Rabu, 10 Juni 2015

Kesepian


Bagiku kesepian dan merasa sepi di tengah keramaian merupakan perasaan yang tidak identik dan sulit dijabarkan. Perasaan yang secara psikis menyakiti dan membunuh perasaanku perlahan. Perasaan yang menusuk hatiku pedih, selalu ingin menyendiri, dan perasaan yang menguapkan kesanku sebagai “gadis ekstrovert”, gadis yang riang, dan selalu ceria.

Tapi ada suatu waktu dalam hidupku, dimana aku tidak terlalu memperdulikan Mama dan Papa. Aku merasa bisa melakukan hal itu sendirian. Sehingga dulu, aku sangat menikmati kesendirian. Merasakan diriku utuh. Merasakan diriku berkembang dalam kesendirianku.

Perasaan itu semakin menjadi jadi setelah aku masuk SMP. Aku bersekolah di salah satu SMP terfavorit di kota Depok, dan itu secara otomatis semakin menciptakan jarak antara kedua orang tuaku. Aku jarang sekali berbincang atau sekedar makan sambil tertawa bersama karena aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri. Aku yang sibuk pulang magrib karena terlalu sering belajar kelompok, aku yang terlalu fokus mengerjakan tugas dan PR bahkan sampai tengah malam.

Singkat kata, selama menjalani masa SMP ku, aku hampir terbiasa dengan hidup yang begitu begitu saja. Hidup tanpa memendam rindu yang mendalam kepada kedua orang tuaku, karena meski aku sibuk, toh setiap hari aku melihat mereka. Ketika Papa pulang kerja setelah senja, dia pasti sedang melihatku sibuk dengan buku-buku. Sampai akhirnya, aku berjilbab sekitar 4 tahun yang lalu. Dan Allah mengujiku dengan kepergian Papa yang meninggalkan Mama dan kedua adikku disaat 4 bulan lagi, aku akan mengikuti UNAS SMP.

Aku baru merasakan rindu itu. Sejak kecil ikatan terkuatku memang kepada Papa, karena banyak orang yang berkata anak perempuan cenderung lebih dekat kepada Ayahnya. That’s all right. Tapi aku merasa ikatan itu tak sepenuhnya mengakar kuat dalam hatiku.

Dan rasa rindu itu semakin kuat mengakar, bukan hanya kepada Papa namun aku begitu merindukan Mamaku setelah aku pindah ke Pangandaran untuk melanjutkan SMA, karena aku pindah (tak tepat sih, lebih tepatnya kabur) hahaha. Tentu dengan segala pengalaman yang tak terduga.

Aku di-bully-di SMA, kemudian merasakan krisis percaya diri dan kehilangan jati diri. Aku merasa menjadi orang yang sangat malang di dunia. Aku tak punya keluarga terdekat. Aku menceritakan ini kepada Mama, dan Mama hanya menyuruhku untuk bersabar sambil menangis memintaku mengerti dengan kondisi keluarga kami saat ini. Solusi pindah sekolah yang aku inginkan, memberatkan Mamaku. Jelas dan aku tau. Tapi aku tak sedikitpun mengerti.

Sampai akhirnya aku berbicara dan meminta maaf kepada mereka, atas sikapku selama di sekolah yang menurut mereka banyak mencari perhatian guru. Sungguh. Kali ini, aku harus mampu mengendalikan diri dan ambisi untuk pindah. And, time passed so fast and the people change slowly. Aku mulai hidup dan merenda mimpi-mimpi yang gagal. Aku mengubah mimpi-mimpi yang kurasa lebih realistis dari hidupku sekarang. Dan, aku mulai tak kesepian lagi. Aku aktif di setiap organisasi yang bahkan ketika SMP saja aku tak mau meliriknya. Kini aku menjadi penggerak dan sedikit demi sedikit, sikap introvert-ku mulai berubah menjadi ekstrovert. Dulu, aku memang sering mendengar curhat teman-temanku, tapi hanya mampu bertindak di belakang. Sekarang aku senang berbicara di depan umum, mengajar, atau bebas menuliskan kisah kisahku.

Namun, perasaan sepi kembali menyergapi rongga dadaku, saat aku naik ke kelas 3 SMA. Aku merasa butuh Mama di sampingku. Aku benar-benar butuh. Dan perasaaan ini jauh lebih parah dari sebelumnya. Aku bahkan menangis setiap hari karena begitu lelah menghadapi keseharianku. Aku baru sadar, tahun ini adalah tahun dimana aku akan menghadapi ujian tanpa Mama dan itu sangat menyakitkan berhubung aku juga tinggal bersama adikku di rumah nenek. Kadang, orang-orang yang tak mengerti kesepian yang ku rasakan ini, menghantamku dengan cibiran serta omelan yang justru menjadikan hatiku semakin sakit tertusuk-tusuk. Tak ada yang bisa aku lakukan saat itu selain menangis dan mengunci diri selama satu tahun terakhir.

Kalau kalian bertanya sebetulnya apa yang terjadi? Aku hanya kembali mengalami krisis percaya diri. Aku memikirkan masa depanku yang mau kuliah dimana, mau jurusan apa dan lain-lain. Satu yang kutakutkan, aku tak bisa kembali ke tempatku (re: aku tak bisa kuliah di PTN) karena aku tinggal di kampung.

Aku masih sering belajar, bahkan lebih gila selama setahun terakhir. Hal itu membuatku sering pergi ke dokter dan 2 kali dinyatakan harus rawat inap di rumah sakit berhubung aku sering sekali terkena hipotensi. Aku tak terlalu kaget, karena aku memang terlalu letih, sering begadang, dan terlalu sering menangis. Aku benar-benar seperti ada di keramaian tapi hatiku begitu hampa. Tak enak sekali bukan?

Lalu, gempuran rasa kesepian yang selanjutnya terjadi pada masa sekarang. Sebenarnya, aku benar-benar merasa kesepian ketika aku mencoba untuk bangkit dari keterpurukanku gagal SNMPTN tahun ini. Aku sudah kepalang bingung dan sedih. Aku sudah menghapus aplikasi pengunggah foto karena hampir 70% teman-temanku mengunggah rasa senang mereka disana. Rasanya aku ingin hilang dari kehidupan teman-temanku yang lulus SNMPTN karena hatiku pedih luar biasa. Bagaimana tidak, biasanya aku sudah tak perlu pusing pusing memikirkan sekolah, karena beberapa tahun yang lalu, aku sudah dipastikan masuk ke SMP favorit bahkan ketika mau masuk SMA, seminggu sebelum UNAS SMP aku sudah tau akan sekolah dimana.

Sisi introvert-ku kembali muncul. Menggerogoti kepercayaan diriku. Membuatku tak ingin melihat lagi dunia. Mengurung diri. Memalukan! Sangat sangat memalukan. Dengan sekejap, tak ada lagi Nabil yang ekstrovert, ceria, dan riang. Aku kehilangan diriku sendiri. Aku merasakan kehilangan mimpi-mimpiku. Aku dengan sangat mudah mengatakan Dia tak adil. Aku menangisi dukaku. Sendiri. Dalam ramai, aku merasa sepi dan sendiri.

But, God shows me how to smile in this fight.

Allah kembali mengirimiku orang-orang penebar semangat yang luar biasa. Yang baik –baik hati. yang tak henti henti kuucapkan beribu beribu terima kasih serta kuucapkan mencintai mereka atas nama Tuhanku. Aku begitu terharu, karena berpuluh-puluh orang itu sudah begitu menguatkan hatiku disaat aku sendiri merasa hanya butiran debu yang terserahlah mau dibawa kemana saja.

Kembali, mereka menguatkanku untuk menjadi bintang-bintang yang meski dikirim di tempat gelap sekalipun, aku akan tetap bersinar terang..

Dari hatiku yang terdalam, meski setelah ujian SBMPTN ini, aku hanya bisa menunggu hasil dan prinsip itu kembali aku pegang: aku siap sukses tapi aku siap pula untuk gagal. Karena kegagalan kali ini, sesungguhnya bukan kegagalanku yang pertama. Dan, aku mendapat satu hikmah, bahwa kegagalanku kali ini tak kuhadapi dengan rasa sepi yang menggigit hati, tapi bersama keluargaku yang selalu siap mengangkatku kembali tinggi saat seandainya aku kembali terjatuh nanti. Keluargaku yang kini utuh :)

Aku merasa diriku kembali utuh.

Lagipula, aku sudah terlalu letih menangisi diri. Aku sudah merasa kepalaku mau pecah. Aku merasa sanksi untuk mengeluh. Sejatinya. Lunas sudah kepedihanku. Kalah di awal bukan berarti gagal di masa depan kan, kawan?

Sungguh aku kembali menemukan semangat karena kalian. Karena keinginan membahagiakan orang tuaku begitu besar.

Aku tak lagi kesepian dan tanpa interpretasi kukatakan aku ingin terus mencintai kalian.

TERIMA KASIH








0 komentar:

Posting Komentar

 
;