Jumat, 26 Juni 2015

Ibuku, matahariku.



Sebagai seorang perempuan, aku berusaha menilai, menceritakan, dan menuliskan segala kebaikan ibuku secara objektif. Hal ini aku lakukan, karena aku juga seorang perempuan, begitupun ibuku.

Meski bagiku, dengan tinta emas-pun kebaikan seorang ibu tak mampu dituliskan dan digambarkan, tapi rasanya tak adil, jika aku menuliskan sosok seorang perempuan melalui ibuku hanya dari satu perspektif saja, apalagi perspektif tersebut ditulis oleh seorang anak perempuannya.

Tapi aku terkejut, setelah membaca postingan dari seorang penulis blogger yang akhir-akhir ini sering kukunjungi blog pribadinya. Bang Syaiha dan tulisannya yang berjudul "Perempuan Itu Selalu Luar Biasa" sukses membuatku semakin mantap menuliskan tentang Ibuku.

Aduh, rasanya aku bangga sekali menjadi seorang perempuan. Begitu dihormati dan disayang banyak orang. Walaupun memang aku belum menjadi istri dan ibu, tapi itu tidak mengurangi kebahagiaanku.

Aku jadi ingat, ibuku memang tak pernah mengeluh dengan pekerjaan rumahnya. Sebanyak apapun itu. Meski aku sangat tau, ibuku sangat lelah. Ditambah lagi ibuku adalah perempuan yang bekerja di luar rumah juga. Waaah @_@

Kalau dipikir-pikir, siapa juga sih yang rela bangun pagi-pagi mengotori tangannya dengan bumbu dapur kalau gak cinta sama suami dan anak-anaknya?

Ah ibuku memang hebat. Mencuci, menyetrika baju, memasak, dan bersih-bersih rumah dikerjakannya dengan ikhlas. Ibu seperti ingin meyakinkan kepada dirinya sendiri, baju anaknya rapi, harum, dan tidak membuat malu. Ibu pula yang menjamin tidur kita nyenyak atau tidak dengan selalu menyiapkan seprai yang terbaik dan wangi. Meyakinkan anak-anaknya tidak kelaparan, kadang mengecek perlengkapan sekolah seperti yang terkecil sekalipun, pensil, penghapus, pulpen, supaya anaknya tidak meminjam milik orang lain dan jauh dari kesan tidak diperhatikan. Bahkan sekecil urusan: sudah membereskan buku nak? Ada PR tidak untuk besok? Pensilnya jangan lupa diraut! Ah, ibu :’)

Dan aku juga sering bertanya tanya dan tak mengerti sampai saat ini. Ibu selalu memasak masakan terbaik untuk kami tapi kenapa ibu malah makan makanan sisa? Aku dan adik-adikku serta ayahku makan makanan enak seperti ayam goreng, tapi ibuku kadang cuma makan dengan tutug oncom atau sambal leunca.

Kalau diperhatikan, Ibu-ku itu bisa jadi guru les, chef, pembantu yang suka bersih-bersih rumah, tukang ojeg, sekertaris, manajemen, bendahara, dan lain-lain. Iya kan? Ku yakin ibumu dan seluruh ibu di dunia ini juga begitu. Bedanya mereka tidak dibayar. Mereka ikhlas dan senang-senang asja ngerjainnya. Karena apa? Sekali lagi karena cinta.

Betul kata Bang Syaiha, mungkin letak kebahagian seorang perempuan itu ada pada ketulusan hatinya dalam melayani dan melihat keluarganya bahagia :’)

Aku ragu pada diriku sendiri: benarkah hanya dengan cinta? Mungkinkah aku bisa se-rela itu nanti?

Kalau diibaratkan, ibuku itu seperti bunga matahari. Bunga yang selalu tersenyum itu mengingatkanku kepada Ibu yang meski sibuk dan pasti lelah luar biasa, Ibuku tetap terlihat manis, lincah, dan menyenangkan. Sosoknya yang selalu optimis dan tak mudah menyerah. Terlebih baru-baru ini aku baru saja mendaftarkan diri menjadi mahasiswi baru di sebuah perguruan tinggi negeri.

Intinya ibu yang selalu ada dan menemani. Mendukung dan mendoakan tiada henti. Ibu yang menjadi saksi bisuku sewaktu menangis sendu saat tak lolos SNMPTN, ibu pula yang pertama kali mendukungku untuk mendaftar SBMPTN dan ujian-ujian mandiri lainnya.

Ibu mengajari dan menginspirasiku untuk menjadi pribadi yang tetap optimis dan tak pernah menangis layaknya bunga matahari yang selalu tersenyum manis.

Dan, sampai kapanpun, Ibu selalu menghangatkan seperti matahari disaat dingin mencekam. Sampai kapanpun Ibu tetap menjadi mentari yang bersinar sepanjang masa.


0 komentar:

Posting Komentar

 
;