Senin, 25 Agustus 2014

Karena Kuingin Mencintai KarenaNya


“Kriiiiiiing, kriiiiiiiiiing, kriiiiiiiiiiiiing” bunyi handphone Wafaa terdengar  begitu nyaring, memecah kesyahduan Wafaa yang sedang memuja dan memuji Robbnya, yang sedang memohon ampunan untuknya dan kedua orangtuanya kepada Yang Maha Ghafur. Wafaa yang ketika itu telah selesai  melaksanakan salat magrib dan menyelesaikan dzikirnya, segera mengangkatnya, tetapi dia belum sempat melepas mukenanya. Dia lihat layar handphonenya, sebuah nomor yang tidak dia kenal.
“Hallo, assalamu’alaikum, ini siapa ya?” jawabnya lembut.
“Ya wa’alaikumsalam, Aku mencintaimu, Wafaa” kata Rahman sungguh-sungguh di seberang sana. Begitu tiba-tiba.
Tubuh Wafaa seketika kaku, tangannya bergetar memegang handphonenya, dia tahu betul suara itu, ya suara yang dulu begitu menenangkan batinnya, suara yang begitu indah dan merdu, belum berubah dari dulu, masih saja terdengar merdu di hati Wafaa. Dia pun langsung menguasai diri, dia kuatkan batinnya, “bismillahirahmanirahim, aku hanya ingin cinta yang halal, ya Robb, kuatkan batinku” batinnya.
“Rahman?” Wafaa buka suara.
“Ya, Wafaa, oh aku begitu merindukanmu, kau juga sangat merindukanku bukan?” Rahman sangat senang mendengar suara Wafaa.
Gejolak di hati Wafaa semakin besar, batinnya terus merintih, dia sangat tersiksa mendengar kata-kata sayang dari mantan kekasihnya itu.
“Tolong jangan kau katakan kata-kata itu lagi Rahman, aku mohon” pinta Wafaa.
“Kenapa, Wafaa, kau tak senang aku mengucapkan begitu? Ada apa memangnya? Aku begitu mencintaimu, aku begitu rindu padamu, kamu kemana saja? Sudah 3 tahun ini aku mencarimu, aku bertanya kepada temanmu tidak ada yang tau, kamu kemana saja?” cerita Rahman panjang lebar.
Wafaa malah menangis, dengan terbata dia menjawab “Aku tidak kemana-mana, aku tetap ada di Indonesia, tolong jangan katakan itu lagi, Rahman, aku sangat tersiksa mendengarnya” Wafaa kembali meminta dengan sangat.
“Memangnya kenapa, Wafaa? Dari caramu menjawab kau terlihat sangat berbeda, aku dengar dari ibumu, kau pergi ke pesantren di Jawa Timur ya?” selidik Rahman.
Dia hanya menjawab di dalam hati “Ya, aku memang berbeda, aku memang telah hijrah, aku telah menemukan apa yang sebenarnya di dunia ini dan aku telah menemukan hakikat cinta itu Rahman, ya cinta abadi dan sejatiku kepada Tuhanku” Lalu dia menjawab pelan “Ya, kau benar”
“Oo begitu, aku mencintaimu Wafaa, maukah kau menjadi pacarku lagi? Rahman langsung to the point.
Wafaa kembali menangis dalam diamnya, Rahman tidak mengetahui kalau Wafaa menangis, Wafaa tak kuat lagi mendengar pengakuan Rahman, dia langsung memutus sambungan teleponnya dengan Rahman.
Wafaa menangis sejadi-jadinya, wajah cantiknya dibenamkan ke dalam mukena putihnya, Wafaa terus menangis sampai azan Isya berkumandang.
Wafaa memang telah berubah, dia telah berhijrah,dia telah menemukan Tuhannya, sejak kelas 2 SMP terjadi perguncangan dalam jiwanya, dia menemukan ketenangan di dalam Islam, dia pun mendalami Islam dengan sungguh-sungguh, setelah dia kerjakan solat dan puasa, dia sempurnakan ibadahnya dengan menjilbabkan hati dan dirinya, setelah lulus SMP pun dia bertekad untuk memperdalam Islam dengan memutuskan untuk mondok di pesantren di Jawa Timur, bahkan cita-citanya pun berubah ingin kuliah di Mesir, di negerinya para nabi itu. Dia berpacaran dengan Rahman pada kelas 2 SMP, tetapi dia langsung memutuskan hubungan cintanya dengan Rahman, karena dia merasa pacaran itu bisa menjerumuskan seseorang untuk berbuat sesuatu yang dilarang agamanya yaitu zina. Kini Wafaa telah menyelesaikan studynya di pesantren sebulan yang lalu dan dia mendapatkan beasiswa ke Mesir, ke Universitas Al-Azhar yang terkenal itu. Dia memang cerdas dan tentu saja cantik, apalagi setelah dia berjilbab, kecantikannya semakin seperti bidadari saja. Menjelang 2 minggu keberangkatannya ke Cairo, Mesir, cinta lamanya kembali hadir, ya Rahman, dia pun tak bisa memungkiri bahwa dia masih mencintai Rahman, tetapi diapun harus teguh memegang prinsip hidupnya, yaitu tidak akan pacaran sampai kapanpun. Kedua orang tuanya pun sampai pernah menanyai masalah itu sambil bergurau.
“Anak kita sudah besar ya, Pa, tapi kok belum pernah mengenalkan pacarnya kepada kita, padahal anak tetangga sebelah  sudah sering membawa pacarnya datang ke rumah Pak Jafar” Kata Bu Mia, ibu Wafaa sebulan yang lalu ketika sedang santai di ruang keluarga.
“Betul itu, Ma. Kau jangan terlalu stress dan sibuk mengurus keberangkatanmu ke Mesir, Wafaa. Kenalkanlah pacarmu kepada Papa, Papa ingin tahu” Sambung Pak Ma’naf, ayah Wafaa sambil memindahkan chanel tvnya.
Wafaa hanya tersenyum mendengar gurauan kedua orang tuanya, sambil memainkan laptopnya, dengan santai Wafaa menjawab “Papa sama Mama ini ngeledek Wafaa atau apa ya? Masa lulusan pesantren kok pacaran, menurut Wafaa ga wajar aja, Pa, Ma, lagian Wafaa juga ga mau, selain bisa mendekati zina, pacaran juga bisa mengurangi produktifitas Wafaa dalam berkarya, daripada mikirin pacaran mulu, mending ngelakuin sesuatu yang berguna, sebentar lagi kan Wafaa kuliah ke Mesir, lebih baik Wafaa mengulang materi yang waktu itu dikasih Pak Kyai di pesantren dulu, khususnya materi bahasa Arab, bahasa Inggris, dan tentu saja, Hadist”
Papa dan Mamanya hanya bisa manggut-manggut tanpa berkomentar mendengar jawaban dari anak bungsunya itu, sementara Adit, kakak kandung Wafaa, terlihat biasa saja, kakaknya memang sangat pendiam.
Sejak Rahman kembali menghubungi Wafaa minggu lalu, Wafaa jadi kepikiran, tetapi dia mampu menguasai dirinya. Semalam Rahman kembali menghubungi Wafaa lewat sms, dia mengatakan ingin bertemu Wafaa di sebuah mall di kawasan Kemang, Wafaa menyetujuinya tetapi dia ingin tidak hanya berdua, Wafaa ingin mengajak temannya perempuannya sewaktu di pesantren dulu, namanya Nurul, kebetulan orang Depok, jadi dekat dengan rumah Wafaa di Jakarta, Rahman pun menyetujuinya. Pukul 10 pagi dia pun menjemput Nurul, lalu langsung menuju mall tersebut. Sesampainya di tujuan, Wafaa terlihat sangat gugup, dia sangat pankling melihat penampilan Rahman, sangat gagah dan tampan, begitupun dengan Rahman, Wafaa terlihat sangat cantik dengan balutan jilbab hijau muda dan gamis dengan warna yang sepadan. Setelah mengucapkan salam dan memperkenalnkan Nurul kepada Rahman, dia pun duduk tepat berhadapan dengan Rahman lalu disebelahnya ada Nurul, mereka berdua hanya dibatasi oleh meja kecil. Wafaa terlihat sangat menjaga pandangannya. Tetapi Rahman terlihat masih memandangi Wafaa yang sangat cantik.
“Hai Wafaa, apa kabar? Rahman memulai pembicaraan tetapi masih terlihat gugup.
Alhamdulillah Rahman, kabarku sangat baik, bagaimana denganmu? Jawab Wafaa tenang sambil tersenyum kecil.
“Aku baik, Wafaa, kau baru pulang dari pesantren ya? Rahman terlihat mulai tenang.
“Ya, kira-kira sebulan yang lalu, kalau kau bagaimana? Setelah lulus SMP kamu lanjut kemana?
“Aku ke SMA Negeri biasa, kamu hilang begitu saja, bahkan teman-temanmu tidak tau sama sekali, bagaimana kamu bisa ke pesantren? Dulu kau bilang mau masuk SMA Negeri favorit di Jakarta? Sejak kau kelas 9 dan berjilbab, kau sungguh berubah, kau bahkan memutuskanku, Wafaa” Rahman tertunduk.
Wafaa mengatur nafasnya, dia menjawab “Aku memang menyembunyikan semuanya, Rahman, aku sebenarnya diterima di SMA Negeri itu, tapi aku langsung mengundurkan diri, aku lalu pergi ke Jawa Timur untuk mondok disana, aku ingin belajar agama, aku ingin ada orang yang membantuku untuk selalu dekat dengan Allah, aku ingin lingkungan yang kondusif untuk diriku yang sekarang, dan di Jakarta ini menurutku tidak bisa, aku akhirnya memutuskan untuk mondok saja, di pesantren aku banyak belajar dari teman-temanku, meraka sangat mendukungku tidak seperti di Jakarta” Wafaa mulai terisak.
“Sejauh itu tekadmu, Wafaa, aku sangat kagum, kau berani mengambil keputusan, tapi masihkah kau mencintaiku Wafaa? Rahman mengulang pertanyaan itu.
Wafaa jelas tersentak, dia harus menjawab apa, dia masih mencintai Rahman, tetapi itu sangat bertolak belakang dengan prinsip hidupnya. Tetapi dengan tegas dia menjawabnya.
“Maaf Rahman, aku bukanlah Wafaa yang dulu, aku telah berubah, dan apa yang kau katakan tadi, seharusnya kau sendiri yang bisa menjawabnya”
“Kau menolakku Wafaa? Kau tak lagi mencintaiku? Kau memang berubah, tapi aku hargai keputusanmu, maafkan aku bila tak pernah mengerti maksud hidupmu yang sekarang” Rahman terlihat sedih tetapi dia pasrah.
Tiba-tiba Nurul menjawab “Kau memang harus mengerti, Rahman, Wafaa memang telah berhijrah, kami berdua ingin menempatkan cinta kami kepada Allah setinggi-tingginya, melebihi segala-galanya, insya Allah
“Nurul benar, Rahman, biarlah kita titipkan cinta kita kepada Allah, biarlah Dia yang memeliharanya, biarlah Dia yang menentukan takdir cinta kita, dan apabila kau mencintaiku, cintailah aku karenaNya, dan aku pun ingin mencintaimu karenaNya, itulah cinta yang diridhai Allah, dan apabila kau benar mencintaiku, tunggulah aku dari Mesir, dan jadikanlah aku cinta yang halal untukmu” Wafaa meyakinkan Rahman.
“Apaaaaa?! Mesir? Kau ingin ke Mesir, Wafaa?” Rahman tersentak mendengar apa yang dikatakan Wafaa.
“Benar, minggu besok aku langsung terbang ke Mesir, ini adalah minggu terakhirku di Indonesia, Rahman, setelah dari sini kami pun ingin ke KEDUBES Mesir dan mengurus segala sesuatu yang kami perlukan, Nurul juga ikut!”
“Untuk apa kau ke Mesir, Wafaa?”
“Aku akan melanjutkan studyku di Al-Azhar, aku dapat beasiswa, aku memilih Mesir, karena itu memang cita-citaku sejak SMP, Rahman”
“Sampai kapan? Kenapa tidak di Indonesia saja?” Rahman terlihat sangat sedih.
Insya Allah kalau tidak ada halangan rencananya akan 7 tahun, aku langsung mengambil S1 dan S2 disana, itu adalah pilihanku, Rahman, tolong jangan mempengaruhi aku” Wafaa tertunduk, wajah cantiknya tidak bisa menutupi kalau dia pun sangat berat meninggalkan Rahman.
“Lama sekali, Wafaa, aku tak mungkin memaksamu, tapi kau perlu tahu, bahwa aku sangat mencintaimu, aku akan menunggumu, aku akan berusaha setia kepadamu, kuharap kau pun demikian, dan akupun selalu mendoakanmu, insya Allah, Wafaa” Rahman berusaha tegar.
“Terima kasih, Rahman, kau sangat baik, terima kasih, kau mau menungguku, jadikanlah aku cinta halalmu, belajalah mencintaiku karenaNya” perasaan Wafaa bercampur aduk, antara senang dan sedih.
“Ya, aku akan belajar mencintaimu karena Allah, insya Allah” Rahman tersenyum.
“Sekali lagi terima kasih, Rahman, baiklah, sepertinya aku harus cepat ke kedutaan, tidak ada waktu lagi, aku tak ingin ada perpisahan, kalaupun kamu dan aku sama-sama tak bisa menunggu, aku ikhlas, Rahman, biarlah Allah yang mengatur jalan hidup kita, aku yakin scenario Allah itu maha indah” Wafaa membalas senyumnya.
Insya Allah, aku akan setia, baiklah, kalau kau ingin ke kedutaan, sepertinya memang sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, jagalah dirimu baik-baik di Mesir, dan sampaikan salamku kepada kedua orang tuamu dan kakakmu”
Insya Allah, Rahman, baik, aku dan Nurul pamit dulu, doakanlah kami”

Setelah itu Wafaa dan Nurul pamit dan mengucapkan salam, mereka tidak berjabat tangan, Wafaa dan Nurul hanya menelungkupkan tangannya di dada, Rahman yang meskipun heran segera membalasnya. Rahman terus memandangi sosok Wafaa yang mulai menjauh dari pandangannya, dia bertekad akan belajar Islam lebih dalam dan belajar mencintai Allah setinggi-tingginya dan diatas segalanya, bukan karena dia mencintai Wafaa, tetapi karena dia mencintai Wafaa hanya karenaNya, ya mencintai karena Robbnya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;