa, aku hampir menggapainya. Al-Azhar, I will reach youuu….wait me for 4 years! Teriakku dalam hati!
***
Jum’at, 13 April 2012, sepulang sekolah…
“Nabila, tadi dicariin bu Asri….” Agnes, teman sekelasku, menulis tweet di account twitterku. Aku reply mentionnya, “Aduuuh, ada apa ya nes?” tanyaku, jujur aku sedikit takut. Bu Asri adalah guru Bimbingan Konseling di sekolahku, biasanya BP merupakan tempat menghakimi anak anak yang nakal. Dia mereply balik mentionku “Hahaha, woles aja kali bil. Dia baik, tadi minta no kamu. Tapi kita kita pada ga bawa hp nih..” balasnya disana… okeee, aku rasa aku tak pernah melanggar tata tertib sekolah. Keep calm…
Baiklah, senin aku akan menemui bu Asri. Sepertinya memang penting… hmmm
***
“May, anterin aku yuk. Ketemu sama bu Asri..” kataku sambil memegang pundak Mayla, teman baikku.
“Emang kenapa, Bil? Tumben amat” balasnya.
“Gak tau nih…” kataku acuh tak acuh.
Aku dan Mayla menyusuri lorong lorong sekolah, Aku ingin ke ruang guru, tujuanku tak lain tak bukan adalah menemui Bu Asri. Terlihat wajah wajah murid kelas 9 yang mulai sibuk mengurus persiapan UN mereka.
“Nabila…..” Mayla menyentuh lembut bahuku.
“Ya?” kepalaku mendengah ke arahnya.
“Kira kira ada apa ya bil?”
“Aku juga gak tau, memang aku anak yang nakal ya? Kok dipanggil segala..”
“Mungkin saja, aku kira kamu pernah mencuri sesuatu!” katanya serius
“Apa? Mencuri? Masa iya, wallahi deh…” ucapku tegas
“Sssst, mencuri hatinya si ituuuuuu….” Mayla menunjuk sosok yang berjalan menuju kantin.
Aku melongo, Mayla masih terkikik.
***
“Ayo masuk Nabila, Mayla…..” Bu Asri begitu ramah, aku sangat nyaman berada di dekatnya. Beliau juga cantik.
“Maaf ya Mayla, boleh ibu bicara berdua dengan Nabila saja?” Pintanya
“Baik bu…” Mayla patuh
Setelah Mayla pergi, Bu Asri bicara kepadaku
“Nabila, ayo ikut ibu ke ruang BP!”
“Baik bu…”
Sesampai di ruang BP, aku sapu pandanganku sekilas. Ada dua guru BP lainnya. Pertanyaanku semakin kuat “Ada apaaa ini?” sedikit panic di dalam hati.
Seolah membaca isi hatiku, Bu Asri menyuruhku duduk.
“Nabila, ada sesuatu yang ingin Ibu tawarkan, tawarannya sangat menarik!”
Aku mengerutkan kening, tak mengerti.
“Karena kamu juara umum di sekolah ini, salah satu sekolah RSBI memberimu beasiswa untuk 1 tahun. Bagaimana? Apa kamu sudah daftar sekolah? Pasti sekolah RSBI yang favorit di SMA kita?” Kejarnya.
Aku melongo, aku sedih… Aku menggeleng lemah.
“Tidak bu…”
“Lalu?”
“Saya sudah daftar di pesantren bu, di Bogor. Tiga hari yang lalu…” ucapku
“Pesantren?”
“Iya bu…”
“Apa alasanmu ingin masuk pesantren, Nabila? Kamu begitu berpotensi, bukan kamu yang mencari sekolah. Kamu yang dicari oleh sekolah itu!”
Terpaksa aku menjelaskan alasan alasanku kepadanya, aku tertegun, justru beliau kagum dengan kegigihanku yang ingin masuk pesantren.
“Subhanallah, baru kali ini Ibu mendengar cerita anak yang begitu gigih berjuang dengan perasaannya, dengan segala potensi yang ada, pasti banyak orang disekitarmu yang agak kaget dengan kemauanmu, tapi kamu begitu berani menentukan pilihan.”
“Pesantren bukanlah sesuatu yang buruk Nabila, Ibu tak akan memaksa. Semua keputusan ada di tanganmu. Yang Ibu ingin bilang, gunakan kesempatan baik ini, tidak semua orang seberuntung dirimu.”
“Diskusikan ini bersama kedua orang tuamu, Ibu ingin kamu menyampaikan jawaban secepatnya. Jika seandainya kamu tidak berminat, beasiswa ini akan Ibu berikan ke temanmu yang juga juara umum kedua. Tapi ibu sangat meminta, pikirkan ini baik baik.” Bu Asri terus berbicara, aku sendiri masih kaget, seperti ada sesuatu, perasaan yang bergejolak.
“Untuk lebih jelasnya, ini surat undangan dari pihak sekolah yang memberi beasiswa, Nabila. Kamu bisa memfoto copy nya, sekali lagi pikirkan ini baik baik.” Bu Asri memberi lembaran kertas.
Aku mohon diri, aku langsung menuju ruang foto copy. Tidak ada yang menunggu! Aku kesal sekali.
Aku melangkah gontai menuju ruang kelasku, ada di lantai 2, tangganya cukup tinggi. Membuat moodku semakin buruk.
Baru kali ini, ada orang yang menerima beasiswa tapi tidak senang. Justru yang aku rasakan adalah kesedihan.
Aku memikirkan nasib keinginan menghapal al qur an ku, menguasai bahasa arab dan inggris, aku memikirkan pesantrenku, dan aku takut kehilangan al-azharku. Aku takut tak bisa mencapainya. Sukmaku meronta ronta, aku sudah tau jawabannya. Batinku disiksa, masa depanku… ya Robbi, la tukadzidni, lirihku.
***
Aku masuk kelas… aku menekuk mukaku.
“Nabila kenapa?” Katucha teman sebangkuku menghampiri.
Aku tidak menjawab, aku hanya memberinya surat undangan itu. Dia membacanya, dia menatapku.
“Pilih yang terbaik bil, kalau memang pesantren lebih menjamin masa depan kamu. Kamu pilih saja yang itu..”
Aku mengangguk, terima kasih cha, batinku… Aku mulai sedikit tenang.
Aku keluar kelas, teman teman juga bertanya kenapa aku dipanggil BP.
Aku menjawab jujur, ada tawaran beasiswa. Reaksi mereka macam macam, ada yang heboh sekali tapi ada yang malah menanyakan bagaimana pesantrenku. Aku disuruh temanku sujud syukur, aku melakukannya… lucu sekali!
Aku uring uringan. Kelasku ada di lantai 2, aku bisa melihat awan kapan saja. Aku selalu takjub, awan itu selalu berarak membentuk suatu tempat yang ingin aku kunjungi. Dan heyyy! Kali ini aku melihat piramida Mesir! Sesaat aku menikmati keindahan yang fatamorgana itu. Tersadar, sungai nilku kering, ia telah mongering.
***
Biarlah hatiku yang terluka, asalkan Ibuku bahagia. Aku sungguh mencintainya. Meski aku tahu, aku terlalu durhaka. Ya, aku masih merasa tak tahu diri. Namun, tak terhitung bagaimana aku mencintainya. Bagaimana aku ingin menangis melihat perjuangannya. Aku rela aku yang tersiksa, aku sudah tahu jawabannya. Aku harus menerima beasiswa itu. Ibuku sungguh senang luar biasa. Kau tau? Jarak rumahku dan sekolah itu hanya 50 meter. Kau bisa membayangkan? Ya, betapa beruntungnya diriku.
***
Sekarang aku menjalani hariku sebagai anak SMA, sedih? Pasti! Aku merasa telah kehilangan al azhar, meskipun aku tau banyak jalan untuk kesana. Namun bagiku sulit, ya terlalu sulit!

Aku hanya ingin realistis, ya aku ingin kuliah di Indonesia saja. Mungkin ini memang jalan takdirku.

Biarlah hatiku tersiksa, tapi tolong Tuhan aku hanya ingin melihatnya tersenyum bahagia. Aku ingin menjadi kebanggaanya, yang dengan bangga bisa diceritakan kepada orang orang. Biarlah batinku yang merana….Tetap selalu mengalir di aliran darah, selalu berhembus di nafasku Al Azhar… Aku mencintaimu, Bumi Mesirku.


Depok, 23 Juli 2012

0 komentar:

Posting Komentar

 
;