Bagiku kesepian dan merasa sepi di
tengah keramaian merupakan perasaan yang tidak identik dan sulit dijabarkan.
Perasaan yang secara psikis menyakiti dan membunuh perasaanku perlahan.
Perasaan yang menusuk hatiku pedih, selalu ingin menyendiri, dan perasaan yang
menguapkan kesanku sebagai “gadis ekstrovert”, gadis yang riang, dan selalu
ceria.
Tapi ada suatu waktu dalam hidupku,
dimana aku tidak terlalu memperdulikan Mama dan Papa. Aku merasa bisa melakukan
hal itu sendirian. Sehingga dulu, aku sangat menikmati kesendirian. Merasakan
diriku utuh. Merasakan diriku berkembang dalam kesendirianku.
Perasaan itu semakin menjadi jadi
setelah aku masuk SMP. Aku bersekolah di salah satu SMP terfavorit di kota Depok, dan itu secara
otomatis semakin menciptakan jarak antara kedua orang tuaku. Aku jarang sekali
berbincang atau sekedar makan sambil tertawa bersama karena aku terlalu sibuk
dengan duniaku sendiri. Aku yang sibuk pulang magrib karena terlalu sering
belajar kelompok, aku yang terlalu fokus mengerjakan tugas dan PR bahkan sampai
tengah malam.
Singkat kata, selama menjalani masa
SMP ku, aku hampir terbiasa dengan hidup yang begitu begitu saja. Hidup tanpa
memendam rindu yang mendalam kepada kedua orang tuaku, karena meski aku sibuk,
toh setiap hari aku melihat mereka. Ketika Papa pulang kerja setelah senja, dia
pasti sedang melihatku sibuk dengan buku-buku. Sampai akhirnya, aku berjilbab
sekitar 4 tahun yang lalu. Dan Allah mengujiku dengan kepergian Papa yang
meninggalkan Mama dan kedua adikku disaat 4 bulan lagi, aku akan mengikuti UNAS
SMP.
Aku baru merasakan rindu itu. Sejak
kecil ikatan terkuatku memang kepada Papa, karena banyak orang yang berkata
anak perempuan cenderung lebih dekat kepada Ayahnya. That’s all right. Tapi aku merasa ikatan itu tak sepenuhnya
mengakar kuat dalam hatiku.
Dan rasa rindu itu semakin kuat
mengakar, bukan hanya kepada Papa namun aku begitu merindukan Mamaku setelah
aku pindah ke Pangandaran untuk melanjutkan SMA, karena aku pindah (tak tepat
sih, lebih tepatnya kabur) hahaha. Tentu dengan segala pengalaman yang tak
terduga.
Aku di-bully-di SMA, kemudian merasakan
krisis percaya diri dan kehilangan jati diri. Aku merasa menjadi orang yang
sangat malang
di dunia. Aku tak punya keluarga terdekat. Aku menceritakan ini kepada Mama,
dan Mama hanya menyuruhku untuk bersabar sambil menangis memintaku mengerti
dengan kondisi keluarga kami saat ini. Solusi pindah sekolah yang aku inginkan,
memberatkan Mamaku. Jelas dan aku tau. Tapi aku tak sedikitpun mengerti.
Sampai akhirnya aku berbicara dan
meminta maaf kepada mereka, atas sikapku selama di sekolah yang menurut mereka
banyak mencari perhatian guru. Sungguh. Kali ini, aku harus mampu mengendalikan
diri dan ambisi untuk pindah. And, time
passed so fast and the people change slowly. Aku mulai hidup dan merenda
mimpi-mimpi yang gagal. Aku mengubah mimpi-mimpi yang kurasa lebih realistis
dari hidupku sekarang. Dan, aku mulai tak kesepian lagi. Aku aktif di setiap
organisasi yang bahkan ketika SMP saja aku tak mau meliriknya. Kini aku menjadi
penggerak dan sedikit demi sedikit, sikap introvert-ku mulai berubah menjadi ekstrovert.
Dulu, aku memang sering mendengar curhat teman-temanku, tapi hanya mampu
bertindak di belakang. Sekarang aku senang berbicara di depan umum, mengajar,
atau bebas menuliskan kisah kisahku.
Namun, perasaan sepi kembali
menyergapi rongga dadaku, saat aku naik ke kelas 3 SMA. Aku merasa butuh Mama
di sampingku. Aku benar-benar butuh. Dan perasaaan ini jauh lebih parah dari
sebelumnya. Aku bahkan menangis setiap hari karena begitu lelah menghadapi
keseharianku. Aku baru sadar, tahun ini adalah tahun dimana aku akan menghadapi
ujian tanpa Mama dan itu sangat menyakitkan berhubung aku juga tinggal bersama
adikku di rumah nenek. Kadang, orang-orang yang tak mengerti kesepian yang ku
rasakan ini, menghantamku dengan cibiran serta omelan yang justru menjadikan
hatiku semakin sakit tertusuk-tusuk. Tak ada yang bisa aku lakukan saat itu
selain menangis dan mengunci diri selama satu tahun terakhir.
Kalau kalian bertanya sebetulnya apa
yang terjadi? Aku hanya kembali mengalami krisis percaya diri. Aku memikirkan
masa depanku yang mau kuliah dimana, mau jurusan apa dan lain-lain. Satu yang
kutakutkan, aku tak bisa kembali ke tempatku (re: aku tak bisa kuliah di PTN)
karena aku tinggal di kampung.
Aku masih sering belajar, bahkan
lebih gila selama setahun terakhir. Hal itu membuatku sering pergi ke dokter
dan 2 kali dinyatakan harus rawat inap di rumah sakit berhubung aku sering
sekali terkena hipotensi. Aku tak terlalu kaget, karena aku memang terlalu
letih, sering begadang, dan terlalu sering menangis. Aku benar-benar seperti
ada di keramaian tapi hatiku begitu hampa. Tak enak sekali bukan?
Lalu, gempuran rasa kesepian yang
selanjutnya terjadi pada masa sekarang. Sebenarnya, aku benar-benar merasa
kesepian ketika aku mencoba untuk bangkit dari keterpurukanku gagal SNMPTN
tahun ini. Aku sudah kepalang bingung dan sedih. Aku sudah menghapus aplikasi
pengunggah foto karena hampir 70% teman-temanku mengunggah rasa senang mereka
disana. Rasanya aku ingin hilang dari kehidupan teman-temanku yang lulus SNMPTN
karena hatiku pedih luar biasa. Bagaimana tidak, biasanya aku sudah tak perlu
pusing pusing memikirkan sekolah, karena beberapa tahun yang lalu, aku sudah
dipastikan masuk ke SMP favorit bahkan ketika mau masuk SMA, seminggu sebelum
UNAS SMP aku sudah tau akan sekolah dimana.
Sisi introvert-ku kembali muncul.
Menggerogoti kepercayaan diriku. Membuatku tak ingin melihat lagi dunia.
Mengurung diri. Memalukan! Sangat sangat memalukan. Dengan sekejap, tak ada
lagi Nabil yang ekstrovert, ceria, dan riang. Aku kehilangan diriku sendiri.
Aku merasakan kehilangan mimpi-mimpiku. Aku dengan sangat mudah mengatakan Dia
tak adil. Aku menangisi dukaku. Sendiri. Dalam ramai, aku merasa sepi dan
sendiri.
But, God shows me how to smile in this fight.
Allah kembali mengirimiku orang-orang
penebar semangat yang luar biasa. Yang baik –baik hati. yang tak henti henti
kuucapkan beribu beribu terima kasih serta kuucapkan mencintai mereka atas nama
Tuhanku. Aku begitu terharu, karena berpuluh-puluh orang itu sudah begitu
menguatkan hatiku disaat aku sendiri merasa hanya butiran debu yang terserahlah
mau dibawa kemana saja.
Kembali, mereka menguatkanku untuk
menjadi bintang-bintang yang meski dikirim di tempat gelap sekalipun, aku akan
tetap bersinar terang..
Dari hatiku yang terdalam, meski
setelah ujian SBMPTN ini, aku hanya bisa menunggu hasil dan prinsip itu kembali
aku pegang: aku siap sukses tapi aku siap pula untuk gagal. Karena kegagalan kali
ini, sesungguhnya bukan kegagalanku yang pertama. Dan, aku mendapat satu
hikmah, bahwa kegagalanku kali ini tak kuhadapi dengan rasa sepi yang menggigit
hati, tapi bersama keluargaku yang selalu siap mengangkatku kembali tinggi saat
seandainya aku kembali terjatuh nanti. Keluargaku yang kini utuh :)
Aku merasa diriku kembali utuh.
Lagipula, aku sudah terlalu letih
menangisi diri. Aku sudah merasa kepalaku mau pecah. Aku merasa sanksi untuk
mengeluh. Sejatinya. Lunas sudah kepedihanku. Kalah di awal bukan berarti gagal
di masa depan kan,
kawan?
Sungguh aku kembali menemukan
semangat karena kalian. Karena keinginan membahagiakan orang tuaku begitu
besar.
Aku tak lagi kesepian dan tanpa
interpretasi kukatakan aku ingin terus mencintai kalian.
TERIMA KASIH
0 komentar:
Posting Komentar